TRADISI imbauan atau peringatan dini untuk mengingatkan waktu shalat lima waktu merupakan salah satu kekayaan yang khas dari Kampus kampus Hidayatullah di Tanah Air.
Setiap kali waktu shalat hampir tiba, Zuhur misalnya, bunyi dari pelantang suara di masjid, dengan jelas mengumandangkan seruan ini: “Sholah, sholah, sholah, waktu Zuhur kurang tiga puluh menit!”. Diulang sampai tiga kali.
Kebiasaan ini tentu tak mungkin dilupakan oleh para santri atau kader kader senior di Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, tempat di mana tradisi imbauan “sholah, sholah, sholah” ini berawal.
Pengumuman “sholah, sholah, sholah” ini bukan sekadar pengingat, melainkan sebuah penanda spiritual yang melekat di hati komunitas Hidayatullah.
Dengan imbauan ini, setiap orang yang mendengarnya diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri, seperti layaknya pengumuman keberangkatan di bandara yang mengingatkan penumpang agar segera bersiap menuju tujuan.
Tradisi ini, walaupun mungkin tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW secara spesifik, telah menjadi salah satu bentuk amal ma’ruf yang luar biasa dan sangat berharga.
Mengapa ini perlu dijaga? Karena ia adalah representasi nyata dari semangat saling mengingatkan dalam kebaikan, yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam.
Di balik tiap seruan untuk shalat terdapat pengingat akan pentingnya shalat berjamaah di awal waktu, serta pengakuan terhadap peran shalat sebagai salah satu pilar penting kehidupan seorang Muslim.
Shalat merupakan salah satu kewajiban dalam Islam yang ditekankan dengan kuat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam surah Al-Baqarah ayat 238, Allah SWT berfirman:
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.”
Ayat ini menekankan pentingnya menjaga shalat, terutama di waktu yang tepat, dan mengingatkan untuk melaksanakannya dengan khusyuk. Shalat lima waktu bukanlah semata-mata ibadah individu, namun juga instrumen untuk membangun hubungan spiritual dalam komunitas Muslim.
Shalat berjamaah bahkan memiliki keutamaan yang sangat tinggi dibandingkan shalat sendirian. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis:
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadis ini menggarisbawahi urgensi shalat berjamaah dan menegaskan nilai keutamaannya dalam kehidupan seorang Muslim.
Dengan adanya imbauan waktu shalat, Hidayatullah menghidupkan semangat kolektif yang diperintahkan oleh agama, yakni agar setiap anggota komunitas senantiasa siap mendirikan shalat tepat waktu dan, jika memungkinkan, melaksanakannya secara berjamaah.
Shalat sebagai Instrumen Kehidupan Spiritual
Shalat tidak hanya menjadi kewajiban ritual, tetapi juga merupakan salah satu instrumen paling mendalam dalam kehidupan spiritual seorang Muslim.
Dengan melaksanakan shalat lima waktu, seorang Muslim mengingatkan diri akan tujuan hidup, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT, serta merenungi ketundukan dan ketaatan kepada-Nya. Dalam surah Al-Ankabut ayat 45, Allah berfirman:
ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).”
Melalui shalat, setiap Muslim memiliki kesempatan untuk membersihkan hati dan pikiran dari hal-hal yang buruk dan merusak. Selain itu, shalat juga menjadi pengingat bahwa hidup ini bukan sekadar urusan duniawi, melainkan juga memiliki dimensi spiritual yang perlu dirawat.
Selain semacam hook untuk menarik perhatian dan membangkitkan minat, imbauan awal sebelum masuk ke pengumuman seperti “Sholah, sholah, sholah” atau “kaum muslimin rahimakumullah” memberikan ruang bagi setiap individu untuk menyesuaikan diri, meninggalkan sejenak urusan dunia, dan berfokus pada ibadah.
Tradisi Saling Mengingatkan
Saling mengingatkan dalam kebaikan adalah salah satu ajaran penting dalam Islam. Dalam surah Al-Asr, Allah SWT berfirman:
وَالْعَصْرِۙ. اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ. اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِࣖ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”
Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu cara untuk menghindari kerugian di dunia dan akhirat adalah dengan saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran.
Tradisi mengumandangkan peringatan waktu shalat di Hidayatullah ini, dengan cara yang teratur dan konsisten, adalah bentuk nyata dari pelaksanaan ajaran tersebut.
Setiap kali pengumuman terdengar, ia tidak hanya mengingatkan individu untuk segera melaksanakan kewajiban shalat, tetapi juga mengingatkan akan pentingnya bersikap disiplin dan mendahulukan ibadah di atas segalanya.
Dalam konteks ini, budaya mengingatkan waktu shalat di Hidayatullah dapat dilihat sebagai representasi dari dakwah kecil yang berjalan secara kontinyu. Ia mengajak setiap orang untuk selalu siaga dan siap dalam memenuhi kewajiban ibadah mereka.
Di sini, peran komunitas sangat terlihat, di mana semua orang, baik santri, warga, staf, pengajar, maupun mahasiswa, memiliki tanggung jawab moral yang sama untuk menjaga kewajiban ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa shalat lima waktu juga memiliki elemen kedisiplinan yang kuat. Mengingat waktu shalat yang sudah ditentukan dengan spesifik, seseorang dituntut untuk mengatur dan menyesuaikan jadwal keseharian mereka dengan waktu-waktu shalat tersebut. Ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah shalat pada waktunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa salah satu bentuk ketaatan yang paling Allah SWT cintai adalah ketika seorang hamba mampu melaksanakan shalat tepat pada waktunya.
Dalam kerangka Hidayatullah, tradisi mengumumkan waktu shalat dengan peringatan dini “Sholah, sholah, sholah” lewat pelantang suara masjid membantu setiap orang di lingkungan tersebut untuk senantiasa memperhatikan waktu dan bersiap lebih awal. Hal ini menjadi bagian dari proses pendidikan karakter, terutama dalam hal disiplin dan tanggung jawab terhadap waktu.
Menjaga Warisan, Menjaga Identitas
Menjaga tradisi imbauan shalat di Hidayatullah bukan hanya soal mempertahankan kebiasaan lama, melainkan juga tentang menjaga identitas spiritual dan keislaman yang kuat.
Meskipun imbauan seperti ini mungkin tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW, ia tetap memiliki relevansi yang tinggi dalam konteks modern. Hal ini karena budaya ini membantu mengingatkan akan pentingnya ibadah secara kolektif di tengah dunia yang semakin sibuk dan penuh dengan distraksi.
Dalam konteks Indonesia, di mana mayoritas umat Islam bukan penutur asli bahasa Arab, penggunaan bahasa yang lebih familiar dan mudah dipahami jelas lebih efektif dalam menyampaikan pesan.
Islam selalu menekankan esensi di atas bentuk, dan selama inti dari pesan tersebut adalah untuk mengingatkan umat Islam tentang pentingnya shalat, tradisi “sholah, sholah, sholah” ini seharusnya dipertahankan.
Banyak orang mungkin berpendapat bahwa imbauan tersebut tidak relevan lagi, karena ada teknologi canggih yang bisa mengingatkan kita akan waktu shalat, seperti aplikasi pada ponsel atau alarm otomatis.
Namun, esensi dari tradisi ini “sholah, sholah, sholah” jauh lebih dalam daripada sekadar fungsi alarm. Ia menyatukan komunitas dalam satu suara, satu tujuan: menegakkan ibadah tepat waktu dan secara berjamaah.
Selain itu, imbauan ini memiliki makna simbolik yang kuat. Ia adalah pengingat bahwa shalat bukan hanya kewajiban individual, tetapi juga kewajiban komunitas. Setiap kali pengumuman “sholah, sholah, sholah” terdengar, ia menghidupkan kembali semangat kebersamaan dan kepedulian antar sesama Muslim.
Tradisi ini, dengan demikian, tidak boleh dihilangkan hanya karena alasan teknis atau bahasa, melainkan harus dilihat sebagai warisan berharga yang memperkuat ikatan spiritual dan kebersamaan dalam sebuah komunitas.
Tradisi imbauan waktu shalat di Hidayatullah adalah salah satu contoh bagaimana sebuah komunitas bisa menjaga dan memupuk nilai-nilai Islam secara terus-menerus.
Dengan mengumandangkan peringatan waktu shalat, baik dari segi spiritual maupun sosial, tradisi ini memperlihatkan betapa pentingnya saling mengingatkan dalam kebaikan, menjaga disiplin waktu, dan mendirikan shalat berjamaah di awal waktu.
Sebagaimana pengingat di bandara yang mempersiapkan penumpang untuk keberangkatan mereka, imbauan shalat melalui corong pelantang suara masjid di Hidayatullah juga mempersiapkan setiap Muslim untuk keberangkatan spiritual mereka dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan ibadah.
Oleh karena itu, menjaga tradisi“sholah, sholah, sholah” ini adalah menjaga kekayaan yang tidak ternilai, kekayaan yang tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga memperkuat identitas dan kebersamaan umat.
Jangan sampai hanya karena alasan-alasan yang bersifat teknis, tradisi ini hilang dan kita kehilangan salah satu sarana penting dalam menjaga hubungan kita dengan Sang Pencipta.*/Yacong B. Halike