SUATU KALI, beberapa tahun silam, ustadz-ustadz di Hidayatullah Malang bersilaturrahim ke rumah Mister Kalend di Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur.
Beliau yang nama aslinya Kaelani itu merupakan pionir di sana, dan beliau membagi kiat-kiatnya kepada kami tentang bagaimana merintis suatu amal yang kemudian menasional bahkan mendunia. Saat itu kami masih mengawali perintisan Sekolah Ar-Rohmah Putri.
Kami memang biasa bersama-sama mengunjungi para tokoh di mana-mana untuk banyak belajar dan membangun jaringan, dan ini sudah lazim di lingkungan Hidayatullah. Saya kebetulan tidak ikut ketika itu dan cerita ini saya dapat dari Ustadz Zaenal Mustofa. Saya share di sini, semoga ada manfaatnya.
Banyak hal yang kami tanyakan dan beliau pun menceritakan berbagai hal. Tapi, ada satu yang berkesan dan sangat menarik. Kata beliau: “Saya tidak pernah membuat brosur selembar pun. Saya panggil sampeyan-sampeyan ini melalui shalat tahajjud!”.
Dalam obrolan santai, diskusi, dan rapat sampai sekarang, cerita itu kerap muncul kembali. Dan, itu pasti mengingatkan pada “ilmu lama” yang diajarkan Ustadz Abdullah Said kepada kita semua, yang pada dasarnya adalah tuntunan Allah kepada Nabi-Nya di awal-awal dakwahnya, yang terangkum dalam surah al-Muzzammil.
Bila saya refleksikan pada diri saya sendiri, sampai sekarang saya masih belum betul-betul paham bagaimana caranya saya kemudian bisa sampai ke Hidayatullah Surabaya.
Info yang saya terima ketika itu samar-samar, tapi saya kok bisa yakin dan percaya. Entah bagaimana juga ayah-ibu saya yang semula meminta saya mondok di Lirboyo Kediri bisa merestui saya masuk Kampus Kejawan.
Saya juga heran karena di angkatan saya jumlah mahasiswa barunya sekitar 60 orang, lebih malah; meski yang bertahan sampai wisuda hanya 26 orang. Entah bagaimana mereka masing-masing bisa sampai ke kampus di balik kuburan di tengah rawa di pinggiran Surabaya itu. Mereka pasti punya kisahnya masing-masing.
Asramanya pun jelek ketika itu. Kami menyebutnya bivak; sebuah bangunan kayu knock-down dua lantai yang berlantai plester dilapisi perlak plastik. Yang lantai atas berlantai multiplek dengan perlak juga, yang terdengar glodak-gloduk dari lantai bawah jika ada yang berjalan di atas.
Airnya sulit, dan itu pun payau (setengah asin). Yang susah adalah jika harus bersih-bersih saat malam karena air terkadang samasekali tidak mengalir dan bak mandi pun kosong. Terpaksa menunggu, atau –jika ada duit– mandi di tandon kampung sebelah. Tapi, asal tahu saja, mandi air tawar itu kemewahan bagi kami saat itu. Tidak setiap hari, tentu saja; sehingga rambut kami kebanyakan agak kemerah-merahan seperti rambut jagung.
Soal nyamuk dan panas, jangan tanya. Masih ada banyak kera di pohon-pohon belakang bivak selatan yang saat ini jadi ruang makan/dapur itu. Kadang kera-kera itu mencuri makanan atau memberantaki dapur kami sehingga yang kebagian piket pasti sewot.
Kelasnya? Ah, jadi malu menceritakannya. Dulu, menempati ruang setengah jadi di balik mihrab masjid yang sekarang dipakai perpustakaan. Tapi, dulu belum ada dinding penutup terpaan angin dan hujan, tembok timur (bagian dari masjid) belum dipelur rapi, belum dicat, belum dikeramik juga. Kursinya pun seadanya.
Gedung tiga lantai di depan itu, belum jadi. Baru selesai pondasi dan pengecoran dak lantai dua. Kami masih ikut kerjabakti melepas bagasting, angkut pasir, menyerok koral, mengaduk semen, ditemani gorengan Cak Li yang kadang dibeli dari uang hasil menjual paku-paku bekas bagasting corcoran.
Kondisi lahiriahnya memprihatinkan. Tapi, kok banyak juga yang datang dan berminat? Banyak juga yang tetap bertahan, walau banyak pula yang berguguran. Saya tetap merasa takjub sampai sekarang. Entah bagaimana saya bisa sampai ke sana dan mengapa tetap bertahan meski keadaannya tidak nyaman dari sègi fasilitas.
Sekarang, bagaimana dengan cabang-cabang dan amal-amal usaha Hidayatullah di tempat kita mĂ sing-masing? Bangunan ada, guru banyak, fasilitas lebih bĂ ik, manajemen lebih profesional, cetak brosur gampang, beriklan di majalah Suara Hidayatullah juga menjangkau nasional/internasional, bikin websites di internet juga murah.
Memikirkan masalah ini, saya teringat kata-kata Mister Kalend itu, juga “ilmu lama” yang diwariskan Allaahuyarham Ustadz Abdullah Said. Sepertinya, ini yang bèlum kita lakukan, atau kita abaikan, atau kita anggap tidak penting dan relevan lagi.
______________
ALIMIN MUKHTAR, Penulis adalah alumni STAIL Hidayatullah Surabaya dan saat ini pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah Malang, Jawa Timur.