AdvertisementAdvertisement

Silatnas Hidayatullah untuk Menjaga Khittah Kultural

Content Partner

Suasana silaturrahim nasional atau Silatnas Hidayatullah yang dulu dikenal dengan usrah. Acara ini digelar kali pertama pada tahun 1973 di Karang Bugis, Balikpapan [DOK]
Oleh Dr Abdurrohim*

TIDAK terasa Hidayatullah memasuki usia setengah abad. Banyak lompatan sejarah yang telah ditorehkan dan membuat decak kagum. Sebagai bagian dari gerakan kebangkitan umat (harakah al-Jihadiah al-Islamiah), kader-kader Hidayatullah terus berupaya konsisten menjaga ritme organisasi (jamaah) dalam semangat ketaatan pada kepemimpinan dan memegang teguh manhaj nubuwah (Sistematika Wahyu).

Ketika menengok kembali Sirah Nabawiah, ada beberapa landasan kultural yang melatari terbangunnya peradaban Islam. Di mana landasan kultural ini memiliki pengaruh penting atas terbentuknya suatu komunitas masyarakat beriman yang mendapatkan celupan dan siraman wahyu di bawah bimbingan langsung Rasulullah saw. Landasan kultural tersebut antara lain; kesalehan, militansi, ketaatan, dan persaudaraan (ukhuwah).

Landasan kultural tersebut sudah barang tentu juga harus menjadi landasan kultural gerakan Hidayatullah, atau bahkan telah menjadi khittah Hidayatullah secara kultural. Karena berdasarkan penuturan dan nasehat para sesepuh dan perintis Hidayatullah, hal-hal tersebut bisa jadi telah menjadi nilai-nilai inti (core values) dan menjadi faktor penentu tercapainya lompatan sejarah Hidayatullah di Indonesia.

Pertama adalah kesalehan. Sudah mafhum diketahui bahwa pada awal perlangkahan gerakan Hidayatullah, Allahu Yarham Ust. Abdullah Said sangat menekankan pada kader-kader awal Hidayatullah untuk mengartikulasikan prinsip-prinsip kesalehan baik secara individu (infiradhi) maupun organisasi (jama’i).

Proses membangun kesalehan tersebut diaplikasikan dengan melibatkan para santri secara konsisten pada rutinitas amaliah seperti sholat jama’ah, baca Qur’an, sholat tahajjud, puasa sunnah dan amaliah lainnya. Amaliah tersebut dilaksanakan secara konsisten dan telah menjadi kekhasan tersendiri dalam gerakan Hidayatullah. Dibuktikan dengan adanya pernyataan bahwa untuk mengetahui dia orang Hidayatullah atau bukan, dilihat dari durasi yang lama ketika sholat sehingga meninggalkan bekas tanda sujud di dahi.

Terbangunnya kesalehan para kader Hidayatullah tidak terjadi secara alamiah, tapi karena kesadaran yang muncul setelah melalui proses internalisasi nilai-nilai kesalehan yang terkandung dalam surah al-Muzammil ayat 1-10 dalam manhaj Sistematika Wahyu yang mengandung tujuh azimat untuk memperkuat kapasitas spiritual (spiritual capacity).

Dengan kapasitas spiritual yang mumpuni dari para pendiri dan perintis Hidayatullah, ternyata telah menjadi modal kultural yang sangat penting dalam proses perintisan cabang-cabang Hidayatullah di Nusantara.

Kedua adalah militansi. Semangat tinggi dan militansi juga telah menjadi ciri khas kader Hidayatullah. Militansi di sini tidak dimaknai sebagai etos perjuangan yang mengebu-gebu dalam jargon-jargon seperti khilafah dan daulah Islamiah. Juga tidak ditafsirkan dengan tindakan menghakimi kelompok masyarakat lain dengan tindakan teror dan sebagainya. Akan tetapi militansi dimaknai dengan sikap meleburkan diri dalam upaya memperjuangkan Islam dalam koridor yang telah ditetapkan oleh Hidayatullah, yaitu gerakan membangun kesadaran Islam melalui ranah pendidikan (tarbiyah) dan dakwah.

Tidak jarang militansi tersebut dibuktikan dengan melepaskan properti, materi, jabatan yang telah dimiliki ketika sebelum bergabung, dan siap menerima berapa pun gaji yang diberikan ketika telah bergabung dengan Hidayatullah. Militansi tergambar dalam etos kerja yang tinggi para santri dan kader Hidayatullah ketika melakukan kerja fisik untuk merintis dan membangun pesantren Hidayatullah serta cabangnya di seluruh Indonesia.

