DALAM beberapa dekade terakhir, dunia organisasi terus mengalami transformasi yang besar, khususnya dalam cara kepemimpinan, struktur, dan pola interaksi antar anggota. Salah satu perubahan signifikan adalah pergeseran dari struktur organisasi hierarkis ke jaringan yang lebih fleksibel dan dinamis.
Realitas dunia modern, mendorong organisasi bekerja lebih efektif dan efisien dengan menjadikan organisasi untuk mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, mengintegrasikan nilai-nilai inti dengan fleksibilitas, dan beroperasi dengan keterhubungan. Paradigma organisasi tradisional yang bertumpu pada struktur hierarkis kaku semakin bergeser menuju model jaringan yang lebih dinamis dan inklusif.
Dalam konteks membangun peradaban Islam yang kaffah, pergantian paradigma ini bukan sekadar respons terhadap perubahan zaman, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai Islam yang mengedepankan keterbukaan, kerjasama, serta sinergi dan kolaborasi antarumat dengan memperhatikan realitas kontemporer dan visi masa depan Organisasi.
Perspektif Islam tentang Struktur Organisasi
Islam menekankan pentingnya organisasi yang berlandaskan pada prinsip keadilan, musyawarah (syura), keseimbamngan (tawazun) dan kerjasama (ta’awun) yang saling melengkapi. Struktur organisasi yang berbasis jaringan, dibandingkan dengan hierarki, lebih dekat dengan prinsip-prinsip ini, karena mendorong peran aktif dari setiap anggota organisasi tanpa memandang jenjang atau posisi. Konsep jaringan dalam Islam sebenarnya tercermin dalam model kepemimpinan Rasulullah SAW yang mengedepankan musyawarah dalam setiap keputusan, serta menekankan pentingnya kebersamaan dan keterlibatan seluruh lapisan umat.
Peran musyawarah, sebagaimana disarankan dalam Surah Ali Imran ayat 159 dan Surah Asy-Syura ayat 38, merupakan dasar dalam membangun keputusan yang adil dan inklusif. Pada masa Rasulullah SAW, struktur organisasi yang beliau bangun dalam masyarakat Madinah dapat dianggap sebagai embrio dari organisasi berbasis jaringan, di mana nilai kesetaraan, kepercayaan, dan keterbukaan menjadi fondasi utama. Masyarakat Madinah saat itu diorganisir berdasarkan prinsip kebersamaan dan gotong royong, tanpa kebergantungan pada otoritas tunggal, meskipun pemegang kendali tertinggi dalam pengambilan keputusan tetap berada pada Rasulullah SAW.
Pergeseran dari Hierarki ke Jaringan dalam Perspektif Islam
Model organisasi hierarkis mengutamakan struktur yang bertingkat dengan alur wewenang dari atas ke bawah. Dalam hierarki, peran dan posisi biasanya statis dan formal, dengan keputusan dan kebijakan terpusat pada pimpinan puncak. Sebaliknya, model jaringan mengusung pola kolaborasi, desentralisasi, dan fleksibilitas, di mana setiap individu atau unit memiliki otonomi lebih besar dan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam perspektif Islam, model jaringan ini sangat relevan dengan prinsip musyawarah (syura), gotong-royong (ta’awun), dan kesatuan (wahdah) yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan al-Hadits.
Dalam sejarah Islam, kita bisa melihat bahwa organisasi berbasis hierarki pernah menjadi kekuatan dalam menyatukan umat dan mengefektifkan jalannya kepemimpinan. Sistem khilafah, misalnya, menghadirkan model struktur yang terorganisir dan berjenjang, dimana khalifah memegang otoritas tertinggi dan bertindak sebagai pemimpin dalam hal keagamaan dan duniawi, diikuti oleh para pemimpin regional dan komunitas. Dalam sistem ini, ketaatan dan loyalitas menjadi nilai utama yang menjaga kesatuan umat.
