Covid-19 dibahasakan media sebatas pada sisi yang biasa-biasa saja. Headline beragam media massa, terutama cetak lebih banyak update perihal racikan dapur istana yang umumnya bernarasi tentang apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dibanding terobosan solutif yang diperlukan.
Artinya, kaum muda tidak cukup punya referensi yang dibutuhkan untuk melihat selangkah lebih maju, perihal apa yang diperlukan pasca Covid-19 jika hanya mengandalkan media massa. Diskursus ini penting mengingat wabah ini bagaimanapun ganasnya, pasti akan berlalu. Dan, siap atau tidak, kaum muda akan diperhadapkan dengan tantangan baru.
Setidaknya ada lima hal yang setelah Covid-19 akan menyapa negeri kita, terutama kaum muda.
Pertama, semakin berkembangnya dunia digitial. Sekarang, walau pun pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masyarakat tidak begitu bergejolak, karena dalam beberapa hal bisa dipenuhi melalui dunia digital, mulai dari belanja, kepedulisan sosial, hingga produktivitas dunia kerja.
Disadari atau tidak, Work From Home yang kini berlaku akibat wabah Covid-19 akan menjadi semacam rujukan banyak pihak ke depan, ternyata banyak sisi dalam dunia kerja yang bisa dilakukan secara online alias digital.
Hal ini berarti ke depan akan banyak hal yang ditangani secara digital, dimana bangsa Indonesia, termasuk organisasi kepemudaan harus siap dengan kondisi itu. Termasuk di dalamnya soal keberadaan kader dengan skill data scientist, security data, dan development program yang mumpuni menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.
Kedua, kompetisi dan penerimaan dunia kerja ke depan serta tuntutan perkembangan sosial ekonomi terhadap person akan sangat mungkin tidak lagi didasarkan pada gelar akademik, tapi skill dan integritas.
Dengan kata lain, penanaman nilai-nilai iman, adab, akhlak, moral dan segenap kepribadian yang positif yang dicontohkan oleh Nabi akan menjadi penentu seseorang diterima lebih baik dibanding sekedar yang punya skill tapi tidak beradab.
Ketiga, benarkah poin kedua dibutuhkan. Jawabannya pasti, sebab yang dimaksud skill, terutama skill lunak meliputi karakter, mulai dari akhlak dalam pergaulan yang meliputi kemampuan komunikasi (lisan dan tulisan) empati, perhatian, kreativitas, kolaborasi dan kepemimpinan menjadi hal yang disiapkan dari sekarang.
Artinya, sikap menang sendiri, merasa paling pintar akan menjadi sebuah kelucuan di masa depan. Maka, kemampuan berpikir jernih, berakhlak mulia dan siap berkolaborasi (artinya mau mendengar dan siap kerjasama) menjadi kunci sukses pemuda di masa mendatang.
Keempat, optimalisasi dunia digital untuk peningkatan skill kaum muda. Organisasi kepemudaan akan terus eksis dan dibutuhkan jika mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Satu di antara kebutuhan ke depan adalah tersedianya aplikasi atau setidak-tidaknya program yang dapat mengupgrade skill kaum muda secara online.
Kita tidak bisa pungkiri bahwa dunia akan semakin terkoneksi, maka pemuda harus memiliki program terobosan, misalnya dengan menerapkan Massive Open Online Courses (MOOCs) sebagai sarana edukasi, upgrading, dan bahkan rekrutmen anggota untuk lebih berwarna di tengah-tengah masyarakat.
Kelima dan ini yang paling inti membangun budaya belajar. Budaya belajar harus menjadi nafas sehari-hari, sehingga dari sekarang kemampuan membaca secara tajam dengan analisis yang kaya argumen harus sudah dimulai.
Orang akan memiliki gagasan, analisa, dan ide yang kaya argumen hanya bila dia mengerti apa itu Iqra’ bismirabbik sampai pada tahap operasionalnya dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh konkret kekinian, secara empirik, implementasi budaya belajar yang hidup dapat kita lihat dari pemerintahan Korea Selatan dalam mengatasi wabah Covid-19, sehingga negeri ginseng itu mampu menjadi negara tercepat dan akurat dalam menekan penyebaran wabah.
Menurut Kim Chang-heom yang merupakan duta besar Republik Korea untuk Indonesia mengatakan, pemerintahnya melakukan tiga langkah nyata. Pertama, melakukan tindakan cepat, yakni dengan melakukan pengembangan reagen hingga penerapan pemeriksanaan secara “drive-thru” sehingga dalam sehari bisa melakukan 18.000 pemeriksaan.
Kedua, strategi tes, trace and trat (3T) yakni lacak, uji, dan obati. Langkah ini menggunakan data GPS di ponsel mereka yang terbukti positif, disana terlihat dengan siapa dia berinteraski, kemana saja, sehingga bisa langsung diberikan anjuran agar orang yang prenah berinteraksi dapat melakukan karantina mandiri.
Ketiga, edukasi masyarakat yang tinggi, sehingga terjadi partisipasi sukarela yang menggembirakan.
Apakah Indonesia mampu bertindak seperti itu? Jawabannya sangat bisa, karena tinggal kesadaran dan tindakan. Tetapi, mudahkah membangun kesadaran itu? Di sinilah letak pentingnya budaya belajar (membaca) dan bertindak.
Dan, Islam punya konsep iqra’ bismirabbik yang jauh lebih mendalam, komprehensif dan sudah barang tentu mendatangkan banyak maslahat. Soalnya, sudahkah ini dipahami dan dijalankan dan menjadi budaya keseharian?
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah