![](https://hidayatullah.or.id/wp-content/uploads/2024/11/majelis-ilmu.jpeg)
DALAM realitas sosial keagamaan di Indonesia, identitas keislaman suatu kelompok sering kali ditandai oleh praktik ibadah yang khas dan konsisten. Hidayatullah, sebagai salah satu organisasi Islam yang aktif dalam pembinaan kader dan dakwah, memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan santrinya dari komunitas lain.
Beberapa penilaian masyarakat terkait kader Hidayatullah mencerminkan adanya pembentukan karakter spiritual yang kuat. Santri Hidayatullah dikenal dengan kebiasaan ibadah yang intens, seperti shalat sunnah yang lama, dahi yang hitam karena sujud, serta konsistensi dalam berjamaah dan shalat lail.
Karakteristik ini bukan sekadar fenomena sosial, tetapi merupakan hasil dari sistem tarbiyah yang ketat dan sistematis. Sejak era perintisan,1980-an hingga 1990-an, kaderisasi Hidayatullah difokuskan pada pembentukan spiritualitas yang tinggi melalui berbagai metode.
Adanya “keanehan” atau perbedaan mereka dalam praktik ibadah bukanlah suatu kekurangan, tetapi justru menjadi daya tarik tersendiri karena mereka mampu menampilkan ketaatan syariat yang mengundang kekaguman.
Namun, mempertahankan serta menerapkan sistem tarbiyah ruhiyah dalam menghadapi tantangan zaman bukanlah hal yang mudah. Perubahan sosial, budaya, dan teknologi telah memberikan dinamika tersendiri dalam pola pembinaan kader.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih adaptif dan strategis diperlukan untuk memastikan generasi mendatang tetap memiliki militansi dalam mengemban amanah dakwah.
Lima Pilar Tarbiyah Ruhiyah
Dalam tulisan sebelumnya, penulis paparkan minimal lima hal yang menempa kader Hidayatullah dalam menumbuhkan kekuatan spritual agar lahir generasi yang militan dalam perjuangan Islam dapat terbentuk. Yaitu dengan injeksi tarbiyah ruhiyah, keteladanan, pembentukan kultur ibadah, fungsionalisasi kepemimpinan dalam ibadah, dan pemberian tantangan berat.
Kini, tantangan kita adalah bagaimana menerapkan metode ini lebih baik dalam menyiapkan generasi mendatang. Yaitu generasi yang berpegang teguh pada nilai-nilai tauhid dan memiliki militansi dalam mengemban amanah dakwah.
Penamaan generasi Z (Gen-Z) atau nama-nama yang lain dengan beberapa karakter yang menyertainya, seolah menjadi pembenaran kalau mereka sulit untuk dibina apalagi masalah agama. Padahal karakter dasar manusia dari dulu hingga sekarang tetap sama sebagai ciptaan Allah yang visi diciptakannya untuk menyembah kepada Allah.
Penulis dalam tulisan ini menggabungkan lima tahapan tadi untuk memompa kekuatan spritual dalam tarbiyah ruhiyah.
Sebenarnya, tantangan dakwah dan tarbiyah sejak dulu hingga kapanpun selalu menghadang dengan berbagai bentuknya. Bukan berarti, dulu belum ada teknologi secanggih sekarang sehingga mudah mempengaruhi dan mengajak orang untuk beribadah.
Sejarah membuktikan bahwa, dakwah dulu juga berat dan terjadi banyak penolakan juga saat itu, bahkan dimusuhi orang mereka yang menolak dakwah.
Demikian juga sekarang, bisa jadi dengan kecanggihan teknologi menjadi mudah atau berat. Mudah saat teknologi dijadikan sarana untuk mempengaruhi orang tertarik, terinspirasi dan termotivasi beribadah. Lewat video pendek, flyer dan quote kreatif, penyampaian pesan yang menyentuh dengan artificial intelligence (AI).
Teknologi bisa menjadi tantangan berat, jika larut dan kecanduan sehingga menjadi penghalang orang mendapatkan nasehat kebaikan. Ketika teknologi dijauhkan dari nilai-nilai agama maka ibadah semakin berat dilaksanakan.
Teknologi adalah alat dan alat selalu bermata dua. Bisa untuk kebaikan juga bisa kejelekan, tergantung siapa yang menguasai dan tujuan penguasaan alat tersebut. Seperti pisau yang berbahaya jika dipegang anak kecil, namun sangat penting bagi penjual daging.
Pendidikan formal di sekolah harus menjadikan ibadah sebagai kurikulum, seperti ada sekolah yang keunggulannya ‘Sekolah Berbasis Sholat.” Artinya pembelajaran shalat menjadi prioritas dari A hingga Z, anak-anak bukan hanya paham dan bisa shalat tapi shalat tumbuh menjadi kebiasaan atau habit.
Visi sekolah seharusnya selaras dengan visi diciptakannya manusia untuk untuk menyembah atau beribadah kepada Allah. Sekolah harus mengantar peserta didik dengan berbagai materi pembelajarannya untuk mengenal Allah dan mentaati-Nya. Ilmu bukan menjauhkan dengan agama tapi mendekatkan kepada pemberi ilmu.