Namun, dalam era globalisasi dan perubahan teknologi saat ini, struktur hierarkis terkadang dianggap kaku dan kurang adaptif, terutama ketika organisasi Islam menghadapi tantangan yang lebih kompleks dan menuntut respons yang cepat. Struktur ini juga berisiko menciptakan jarak antara pemimpin dan anggota organisasi, yang seringkali mengurangi partisipasi aktif dan rasa memiliki di kalangan anggota.
Di lain pihak, kebutuhan untuk memperluas partisipasi umat dalam organisasi dan memperkuat kolaborasi adalah wujud dari nilai Islam yang inklusif dan aspiratif. Paradigma jaringan memungkinkan terjalinnya ikatan kolektif, memperkuat solidaritas umat, dan menghadirkan suara yang lebih beragam dalam menyelesaikan berbagai masalah. Selain itu, dalam mengemban visi membangun peradaban Islam yang kaffah, model jaringan memungkinkan tercapainya sinergi antarumat lintas daerah dan disiplin, yang pada akhirnya dapat mendukung penyatuan langkah dalam mewujudkan tujuan bersama.
Peluang Pergeseran Paradigma dari Hierarki ke Jaringan
Pergeseran paradigma dari hierarki ke jaringan memberikan sejumlah peluang bagi organisasi, diantaranya adalah:
Pertama, Menghidupkan Kolaborasi dan Partisipasi Aktif: Struktur jaringan memungkinkan setiap individu dalam organisasi untuk berperan aktif sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing. Dalam konteks organisasi Islam, ini membuka peluang bagi umat untuk berkontribusi dalam dakwah, pendidikan, ekonomi, atau kegiatan sosial secara lebih leluasa tanpa harus terhambat oleh sistem hierarkis yang kaku.
Kedua, Peningkatan Keterhubungan dan Penyebaran Ide: Jaringan memungkinkan pertukaran ide dan pengalaman yang lebih dinamis. Hal ini penting dalam upaya memperkaya wawasan dan inovasi di dalam organisasi. Misalnya, sebuah organisasi Islam yang memiliki struktur jaringan dapat lebih mudah terhubung dengan komunitas-komunitas Muslim lainnya di berbagai negara dan berdialog tentang cara-cara efektif dalam menjalankan program-program sosial maupun dakwah.
Ketiga, Mengakomodasi Keberagaman dan Inklusivitas: Struktur jaringan yang bersifat fleksibel dan non-hierarkis juga membantu menciptakan ruang yang lebih inklusif untuk berbagai pandangan, keahlian, dan latar belakang. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menghargai perbedaan dalam bingkai persatuan dan kerjasama yang produktif.
Keempat, Inklusivitas dalam Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan: Model jaringan memungkinkan kepemimpinan yang lebih terbuka dan partisipatif, di mana setiap individu dalam organisasi memiliki ruang untuk menyampaikan aspirasi dan pandangan. Prinsip syura dalam Islam mengajarkan pentingnya konsultasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, sehingga model jaringan dapat mendorong partisipasi yang lebih luas dari seluruh anggota organisasi.
Kelima, Fleksibilitas dan Responsif terhadap Perubahan: Berbeda dari struktur hierarkis yang cenderung kaku, organisasi berbasis jaringan lebih responsif dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Ini sangat penting dalam menghadapi dinamika sosial-politik dan perkembangan teknologi yang pesat. Keterhubungan jaringan yang fleksibel memudahkan organisasi Islam untuk merespons secara cepat, mengantisipasi perubahan, dan menyesuaikan strategi untuk tetap relevan dengan kebutuhan zaman.
Keenam Pemberdayaan Individu dan Komunitas : Dalam jaringan, setiap individu memiliki otonomi lebih besar untuk mengembangkan potensinya. Dalam Islam, konsep pemberdayaan diri (tazkiyah an-nafs) dan pengembangan kompetensi adalah hal penting. Struktur jaringan memungkinkan setiap anggota berkontribusi sesuai kemampuan, bakat, dan wawasan mereka, memberikan mereka tanggung jawab langsung dalam mendukung misi organisasi.