Militansi juga tercermin dengan jelas pada karakter resiliensi (keuletan/ketabahan) yang dimiliki oleh kader-kader Hidayatullah dalam merintis cabang-cabang Hidayatullah, dan merupakan salah satu efek yang timbul dari upaya menjaga khittah kultural yang pertama, yaitu kesalehan.

Ketiga, adalah ketaatan. Salah satu faktor penentu lompatan sejarah Hidayatullah adalah proses kaderisasi secara massif dan sistemik. Proses perkaderan dilakukan berdasarkan manhaj nubuwwah Sistematika Wahyu untuk melahirkan kesadaran memperjuangkan Islam.

Dengan kesadaran tersebut para santri dan kader Hidayatullah telah mempersiapkan diri untuk memikul amanah kelembagaan dalam bentuk penugasan kader. Secara umum para kader Hidayatullah dengan sigap merespon amanah penugasan. Sehingga penugasan dan kaderisasi adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Kesigapan tersebut juga menggambarkan semangat ketaatan yang telah terbangun.

Dalam hal ini, ketaatan menjadi modal kultural yang sangat penting dalam pengembangan kelembagaan Hidayatullah. Proyeksi ketaatan menjadi etos kepengikutan yang positif (followership) para kader kepada kepemimpinan (qiyadah) Hidayatullah yang mengadopsi sistem kepemimpinan Imamah-Jama’ah. Di mana pola kepemimpinan ini berusaha mengikuti sistem kepemimpinan Rasulullah saw dan Khulafaurrasyidin.

Dengan modal kultural ini, tingkat keterlibatan dan partisipasi kader Hidayatullah sangat tinggi di dalam menyokong program-program keumatan ormas Hidayatullah. Hal tersebut juga menjadi faktor psikologis yang penting dalam pembangunan sumberdaya manusia di Hidayatullah. Tidak dapat dinafikan bahwa ketersiapan kader yang dengan sigap menerima amanah penugasan, menjadi faktor penentu perkembangan Hidayatullah ke seluruh Indonesia.

Keempat, adalah ukhuwah. Sejak awal mula dirintis, Hidayatullah hadir di tengah umat untuk menjadi perekat hubungan persaudaraan antar sesama Muslim di Indonesia yang saat itu terfragmentasi dalam perselisihan mazhab dan organisasi. Misalnya kompetisi dan persaingan yang tidak sehat terjadi antara NU dan Muhammadiyah, dan membuat jurang yang semakin lebar antara paham tradisionalisme yang diusung oleh NU dan paham modernisme Islam Muhammadiyah.

Pada sisi inilah Hidayatullah hadir dalam merekatkan kembali persatuan umat (ukhuwah Islamiah). Dalam praktiknya, para da’i Hidayatullah secara eklektik memiliki kemampuan beradaptasi dengan masyarakat Nahdliyin dan Muhammadiyah, karena membekali diri dengan skill yang dibutuhkan pada masyarakat dengan latar belakang tertentu. Bisa jadi hal tersebut menjadi faktor penyebab cepatnya perluasan cabang-cabang Hidayatullah se-Indonesia, karena sikap adaptif para da’i Hidayatullah. Konsep ukhuwah di sini adalah Ukhuwah Insaniah, Ukhuwah Islamiah, dan Ukhuwah Wathaniah.

Selain itu Hidayatullah secara organisasi telah menetapkan sebagai diri sebagai jama’atun min jama’atil Muslimin dengan prinsip jati diri Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Wasathiyah. Dengan prinsip moderasi (wasathiyah), Hidayatullah tidak ingin terjebak dalam kutub ekstrim tertentu, dan bahkan tidak ingin terjerumus dalam politik praktis.

Kegiatan Silaturrahim Akbar Nasional Hidayatullah telah menjadi tradisi organisasi sejak era Allahu Yarham Ust. Abdullah Said, sebagai bentuk usaha menjaga ukhuwah sesama kader Hidayatullah, dan telah menjadi khittah kultural Hidayatullah sejak lama.

Semoga dengan Silatnas ditahun 2018 ini, para kader Hidayatullah bisa menjadikannya sebagai wahana untuk melestarikan kesalehan, militansi, ketaatan, dan ukhuwah Islamiah, agar cita-cita tertinggi terbangunnya Peradaban Islam bisa tercapai. Selamat Ber-Silatnas. Wallahu A’lamu Bisshawwab.

___________
*) Dr Abdurrohim, penulis adalah Kepala Lembaga Penjaminan Mutu STIS Hidayatullah Balikpapan.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Marriage is (not) Scary, Ibadah Terpanjang yang Menyatukan Keberkahan dan Tantangan

SEJAK remaja, saya selalu menjadi tempat curhat orang-orang di sekitar, dari teman dekat hingga kenalan singkat. Entah karena saya...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img