
Alhamdulillah kini kita berada dalam karunia Allah, menghirup udara, berpuasa, pada 1 Ramadhan 1441 H. Nikmat luar biasa yang harus senantiasa menghadirkan kesyukuran besar kepada-Nya. Sekalipun dalam momentum ini, kita berpuasa tidak seperti biasanya, karena wabah Covid-19.
Tetapi, apakah dalam situasi wabah seperti sekarang narasi kemenangan harus ditenggelamkan atau ditinggalkan?
Demi Allah, justru dalam situasi manusia memandang jalan keluar masih panjang dan tidak menentu, umat Islam harus tampil dengan narasi kemenangan.
Bukankah, dalam situasi sulit kala menghadapi perang Khandaq, saat banyak umat Islam kelaparan, ada sahabat yang perutnya diganjal satu batu, lalu mengadu kepada Nabi ﷺ. Ya, Rasulullah, saya tidak makan beberapa hari dan ini perut saya ganjal dengan satu batu. Nabi ﷺ pun memperlihatkan perutnya, ternyata sudah diganjal tiga batu.
Tidak lama kemudian ada satu batu yang sulit dihancurkan untuk mencapai kedalaman parit. Nabi ﷺ turun dan memukulnya dengan alat ketika itu. Pada pukulan pertama, terdapat kilatan api yang diikuti oleh penjelasan beliau ﷺ bahwa umat Islam akan mampu menaklukkan Yordan. Kemudian pukulan kedua yang diikuti kilatan berikutnya Nabi ﷺ menjelaskan bahwa umat Islam akan bisa menaklukkan Suriah, yang dalam karya Martin Lings, Suriah dan dunia barat. Dan, pukulan ketiga dikabarkan umat Islam akan menguasai Persia dan dunia Timur.
Kisah itu sama-sama kita ketahui. Dan, tentu saja reaksi orang munafik sangat jelas, “Bagaimana ini, kondisi orang kelaparan, malah cerita kemenangan?”
Tetapi, inilah sebuah sejarah, dimana Nabi ﷺ mengajarkan secara langsung bahwa dalam situasi sulit jangan takut untuk bermimpi menang, berpikir menang, dan melakukan tindakan-tindakan yang memungkinkan kemenangan terjadi.
Prinsipnya secara empiris, mujahadah benar-benar diupayakan. Ketika masa menggali parit itu dari usai Shubuh hingga senja menjelang, tidak ada aktivitas sahabat kecuali menggali parit. Demikian seterusnya hingga akhirnya perang dimulai dan kemenangan Allah berikan kepada kaum Muslimin.
Realistiskah?
Ada dua kondisi paradoks yang kita hadapi kalau ingin menarasikan kemenangan di bulan Ramadhan ini. Pertama adalah wabah yang melanda. Kedua, kita hidup dimana Nabi ﷺ sudah tidak ada. Apakah realistis kita menjadikan fakta-fakta sejarah di zaman Nabi itu sebagai spirit menghadapi kenyataan?
Jawabannya sederhana. Pertama, wabah ini hakikatnya adalah musibah yang Allah izinkan terjadi. Dan, tidak sebuah musibah Allah datangkan melainkan agar manusia sadar akan kelemahan dirinya dan mengakui kekuasaan-Nya. Artinya, wabah ini tidak bisa diatasi oleh manusia, tetapi oleh Allah. Maka narasi kemenangan dalam hal ini adalah kita ajak sebanyak-banyak manusia ingat kepada Allah, dengan memperbanyak interaksi dengan Alquran, sedekah, dan lain sebagainya selama Ramadhan ini.
Penting diingat, bahwa sekalipun umat Islam telah total dalam menggali parit, pada akhirnya yang membuat pasukan koalisi orang-orang kafir itu kocar kacir adalah badai angin yang Allah kirimkan. Artinya, kita maksimalkan melakukan apa yang Allah perintahkan, insya Allah tinggal menunggu pertolongan-Nya.
Kedua, adalah benar sekarang Nabi ﷺ tidak bersama kita. Tetapi untuk apa sejarah itu hadir, dicatat, diulang-ulang, hingga terpelihara hingga masa kita sekarang jika bukan untuk diambil pelajaran dan dijadikan spirit menghadapi tantangan?
Dengan demikian, sejatinya umat Islam tidak perlu galau dengan pandemi ini. Justru hal yang penting terus ditanyakan dalam diri adalah adakah semangat, optimisme, dan narasi kemenangan dalam diri dan disebarkan kepada manusia lainnya?
Dan, kalau kembali pada spirit Ustadz Abdullah Said, situasi seperti ini seharusnya mengundang seluruh umat Islam untuk bangun malam, munajat, berdoa, dan memohon kemenangan dari Allah. Apakah mustahil Allah menolong kita, sedangkan kita memohon, merengek dan meminta penuh sungguh hanya kepada-Nya?
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah