AdvertisementAdvertisement

Pemimpin itu Melayani

Content Partner

KRISIS kepemimpinan, kini terjadi dimana-mana. Ukuranya sederhana. Siapapun yang saat ini disebut pemimpin, dalam berbagai tingkatan dan level, rata-rata sibuk mengkapitalisasi dirinya dan kelompoknya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya lebih banyak dan banyak lagi.

Tidak tanggung-tanggung, bisa dilakuan dengan berbagai daya dan upaya. Seolah mengamini dalil Lord Acton yang masyhur itu, ”Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Dimana, korupsi dalam perspektif Acton tidak hanya menyangkut dengan uang saja, tetapi juga terkait dengan kebijakan, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya.

Sehingga “wajar” jika semakin sesorang mendapat kekuasaan semakin menggila dan gelap mata. Akibatnya enggan melepas kekuasannya itu. Dampaknya terus melakuan mobilisasi dan menjalin aliansi dengan berbagai pihak, agar kekuasaannya semakin kuat, langgeng dan tidak jatuh.

Seolah merekalah merupakan pengatur segalanya, orang lain (rakyat) dianggap buta, tidak tahu apa-apa. Lebih parah lagi jika kemudian ada yang memanfaatkan kepemimpinan dan kekuasaan itu. Biasanya dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya dan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.

Mereka seringkali menjadi penyokong yang tidak waras. Sebab mereka juga takut kehilangan bagian dari “kue” kekuasaan yang telah dinikmati atau yang dijanjikan. Maka berbagai upaya pembelaan dan penjerumusanpun dilakukan. Menjilat. Asal bapak senang (ABS) dan istilah serta perilaku sejenis lainnya.

Akibatnya, pemimpinnya mati kutu, sebab semakin mendapat pembenaran, bukan kebenaran. Apalagi jika seorang pemimpin tidak cukup memiliki ilmu, kapasitas, integitas, dan kecakapan yang memadai dalam memimpin. Maka dia akan larut dan diombang-ambingkan oleh situasi, kondisi dan keadaan.

Ada virus yang dihembuskan, bahwa memimpin itu artinya menguasai. Dengan demikian pendekatannya pasti dengan kekuasaan. Sedangkan pendekatan kekuasaan itu, seringkali dilakukan dengan paksaan, kesewenang-wenangan, hingga tidak jarang menggunakan intimidasi dan kekerasan. Ini kaidah umumnya.

Tambah semakin berkelindan lagi, jika ternyata ada cukong yang mem-backup kekuasaan tersebut. Tidak jarang mengatasnamakan demokrasi. Padahal kalangan berduit yang kemudian membayar seseorang untuk dapat berkuasa. Dipoles sedemikian rupa, dipantas-pantaskan meskipun tidak pantas, dan seterusnya.

Cukong berhitung sebagai investasi. Sehingga dengan mudah dapat dikalkulasi dalam perspektif bisnis. Berapa cost yang harus dikeluarkan untuk menjadikan seseorang untuk menjabat level kekuasaan tertentu. Dan berapa lama nanti investasinya akan kembali, serta mendapat keuntungan berapa besar. Semua bisa dihitung. Kaidah transaksional terjadi.

Dan selanjutnya bisa kita tebak, siapapun yang berkuasa, dia akan menjadi boneka dan berada dalam pengaruh dan kendali para bandar itu. Dan Inilah oligarki yang sempurnya. Kolaborasi Peng-peng (penguasa dan pengusaha). Sehingga kecurangan dan menghalalkan segala cara dianggap hal biasa. Bahkan dilakukan secara terstruktur dan sistemik. Saling melindungi dan saling menutupi.

Sesungguhnya pemimpin yang demikian ini tersandera dan juga saling menyandera. Meski didukung dengan data statistik misalnya, akan tetapi tetap saja bisa direkayasa dan dimanipulasi, sebab ada juga kaidah lie’s with statistic (berbohong dengan statistik).

Praktik-praktik kotor seperti ini, saat ini dengan terang benderang dan masif dipertontonkan kepada kita dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kancah dunia, misalnya dengan kasat mata juga menunjukkan hal itu, sejak lama. Pun demikian dalam konteks Indonesia, juga tidak kalah hebonya. Semuanya, dengan mudah kita jumpai, kita saksikan dan kita rasakan.

Apalagi di era media sosial, maka tidak ada yang tersembunyi setiap kejadian di kolong langit ini. Bahkan, kini laksana terjadi tsunami informasi yang datang bertubi-tubi, dan kita tidak bisa menghindarinya. Akibatnya, kita sangat sulit untuk melakukan cross check/tabayyun dan melakukan verifikasi, apakah informasi yang kita terima benar apakah hoax. Ini era yang dinamakan dengan post trust.

Disisi lain, seolah kita juga tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan. Bahkan menunjukkan raw-model kepemimpinan yang baik itu seperti apa, tidak mampu. Seakan tidak ada pembanding. Jika ada, maka kalah popularitasnya dengan praktik yang ada.

Tenggelam dengan mainstream yang sedang terjadi, dengan selalu dicekoki dengan model kepemimpinan yang menjijikkan dari berbagai media itu. Apalagi kini media mainstream juga sudah dibeli dan terbeli. Akibatnya, seakan jika ingin melihat praktik kepemimpinan yang baik itu, hanya ada dalam buku, dongeng dan cerita saja. Tidak ada wujudnya yang nampak.

