AdvertisementAdvertisement

Warisan Keteladanan Pendiri Hidayatullah dan Transformasi Nilai Sistematika Wahyu

Content Partner

BULUNGAN (Hidayatullah.or.id) — Tabligh Akbar yang berlangsung di Pesantren Hidayatullah, Tanjung Selor, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), Ahad, 20 Jumadil Akhir 1446 (23/12/2024) menjadi momentum istimewa untuk menegaskan kembali nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh Ustadz Abdullah Said (UAS), pendiri Hidayatullah.

Acara ini menghadirkan Anggota Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah Ust. Dr. H. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, MSi, sebagai narasumber utama, yang membahas bagaimana warisan tersebut tetap relevan dan menjadi panduan dalam membangun generasi pejuang yang siap berkhidmat untuk agama dan bangsa.

Aziz menguraikan bahwa perjalanan Hidayatullah adalah perjalanan panjang yang berakar pada nilai-nilai transformatif yang diwariskan oleh pendirinya.

Dengan berpegang teguh pada Sistematika Wahyu, model kepemimpinan imamah jama’ah, dan lembaga perjuangan sebagai wadah dakwah, Hidayatullah mampu melahirkan kader-kader yang siap menghadapi tantangan zaman.

Melalui transformasi dan transmisi nilai-nilai ini, semangat perjuangan UAS tetap hidup, tidak hanya dalam narasi sejarah, tetapi dalam setiap langkah perjuangan para kadernya.

Dalam tausiyahnya, Aziz menggarisbawahi bahwa warisan perjuangan UAS lebih dari sekadar konsep tertulis. “Beliau meninggalkan kader-kader yang telah digembleng langsung selama bertahun-tahun,” ujar Aziz. Warisan tersebut bukan berupa dokumen yang kaku, melainkan hidup dan bernapas dalam pribadi setiap kader yang siap mengabdi di berbagai penjuru Indonesia.

Pada kesempatan tersebut, Aziz memaparkan tiga pilar utama yang menjadi inti dari perjuangan UAS. Pertama, sistematika wahyu sebagai manhaj hidup. Menurut Aziz, UAS mendirikan Hidayatullah dengan landasan kokoh, yakni Sistematika Wahyu.

“Kalau bukan karena Sistematika Wahyu, maka Hidayatullah ini tidak perlu ada, hanya akan memperpanjang barisan organisasi Islam,” tegas Aziz. Landasan ini menegaskan bahwa keberadaan Hidayatullah bukan sekadar tambahan dalam deretan organisasi Islam, melainkan memiliki visi dan misi yang unik.

Kedua, kepemimpinan dalam Hidayatullah yang berpusat pada model imamah jama’ah, yakni kepemimpinan yang terstruktur dan jelas. Dalam hal ini, Rasulullah SAW menjadi teladan utama.

Aziz mengutip Surat Ali Imran ayat 159, yang menekankan pentingnya kelembutan hati seorang pemimpin. Namun, kelembutan ini harus diimbangi dengan ketegasan, sebagaimana dicontohkan oleh UAS dalam mendisiplinkan kader tanpa kehilangan rasa kasih.

Pilar ketiga, Hidayatullah sebagai lembaga perjuangan sebagai wadah dakwah yang bertujuan membangun masyarakat yang cerdas, adil, dan makmur.

Menurut Aziz, UAS tidak hanya mendirikan pesantren atau sekolah, melainkan menciptakan individu yang siap berjuang di lapangan. Prinsip ini melandasi penyebaran kader-kader Hidayatullah ke berbagai wilayah Indonesia.

Ustadz Aziz menekankan bahwa kelembutan hati adalah anugerah besar dalam kepemimpinan, namun hal ini tidak menghilangkan kebutuhan akan ketegasan.

Sebagai contoh, ia menceritakan bagaimana UAS menugaskan Ustadz Abdurrahman Muhammad ke Papua sebagai bentuk disiplin karena terlambat kembali dari kampung halaman.

“Ini bukan soal menghukum, tapi tentang menegakkan disiplin dan tanggung jawab,” jelasnya. Keteladanan semacam ini, terang Aziz, menjadi panduan bagi para pemimpin untuk menyeimbangkan empati dan otoritas.

Kunci Keberlanjutan

Salah satu poin penting yang disampaikan Aziz adalah pentingnya transformasi (alih konsepsi) dan transmisi (pewarisan) nilai-nilai perjuangan Hidayatullah.

“Kekuatan Hidayatullah bukan pada gedung-gedung megah, tapi pada jati diri yang tertransformasikan dan tertransmisikan kepada kader-kadernya,” tegasnya. Gedung dan fasilitas fisik, tegas dia, hanyalah alat. Sementara esensi perjuangan terletak pada karakter dan nilai yang tertanam dalam diri setiap kader.

Halaqah, sebagai bentuk kelompok pembinaan, menjadi elemen vital dalam proses ini. Aziz mengingatkan bahwa halaqah harus menjadi kewajiban yang tidak boleh diabaikan.

“Jangan mudah meminta izin untuk tidak berhalaqah,” pesannya. Menurutnya, halaqah bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan wahana pembentukan karakter dan pemantapan jati diri.

Masih dalam tausiyahnya, Aziz juga menyoroti kegagalan sistem pendidikan karakter di Indonesia. Menurutnya, karakter tidak dapat dibentuk melalui pelajaran tekstual semata, melainkan melalui keteladanan dan pembiasaan.

Di sinilah, terang dia, peran penting seorang murobbi (pembina) dalam mendampingi kader. “Karakter itu lahir dari proses pembentukan yang konsisten, bukan dari teori belaka,” ujarnya.

Ustadz Aziz mengakhiri tausiyahnya dengan mengingatkan bahwa warisan sejati bukanlah institusi atau fasilitas, melainkan semangat dan nilai-nilai yang ditanamkan pada generasi penerus. “Kader-kader Hidayatullah adalah bukti nyata bahwa perjuangan ini tidak akan pernah berhenti,” pungkasnya.*/Herim

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Final HiFest di Kampus Ar Rohmah IIBS Uji Kemampuan Santri di Bidang Diniyah, Bahasa dan Sains

MALANG (Hidayatullah.or.id) -- Kampus Ar Rohmah International Islamic Boarding School (IIBS) Malang, Jawa Timur, menjadi saksi kemeriahan final HiFest...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img