AdvertisementAdvertisement

Fakfak, Kota Pala yang Menyimpan Warisan Islam dan Harmoni Keberagaman

Content Partner

DI ANTARA Laut Seram, Laut Arafura, Teluk Berau, dan Kabupaten Kaimana, Fakfak berdiri kokoh sebagai kota tertinggi dan terdingin di Papua Barat.

Kabupaten yang memiliki akses mudah dari Kota Ambon ini bukan hanya sekadar destinasi wisata yang menakjubkan, tetapi juga pusat sejarah yang sarat makna, terutama dalam perjalanannya sebagai titik awal penyebaran Islam di Tanah Papua.

Sejarah mencatat bahwa Islam pertama kali menginjakkan kaki di Fakfak pada 8 Agustus 1360 Masehi. Seorang ulama dari Kerajaan Samudra Pasai bernama Abdul Gaffar menjadi tokoh utama dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah ini.

Sejak saat itu, Fakfak tumbuh menjadi simbol percampuran budaya yang harmonis antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal yang mengedepankan kebersamaan.

Pada Sabtu, 11 Januari 2025, sejarah itu semakin mendapat legitimasi akademik melalui seminar nasional yang diselenggarakan di Gedung Wintder Tuare. Hasil seminar tersebut menetapkan Fakfak secara resmi sebagai titik awal penyebaran Islam di Papua.

Lebih dari itu, seminar ini juga menegaskan Fakfak sebagai pusat toleransi dan harmoni yang telah terbentuk selama berabad-abad. Dengan masyarakat yang beragam, Fakfak tetap menjadi tempat yang damai bagi semua, memperkokoh identitasnya sebagai rumah bagi kebersamaan.

Hidayatullah di Fakfak

Tahun 1989 menjadi tonggak penting bagi perkembangan Islam di Fakfak dengan hadirnya Hidayatullah. Dimulai oleh Ustadz Suwardani Sukarno, kehadiran lembaga ini semakin mengakar dengan kedatangan tiga pendakwah muda pada tahun 1990: Ustadz Iskandar, Ustadz Noor Mawardi (Alm.), dan Ustadz Ichra Diyono Sukeni. Mereka memulai perjuangan dakwah di tanah Fakfak dengan merangkul masyarakat setempat.

Salah satu tokoh lokal yang berperan penting adalah Pace Ibrahim, putra daerah yang membantu komunikasi dengan para tetua adat. Kehadiran Bapak Sarkamasa, seorang PNS asli Fakfak, turut memberi dukungan besar dengan menghibahkan tanah seluas satu hektar di Jl. Yos Sudarso, Kampung Sekru, Distrik Pariwari, Kabupaten Fakfak, sebagai lokasi pendirian pesantren. Seiring waktu, lahan ini diperluas menjadi 1,5 hektar guna memenuhi kebutuhan asrama, masjid, dan sekolah.

Awalnya, Hidayatullah Fakfak lebih dikenal karena panti asuhannya, yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Sebagai satu-satunya pesantren berbasis panti asuhan yang bertahan, Hidayatullah sering menjadi mitra strategis dalam berbagai program sosial dan pendidikan.

Kini, lembaga ini mengelola Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan 25 santri dan tenaga pengajar yang sebagian berasal dari luar pesantren. Program unggulannya adalah Takhasus Tahfidz Al-Qur’an, yang membina 15 santri khusus untuk menjadi imam muda dan calon ulama.

Dalam upaya memperluas jangkauan pendidikan Islam, Hidayatullah berencana membuka Sekolah Dasar pada tahun depan. Saat ini, proses perizinan sedang berlangsung, dengan harapan semakin banyak anak-anak Fakfak yang dapat memperoleh pendidikan berbasis Islam secara komprehensif.

Hidayatullah Fakfak tidak hanya berfokus pada pendidikan formal, tetapi juga aktif dalam kegiatan dakwah di masyarakat. Setiap Jumat, minimal empat khatib ditugaskan untuk memberikan khutbah di berbagai lokasi seperti Kampung Berai, Kokas, dan Pulau Panjang.

Selain itu, rumah Qur’an telah didirikan untuk membimbing anak-anak dalam membaca dan menulis Al-Qur’an di Kota Pala ini, mengingat masih banyak anak di Fakfak yang belum memiliki kemampuan tersebut.

Kegiatan dakwah lainnya meliputi pengajian rutin, pembinaan masyarakat, serta partisipasi dalam peringatan Hari Besar Islam (PHBI).

Hidayatullah juga aktif dalam organisasi keislaman seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Fakfak dan Korps Dai/Mubaligh setempat. Saat ini, kepemimpinan DPD Hidayatullah Fakfak berada di bawah Ustadz Jajang Suryaman bersama tiga kader lainnya.

Namun, berdakwah di Fakfak bukanlah tanpa tantangan. Berbeda dengan daerah lain, budaya di Fakfak memiliki dinamika tersendiri yang menuntut metode dakwah yang fleksibel dan tidak kaku.

Mayoritas penduduk adalah para pendatang yang sibuk mencari nafkah dari kekayaan alam, seperti hasil laut dan pala. Banyak nelayan yang bekerja hingga larut malam, sehingga perlu strategi dakwah yang menyesuaikan dengan keseharian mereka.

Meski demikian, masyarakat Fakfak memiliki nilai luhur dalam menghormati para tokoh agama. Fakfak dikenal dengan filosofi “Satu Tungku Tiga Batu,” yang melambangkan harmoni dalam keberagaman agama.

Di sini, Islam, Kristen, dan Katolik hidup berdampingan dalam satu keluarga besar tanpa konflik. Semangat ini menjadikan Fakfak sebagai model toleransi yang patut dicontoh oleh daerah lain di Indonesia.

Hubungan Hidayatullah dengan pemerintah daerah pun terjalin erat. Bahkan, pada periode sebelumnya, Bupati Fakfak menjadi donatur tetap bagi lembaga ini. Keakraban dengan aparat seperti Kapolres dan Dandim menunjukkan bahwa Hidayatullah diterima sebagai mitra dalam membangun Fakfak yang lebih baik.

Dengan semangat keberagaman dan keteguhan dalam dakwah, Fakfak terus menjadi mercusuar Islam di Papua. Sejarah panjangnya sebagai titik awal penyebaran Islam, ditambah dengan peran aktif lembaga-lembaga pendidikan Islam, menegaskan bahwa Fakfak bukan hanya cantik dengan eksotisme alamnya, tetapi juga Kota Harmoni dan Cahaya Islam di timur Nusantara.

*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah. Ditulis sebagai tajuk “Laporan Perjalanan” di sela sela kunjungannya ke Papua beberapa waktu lalu.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Jejak Dakwah Hidayatullah dan Surga Tersembunyi Teluk Bintuni

KABUPATEN Teluk Bintuni, sebuah permata di pesisir barat Pulau Papua, menyimpan keindahan alam yang memukau. Dengan luas wilayah sekitar...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img