Hidayatullah.or.id — Standarisasi dan sentralisasi adalah kebutuhan mendesak bagi Hidayatullah sekarang ini. Karenanya, kalau tidak memulai melakukan standarisasi dan sentralisasi, ke depan ini dinamika Hidayatullah bisa bisa tak terkendali.
Demikian ditegaskan Ketua Pimpinan Pusat Hidayatullah, Ir Ahkam Sumadiana, di sela-sela acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) 2014 dan Leadership Training Hidayatullah di Kota Depok, Jawa Barat, ditulis Selasa (21/01/2014).
Maka untuk menganstisipasi dinamika tersebut, kita kata Ahkam harus melakukan standarisasi dan sentralisasi. Khususnya standarisasi itu menyangkut banyak hal. Karena kita dibenturkan dengan berbagai macam tantangan baik berkenaan dengan kapasitas, kemampuan dari sisi manajerial, dan leadership.
“Kalau kita tidal melakukan standarisasi, nanti akan terjadi kesenjangan antara Hidayatullah satu dengan yang lain,” kata Ahkam ditemui media ini beberapa saat lalu.
Standarisasi organisasi ini akan dilakukan menyeluruh. Misalnya standarisasi nilai, nilai yand dipakai Hidayatullah itu sifatnya kesepakatan atau syura’. Standar dasarnnya adalah Qur’an dan Hadits.
Kemudian ada standarisasi wilayah, bahwa keberadaan Hidayatullah harus punya tempat atau wilayah yang disebut sebagai kampus peragaan peradaban Islam. Hal itu, kata jelas beliau, harus menjadi kesepakatan bersama karena kita tidak punya paradigma seperti cukup pasang papan nama.
“Kalau pengurus Hidayatullah hanya pasang papan nama saja itu tidak standar,” ujarnya.
Selain itu, kemudian ada standar kultur. Di Hidayatullah ada kultur sholat berjamaah, kultur bersyariah, dan kultur berahlak.
Selanjutnya, ada standar jamaah atau anggota. Kalau standar jamaah Hidayatullah levelnya itu pertama adalah anggota, kedua kader, dan ketiga adalah level ideolog. Anggota tentunya bebannya tidak sebesar kader. Anggota itu sebenarnya kalau kita ikut pengajian, ikut halaqah, ikut melaksanakan syariat Islam, itu sudah bisa disebut anggota.
“Tapi kalau kader tentunya dia bisa menjadi fungsionaris dan aktifis. Jadi pengurus rendah maupun tinggi,” ungkap mantan tokoh HMI Sulawesi Selatan ini.
Karenanya, tegas beliau, kultur-kultur ini tidak ada yang bisa menolak. Dunia pun tidak akan bisa menolak gerakan kultural ini karena sudah menjadi fitrah. Misalnya wanita muslim pakai jilbab, gerakan kultur moral agama ini akan senantiasa mengkultur dan siapa pun harus menerima.
“Gerakan kulturisasi nilai-nilai Islam itu tidak bisa dihalangi. Tapi kalau diundang-undangkan dianggap melanggar HAM, dianggap tidak aspiratif. Maka kulturnya Hidayatullah itu bersyariah. Di mana mana itu kultur yang terbangun. Waktunya sholat berjamaah, sholat. Waktunya bekerja, kerja,” imbuhnya. (ybh/hio)