KAMIS pagi (12/9/2024) selepas shalat shubuh, saya mendapat amanah sebagai moderator untuk sesi kajian kepemimpinan bersama Ketua Bidang Tarbiyah Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Ust. Abu A’la Abdullah, M.HI, dalam rangkaian Daurah Marhalah Wustho STIE Hidayatullah Depok.
Sebagai moderator, saya menyadari pentingnya menulis dalam berbagai aspek kehidupan. Yang menantang bagi saya adalah bagaimana mencari sambungan fakta hari ini dengan dimensi historis maupun kontemporer.
Menulis lebih dari sekadar mencatat—ia menjadi media untuk merenungkan, menginternalisasi, dan menyebarkan ide.
Begitu pentingnya menulis, sekalipun kini telah hadir nikmat teknologi modern seperti tablet, saya selalu berusaha untuk menulis manual. Ini adalah cara efektif untuk membuat apa yang didengar tertanam lebih kuat dalam jiwa, sebuah proses yang dikenal dalam psikologi kognitif sebagai encoding—proses memperkuat ingatan melalui keterlibatan aktif.
Bukti
Sejarah telah membuktikan bahwa menulis memainkan peran penting dalam peradaban. Manuskrip kuno dari berbagai kebudayaan tidak hanya menjadi penyimpan pengetahuan, tetapi juga sebagai penggerak perubahan.
Contoh paling mencolok adalah tulisan di Yunani kuno yang berkontribusi pada kemunculan filsafat, politik, dan ilmu pengetahuan modern. Di era kontemporer, menulis terus menjadi alat yang ampuh untuk introspeksi pribadi dan penyebaran gagasan publik. Penulis seperti Anne Frank dan Pramoedya Ananta Toer menggunakan tulisan mereka untuk mencatat perasaan terdalam dan pengalaman hidup yang memengaruhi generasi berikutnya.
Secara ilmiah, menulis memiliki manfaat yang terbukti. Studi dalam Journal of Experimental Psychology menunjukkan bahwa menulis tangan, terutama dalam format manual, meningkatkan daya ingat lebih baik daripada mengetik.
Hal ini karena proses motorik yang lebih kompleks dalam menulis tangan, yang merangsang bagian otak yang terlibat dalam pembelajaran dan memori. Ini menjelaskan mengapa ketika saya menulis, baik secara manual maupun digital, saya merasa lebih terhubung dengan apa yang saya dengar. Setiap kata yang saya tulis menjadi bagian dari proses reflektif, memperkuat pesan dalam pikiran saya sebelum saya sampaikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, menulis bukanlah sekadar aktivitas fisik, melainkan sebuah cara untuk merangkai, memperkuat, dan membagikan pengetahuan.
Setiap orang, tak peduli seberapa sibuknya, selalu memiliki kesempatan untuk menulis—termasuk seorang moderator yang mungkin sibuk berdasarkan pengalaman singkat saya.
Menulis adalah proses hidup yang tak bisa diabaikan, karena melaluinya kita belajar, mengenal diri sendiri, dan menghidupkan ide-ide kita untuk orang lain.
Pendongkrak Semangat
Sebelum menjadi moderator pagi, Rabu malam (11/9/2024) saya bersama Ust. Shaleh Usman berkesempatan silaturrahim, menjenguk seniorku, Ust. Asih Subagyo.
Ust. Asih memang sakit, tapi karena kecintaannya dalam membaca dan menulis sangat tinggi, tak satu diksipun saya dapati keluar dari lisan beliau yang menunjukkan beliau merasa lemah dengan kondisi sakitnya.
Sebaliknya, beliau terus menyampaikan diksi-diksi penting. Mulai soal kesehatan, seperti “Syifa (kesembuhan) dari Allah dan dawa’ (obat) adalah wasilah. Ada kesembuhan tanpa melalui dawa’. Bagi saya ungkapan itu luar biasa.
Dalam kata yang lain, fisik boleh sakit, tapi kalau mental dan jiwa sehat, membaca dan menulis akan menjadi pendongkrak semangat tetap menyala. Jadi, mau apa lagi, nunggu kapan lagi, mulailah menulis sekarang. Bismillah!*
*) Mas Imam Nawawi, penulis adalah Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) | Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah Periode 2020-2023