Injeksi tarbiyah ruhiyah di keluarga juga harus menjadi perhatian orang tua. Tidak bisa menyerahkan kepada ‘lembaga’ atau sekolah dengan guru-gurunya. Anak adalah darah daging dari orang tuanya dan pertanggung jawabannya di pundak orang tuanya.
Tarbiyah ruhiyah ini memerlukan role model yang riil yaitu orang tua yang 80 % menyertai anak-anaknya. Kehidupan di rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tumbuh berkembangnya ruhiyah anggota keluarga.
Tarbiyah ruhiyah juga memerlukan pilot proyek sebuah komunitas atau jamaah. Hidayatullah membuat kampus-kampus adalah sebagai peraga untuk melaksanakan ibadah dengan mudah dan terpimpin.
Inilah praktik dakwah bil haal yang langsung bisa dilihat, diikuti oleh semua anak-anak, jamaah dan siapa saja yang hadir di komunitas kampus Hidayatullah.
Pembentukan kultur ibadah tidak bisa dilakukan sendirian tapi harus melalui komunitas atau jamaah. Hal itu juga harus dilakukan dengan kesepakatan dan sebuah kepemimpinan yang ditaati. Pemimpin berkewajiban dan berhak untuk menegur bahkan menghukum kepada anggota yang tidak mentaati dalam pelaksanaan ibadah yang lalai.
Peran murabbi yang diharapkan mengambil alih untuk kontrol terhadap pelaksanaan ibadah mutarabbinya. Sebab jumlah anggota semakin banyak dan tersebar di mana-mana yang tidak dimungkin oleh satu orang pemimpin. Murabbi adalah wakil dari pemimpin dalam aspek spritual, mental dan moral.
Hadirnya murabbi dalam halaqah adalah bentuk inovasi kreatifitas untuk melakukan kontrol spritual anggota dan kader Hidayatullah.
Fungsi halaqah adalah untuk meng-update dan upgrade spritual anggotanya dengan senantiasa memantau pelaksanaan nawafilnya. Tanggung jawab seluruh murabbi kepada mutorabbi-nya adalah transformasi jatidiri melalui kegiatan halaqah.
Halaqah juga membangun kekuatan spiritual melalui kontrol kegiatan ibadah nawafil dan mewariskan kultur berjamaah melalui kehidupan sosial bermasyarakat.
Halaqah Adalah Kebutuhan
Halaqah adalah alamat kepemimpinan terkecil. Jika belum punya halaqah berarti belum punya alamat untuk berjamaah, dipimpin, dan dikontrol perkembangan spritualnya. Artinya, halaqah adalah kebutuhan bagi orang-orang yang rindu untuk upgrade dan mengaktualisasikan spritualitasnya bersama murabbi.
Namun terkadang murabbi masih ada yang bermasalah dengan dirinya karena tidak percaya diri atau belum menjalankan tupoksinya dengan konsisten. Sebagian segan menegur mutarabbinya karena khawatir mengganggu keikhlasan ibadahnya. Atau terlalu percaya dengan anggotanya sehingga tidak pernah memantau atau sekedar bertanya ibadah yang telah dilakukan.
PR lain yang harus diselesaikan adalah untuk menjadikan kegiatan halaqah itu keren, menarik, dan penting agar tidak anggapan bahwa materi dan metode halaqah hanya untuk konsumsi orang-orang tua.
Halaqah harus dikemas dengan inovatif agar tidak dianggap monoton atau hanya konsumsi kalangan tertentu. Jika halaqah mampu menghadirkan diskusi yang menarik, inspiratif, dan relevan, maka akan muncul rasa menyesal bagi mereka yang tidak hadir.
Pemberian tantangan berat sebagai salah satu metode penumbuhan spritual, sebagaimana sering disampaikan bahwa penugasan adalah perkaderan terbaik. Sebab saat tugas dengan tantangan yang berat, maka segala potensi seorang kader akan dikerahkan. Termasuk potensi spritual untuk menyedot kekuatan ruhiyah, mendapatkan pertolongan Allah.
Titik lemah sebagian generasi muda yang kuat, semangat, cerdas dan energik adalah abai, lalai, atau kurang memperhatikan pelaksanaan ibadah. Mungkin bukan karena kurang paham atau tidak cinta ibadah tapi merasa belum membutuhkan pertolongan dan kedekatan kepada Allah.
Mereka masih di zona aman dengan kesehatan, kecerdasan, keilmuan dan minim tantangan yang dihadapinya. Perlu diperhadapkan dengan tugas yang menantang, sehingga potensinya bisa tersalurkan dengan baik.
Terkadang ada yang nyaman di zona yang tidak aman. Padahal berada dalam kondisi tidak nyaman tapi merasa aman. Mereka ‘malas’ untuk berubah dan menganggap bahwa berjuang memang harus menderita dan kekurangan. Mereka menikmati tidak berdayaannya, kurang inspirasi dan motivasi untuk bisa berkarya lebih baik karena merasa tidak mampu.
Ketika berada di zona aman maka beribadah bukanlah sesuatu yang menarik. Karena tidak ada yang harus dimintakan pertolongan kepada Allah, tidak ada yang harus dimunajatkan di waktu-waktu mustajab. Tidak ada keadaan yang memaksanya untuk menengadahkan tangan dan terisak menangis dalam sujud shalatnya.[]
*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah