Oleh Ustad Sholeh Usman
Siapa kita sebenarnya? Kita bukanlah siapa-siapa, hanya hamba Allah SWT. Ketika kita mendapatkan hidayah atau petunjuk, itu karena memang Allah SWT mencintai dan menyayangi kita. Tentunya ini merupakan sebuah bukti ilahi yang mutlak dan wajib untuk kita syukuri.
Maka dari itu sudah selayaknya kita terus meningkatkan kesyukuran kita kepada Allah SWT karena ini merupakan sebuah karunia yang amat besar. Bagaimana cara mensyukuri nikmat petunjuk yang amat besar ini? tentunya dengan selalu bersungguh-sungguh merawat dan memelihara petunjuk yang Allah berikan kepada kita. Yaitu dengan menjalankan syariat Allah sebaik-baiknya.
Dalam surah Al-fatihah kita semua telah disyariatkan untuk membaca kalimat ihdinash-shirraatal musthaqiim. tentunya ini merupakan doa yang spesial, doa yang menjadi spesifik dalam islam, dari sekian banyak doa dalam islam. Sesungguhnya doa ini tidak ada duanya. Doa ini menempati posisi teratas dalam surat Al-fatihah karena satu satunya doa yang diawali dengan kalimat-kalimat pembuka, pengantar-pengantar untuk menyampaikan munajat permohonan inti kepada Allah SWT. Kemudian sesudah itu kita dituntut untuk menyampaikan kejelasan waktu dan tujuan doa dan permohonan tersebut.
Permohonan petunjuk kepada Allah SWT dalam kalimat ihdinash-shirraatal musthaqiim, adalah merupakan bentuk bukti bahwa kita merupakan orang-orang yang berkomitmen untuk menjalankan perintah Allah SWT. Karena permohonan petunjuk hidayah sebagaimana yang kita lihat dalam Al-quran.
Setelah kita meminta kepada Allah “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus” lalu, yang manakah jalan yang lurus itu? di antara penjelasan para mufasir bahwa jalan yang lurus ialah dinul islam. Namun juga, penjelasan setelah ayat ini “Shiraathal ladziina, yaitu jalan yang telah diberi nikmat”
Siapakah mereka itu orang-orang yang diberi nikmat? tentunya mereka itu ialah Para Nabi, para Sholihin, para Syuhada. Jalan mereka inilah yang kita mohon kan kepada Allah SWT agar kita diperjalankan bersama mereka.
Lalu selanjutnya yang menjadi pertanyaan untuk saat ini adalah bagaimana jika Rasulullah hidup saat ini?, sekiranya jika para sholihin juga masih hidup hingga saat ini? dimana agama dipermainkan dan aturan Allah tidak di junjung tinggi. Sekiranya bagaimana dan apa yang mereka akan lakukan melihat keadaan saat ini?
Tentunya pertanyaan yang seharunya kita tanyakan ialah apakah sebenarnya kita sendiri sudah melakukan yang para sholihin atau para nabi lakukan? Apakah sikap yang telah kita ambil merupakan sikap yang selayaknya sikap mereka pada masanya?
Saat ini kita telah berada pada jumat terakhir Ramadan 1441 H, tentunya kita belum tahu apakah kita akan bertemu jumat Ramadan Selanjutnya. Maka tentunya ini merupakan sebuah momentum yang baik, untuk mengevaluasi bahwa siapa diri kita sebenarnya. Apakah sudah benar iman yang telah kita miliki. Jangan sampai kita ini termasuk orang yang lalai.
Memang benar kita sudah solat malam, memang benar kita sudah sedekah, memang kita sudah puasa, memang benar sudah haji. Namun, apakah kita sudah memiliki ibadah yang mendekati kualitas ibadah Rasulullah SAW?. Apakah ada rasa khawatir pada diri kita terhadap kaum muslimin yang tidak memiliki izzah, yang tidak memiliki kekuatan. Jangan-jangan iman kita penuh kepalsuan. Apakah ada rasa khawatir bahwa taqwa yang kita miliki bukanlah sebagaimana taqwa yang disampaikan Allah. Jika ini sampai terjadi, bahwa iman kita palsu, taqwa kita bukan sebenarnya taqwa. Maka mau sampai kapan kita akan begitu terus?
Padahal umur yang kita miliki adalah bentuk jumlah pertemuan kita pada bulan Ramadan, jika berumur 10 tahun, maka telah 10 kali ketemu ramadan, dan jika kita berumur 20 tahun berarti telah 20 kali ramadan, begitulah seterusnya semakin tua usia maka semakin banyak kita bertemu Ramadan. Tapi bagaimana dengan kualitas iman dan taqwa yang kita? tentunya untuk menjawab masih ada waktu untuk kita evaluasi secara serius setelah Ramadan berlalu.