SENTANI (Hidayatullah.or.id) — Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Provinsi Papua menggelar acara Halal Bihalal bertajuk Lailatul Ijtima’ & Silaturrahim Syawal yang digelar di Kampus Pondok Pesantren Hidayatullah Sentani, 18-19 Syawal 1445/ 27-28 April 2024.
Hadir pada kesempatan tersebut Ketua DPW Hidayatullah Papua Ust. Musmulyadi dan segenap jajarannya. Hadir pula unsur jajaran Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Papua.
Anggota Dewan Murabbi Wilayah Hidayatullah Papua Ust. H. Hasanuddin dalam taushiyahnya menyampaikan pesan motivasi keutamaan puasa dimana di bulan Syawal umat muslim dianjurkan untuk puasa sunah selama enam hari dan menqadha itikaf Ramadhan yang mungkin terlewatkan.
Adapun hikmah penting dari ibadah puasa Syawal adalah ini menjadi pertanda bahwa ibadah yang dilakukan terhenti. Puasa Syawal menjadi pemicu untuk berusaha mempertahankan kualitas dan kuantitas ibadah di bulan setelahnya.
“Kita harus berusaha menjadikan kultur Ramadhan selalu hidup sepanjang tahun dan puasa Syawal ini tentu menjadi salah satu bentuk untuk melestarikan ibadah yang sudah dijalankan selama Ramadan,” kata Hasanuddin seperti dilansir laman Hidayatullahpapua.or.id, Ahad (28/4/2024).
Ustadz Hasanuddin lantas menjabarkan analogi antara puasa seperti kepompong dan puasa seperti ular memang memberikan gambaran yang sangat kuat tentang bagaimana sikap dan perilaku kita seharusnya selama menjalani ibadah puasa.
Ia pun kemudian menelaah pelajaran yang bisa diambil dari analogi tersebut. Pertama, puasa seperti kepompong.
Dia menjelaskan, kepompong adalah simbol perubahan total yang terjadi pada diri seseorang selama berpuasa.
Seperti halnya kepompong yang berubah dari ulat menjadi kupu-kupu, kita juga diharapkan mengalami perubahan dalam diri secara keseluruhan selama bulan puasa.
“Ini termasuk perubahan sikap, perilaku, dan spiritualitas kita. Puasa mengajarkan kita untuk membersihkan diri dari perilaku yang buruk dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan amal ibadah yang baik,” katanya.
Kedua, berpuasa seperti ular. Berbeda dengan kepompong, kata Hasanuddin, ular hanya mengalami perubahan pada kulitnya saja saat berpuasa. Hal ini terang Hasanuddin menggambarkan seseorang yang hanya menunjukkan perubahan fisik atau tampilan saja tanpa adanya perubahan batin atau perilaku yang sesungguhnya.
Misalnya, seseorang mungkin berpuasa secara lahiriah tetapi masih mempertahankan sifat-sifat buruk seperti keangkuhan, kemarahan, atau kebencian di dalam hatinya.
Dari analogi tersebut, jelas dia, kita bisa mengambil beberapa pelajaran penting, yaitu pentingnya menjaga lisan. Puasa mengajarkan kita untuk menjaga mulut dari perkara-perkara maksiat, seperti fitnah, ghibah, dan kebohongan. Ibrah ini pula mencerminkan pentingnya menjaga ucapan dan perbuatan agar sesuai dengan ajaran Islam serta tidak menyakiti orang lain.
Selain itu, Hasanuddin menilai analogi ini juga mengajarkan esensi ukhuwah. Puasa mengajarkan kita untuk memperbaiki hubungan dengan sesama, memperkuat ukhuwah, dan meningkatkan solidaritas di antara umat Muslim. Ini penting untuk membangun kebersamaan, saling mendukung, dan membantu satu sama lain dalam kebaikan.
Berikutnya, analogi itu juga menyiratkan hikmah tentang menerima tugas dengan syukur. Sifat syukur dan kesediaan untuk menerima tugas yang diberikan merupakan sikap yang sangat diapresiasi dalam Islam. Ini menunjukkan ketaatan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah serta bersedia berkontribusi dalam dakwah dan kebaikan.
“Analogi puasa kepompong dan ular ini mengingatkan kita untuk tidak hanya menjalani puasa secara ritualistik, tetapi juga menjadikan bulan puasa sebagai waktu untuk melakukan perubahan yang nyata dalam diri, baik secara lahiriah maupun batiniah, serta memperkuat hubungan dengan Allah Ta’ala dan sesama manusia,” tandasnya.
Pada kesempatan tersebut, hadir juga Ust. Al Djufrie Muhammad selaku Badan Pembina Kampus Madya Hidayatullah Sentani.
Dalam kesempatan memberikan wejangan spiritual kepada hadirin, Al Djufrie menyampaikan hikmah Syawal sebagai momentum menyatukan energi ukhuwah.
Dia menjelaskan, bulan Syawal, yang merupakan bulan di mana umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan, memiliki banyak makna dan pentingnya untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan, baik di antara sesama muslim maupun sebagai sesama anak bangsa.
“Bulan Syawal adalah momentum penting sekali untuk semakin menguatkan persatuan dan persaudaraan,” tegas Al Djufrie.
Perkuat Persatuan dan Persaudaraan
Sementara itu Ketua DPW Hidayatullah Papua Ust. Musmulyadi yang juga turut menyampaikan wejangan pada Halal Bihalal Silaturrahim Syawal tersebut menekankan pentingnya memperkuat persatuan dan persaudaraan baik dalam lingkup komunitas maupun dalam skala yang lebih luas sebagai masyarakat.
Musmulyadi mengatakan, kita telah melewati Ramadhan sebagai bulan penuh ibadah, pembersihan diri, dan refleksi spiritual bagi umat Islam.
Dalam proses ini, jelas dia, umat Islam dari berbagai latar belakang etnis, budaya, dan sosial syahdu dalam ibadah puasa dan perenungan.
“Setelah menjalani bulan yang penuh pengorbanan dan spiritualitas bersama itu, maka bulan Syawal ini menjadi momen puncak kebahagiaan dan syukur bersama,” imbuhnya.
Bulan Syawal dimana suka cita Idul Fitri berlangsung juga merupakan waktu untuk merelakan dan memaafkan, memperbaiki hubungan yang renggang, serta memulai kembali dengan hati yang bersih.
“Bulan Syawal ini mendorong umat Islam untuk menumbuhkan sikap rendah hati, kesabaran, dan kedamaian dalam hubungan dengan sesama, yang pada gilirannya memperkuat persaudaraan dan persatuan,” katanya.
Bulan Syawal juga lekat dengan tradisi memberi hadiah, menyantuni yang membutuhkan, dan berbagi makanan merupakan bagian integral dari perayaan Idul Fitri.
Menurut Musmulyadi, praktik ini tidak hanya menciptakan ikatan emosional yang kuat di antara keluarga dan komunitas, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial.
“Pada saat yang sama, budaya berbagi ini juga mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang dapat mempersatukan orang dari berbagai latar belakang,” tegas Musmulyadi.
Dalam pada itu, kata Musmulyadi, bulan Syawal ini menjadi momen di mana keluarga dan teman-teman berkumpul untuk merayakan bersama.
Pertemuan ini, teran dia, akan menciptakan peluang untuk mempererat hubungan interpersonal, berbagi cerita, dan memperkuat ikatan keluarga serta persahabatan.
“Karena itu, komunikasi yang terbuka dan hangat selama perayaan ini membantu memperdalam pemahaman dan penghargaan antara individu, yang pada gilirannya memperkuat persatuan dan persaudaraan,” kata Musmulyadi.
Pada kesempatan tersebut juga dilakukan penugasan dai untuk membantu perintisan dakwah di 2 daerah di Provinsi Papua yaitu di Kabupaten Mamberamo Raya dan Kabupaten Supiori.
Mereka yang ditugaskan masing masing ini adalah Ustadz Faisal Al Hafidz dan Ustadz Azwar Anas. Kedua kader dai muda ini menyambut penugasan dakwah ini dengan penuh suka cita. “Siap dimanapun ditugaskan,” kata Faisal yang ditimpali Azwar dengan takbir. “Allaahu Akbar!”
Kepada keduanya, Musmulyadi menitipkan pesan agar terus meluaskan spiriti Syawal di tempat tugas mereka dengan menyelami pengalaman bersama dalam kebahagiaan dan cobaan.
Musmulyadi menamsilkan, perayaan Idul Fitri di bualn Syawal tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang kesadaran akan keberuntungan dan keberkahan yang dimiliki bersama, serta kesadaran akan tantangan yang dihadapi bersama.
“Menghadapi cobaan dan kesulitan bersama-sama selama bulan Ramadhan dan merayakan kebahagiaan bersama-sama di bulan Syawal mengalirkan hikmah bahwa memperkuat rasa saling ketergantungan dan persatuan di antara umat Islam dan sesama anak bangsa adalah hal yang perlu selalu dijaga.” terangnya.
Dengan demikian, lanjut Musmulyadi, bulan Syawal tidak hanya menjadi waktu untuk merayakan kesuksesan menyelesaikan ibadah puasa, tetapi juga merupakan kesempatan berharga untuk perkuat persatuan, persaudaraan, dan solidaritas di antara umat Islam dan masyarakat secara luas. (ybh/hidayatullah.or.id)