Hal tersebut sangat membahayakan dan mengkhawatirkan. Apalagi bagi generasi milenial dan sesudahnya. Sebab generasi saat ini, lebih suka menonton daripada membaca. Lantas jika tontonannya dari waktu ke waktu terus seperti itu, bisa jadi dalam alam bawah sadarnya akan menjadi mindset, selanjutnya membenarkan praktik-praktik seperti ini.

Hakikat Kepemimpinan

Kesalahan paradigmatik tentang kepemimpinan itulah yang kemudian merusak hakikat kepemimpinan itu sendiri. Seorang pemimpin, di level apapun juga, seharusnya sudah selesai dengan urusan dirinya sendiri. Artinya bukan tidak boleh memikirkan dirinya sendiri, tetapi porsinya kecil. Dia lebih mengutamakan kemaslahatan bagi yang dipimpinnya.

Disisi lain para pemimpin harus sadar, bahwa memimpin itu identik dengan melayani. Memberikan yang lebih baik dan lebih banyak terhadap orang lain. Bukan menjadi yang dilayani. Sehingga meminta lebih banyak dari orang lain. Jika kaidah ini dipahami dan dilaksanakan, maka keluarganya, orang-orang di sekitarnya, serta siapapun yang punya kepentingan dengannya, juga akan mengikuti arus utama itu.

Bagaimana kita menanamkan dan menginjeksi model kepemimpinan yang melayani ini, sebagai hakikat kepemimpinan itu sendiri. Setidaknya kita bisa mengambil contoh dari praktik yang indah dan diteladankan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra, cucu dari Umar bin Khaththab ra ini.

Dimana, sesaat setelah diangkat menjadi khalifah, menggantikan pamannya Sulaiman bin Malik ra, beliau berpidato di atas mimbar. Selanjutnya beliau turun dari mimbar dan beranjak menuju rumahnya dan masuk ke dalam kamarnya.

Beliau ingin sekali istirahat barang sejenak setelah menguras tenaganya karena banyaknya kesibukan pasca wafatnya khalifah sebelumnya. Akan tetapi, belum lagi lurus punggungnya di tempat tidur, tiba-tiba datanglah putra beliau yang bernama Abdul Malik –ketika itu dia berumur 17 tahun- dia berkata,

Abdul Malik: “Apa yang ingin Anda lakukan wahai Amirul Mukminin?”

Umar bin Abdul Aziz: “Wahai anakku, aku ingin memejamkan mata barang sejenak karena sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa”

Abdul Malik: “Apakah Anda akan tidur sebelum mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi wahai Amirul Mukminin?”

Umar bin Abdul Aziz: “Wahai anakku, aku telah begadang semalaman untuk mengurus pemakaman pamanmu Sulaiman, nanti jika telah datang waktu zuhur aku akan shalat bersama orang-orang dan akan aku kembalikan hak orang-orang yang dizalimi kepada pemiliknya, insya Allah”

Abdul Malik: “Siapa yang menjamin bahwa Anda masih hidup hingga datang waktu zuhur wahai amirul mukminin?”

Kata-kata ini telah menggugah semangat Umar bin Abdul Aziz, hilanglah rasa kantuknya, kembalilah semua kekuatan dan tekad pada jasadnya yang telah lelah, beliau berkata, “Mendekatlah engkau nak!”.

Lalu mendekatlah putra beliau kemudian beliau merangkul dan mencium keningnya sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkan dari tulang sulbiku seorang anak yang dapat membantu melaksanakan agamaku”.

Kemudian beliau bangun dan memerintahkan untuk menyeru kepada manusia, “Barangsiapa yang merasa dizalimi hendaklah segera melapor”.

Itulah salah satu raw-model kepemimpinan yang telah dipraktikkan dengan indah dalam khazanah Islam. Dan masih banyak lagi contoh yang bisa ditampilkan. Jika dari hal yang nampak sederhana sudah dilakukan perbaikan maka, akan berimbas pada yang lebih besar.

Terbukti, hanya sekitar 2 (dua) tahun menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz mampu mengubah tatanan bernegara dan mensejahterakan rakyatnya.

Hal ini senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiaullahanha berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah bersabda di rumahku ini, “Ya Allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.” (HR Muslim).

Yang menjadi soal adalah, bukan tentang istilah, definisi, dan contoh-contoh tersebut di atas, akan tetapi lebih dari itu, yaitu bagaimana mempraktikkan semua itu dalam kehidupan sehari-hari. Tentu tidak mudah. Tetapi bukan berati tidak bisa.

Mari memulainya dari diri kita sendiri, berlanjut ke keluarga kita, komunitas kita, dan seterusnya. Semuanya sepatutnya dimulai dari hal-hal kecil, hingga berlanjut menjadi roadmap, dan membesar serta mempengaruhi perubahan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, selanjutnya dapat memperbaiki tata kehidupan dunia. Wallahu a’lam.

Asih Subagyo | Instruktur pada Hidayatullah Institute

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

SAR Hidayatullah Gelar Rapimnas, Bahas Kesiapsiagaan Hadapi Ancaman Gempa Megathrust

SURABAYA (Hidayatullah.or.id) -- Ancaman gempa megathrust menjadi isu strategis dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) SAR Hidayatullah yang digelar di...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img