Tantangan Pergeseran Paradigma dari Hierarki ke Jaringan
Meskipun memberikan sejumlah peluang yang cukup menjanjikan, akan tetapi pergeseran paradigma dari hierarki ke jaringan juga menyajikan beberapa tantangan yang tidak ringan, diantaranya adalah :
Pertama, Resistensi terhadap Perubahan: Pergeseran dari struktur hierarki ke jaringan sering kali menghadapi resistensi, terutama dari mereka yang telah terbiasa dengan sistem birokrasi tradisional. Dalam organisasi Islam, di mana nilai hormat pada pemimpin sangat tinggi, transisi ini mungkin memerlukan waktu dan pendekatan yang bijak agar nilai tradisional tetap terjaga namun sistem tetap modern dan relevan.
Kedua, Koordinasi yang Lebih Kompleks: Tanpa adanya jenjang hierarki yang jelas, struktur jaringan sering kali menghadapi tantangan dalam hal koordinasi. Namun, tantangan ini sebenarnya dapat diatasi dengan sistem komunikasi yang terstruktur dan mekanisme musyawarah yang berjalan secara efektif.
Ketiga, Kebutuhan Akan Keterampilan Baru:Dalam struktur jaringan, anggota harus memiliki kemampuan komunikasi, kolaborasi, dan manajemen diri yang kuat. Tidak semua anggota organisasi Islam memiliki keterampilan ini, terutama dalam mengelola otonomi dan tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu, investasi dalam pengembangan keterampilan (ta’lim) perlu menjadi prioritas agar setiap individu mampu berfungsi dengan baik dalam struktur jaringan.
Keempat, Ketidakpastian dalam Pengambilan Keputusan: Struktur jaringan mungkin membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih panjang karena adanya keterlibatan yang lebih luas. Dalam Islam, prinsip musyawarah sangat penting, tetapi hal ini harus dilaksanakan secara efisien. Oleh karena itu, organisasi Islam perlu merumuskan prosedur yang memungkinkan pengambilan keputusan cepat tanpa mengorbankan inklusivitas.
Kelima, Tantangan Pengendalian dan Akuntabilitas: Tanpa hierarki yang kaku, pengendalian dan akuntabilitas menjadi lebih menantang. Peran pemimpin dalam organisasi jaringan adalah fasilitator daripada pengontrol. Pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memberikan arahan tanpa mendominasi, sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan penguasa.
Keenam, Kebutuhan Teknologi dan Komunikasi yang Mumpuni: Struktur jaringan membutuhkan sistem komunikasi yang cepat dan tepat. Ini memerlukan investasi di bidang teknologi dan sumber daya manusia yang terampil dalam mengoperasikan sistem-sistem digital. Tanpa dukungan teknologi, organisasi jaringan tidak akan dapat berfungsi secara optimal.
Ketujuh, Kesulitan dalam Standarisasi dan Pengendalian Mutu: Dalam jaringan, otonomi yang besar bagi setiap unit seringkali menyebabkan variasi standar dan kualitas kerja yang beragam. Ini menjadi tantangan dalam menjaga integritas dan kualitas program organisasi Islam. Untuk mengatasi ini, prinsip ihsan (kualitas terbaik) perlu diterapkan di setiap unit dengan tetap menjaga standarisasi sesuai syariah dan tujuan organisasi
Manfaat dari Pergeseran ke Struktur Organisasi Jaringan
Dari tantangan dan peluang sebagaimana diuraikah di atas, maka pergesern dari hirarkis ke jaringan ini, memberikan manfaat bagi organisasi, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, Mewujudkan Prinsip Keadilan dan Persamaan: Salah satu manfaat utama dari struktur jaringan adalah menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara. Dengan mengadopsi struktur ini, organisasi Islam bisa mendorong budaya keadilan di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan berperan dalam organisasi.
Kedua, Peningkatan Daya Tanggap terhadap Perubahan: Dalam dunia yang terus berubah, organisasi berbasis jaringan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan. Struktur ini memberikan kelincahan bagi organisasi untuk merespons situasi-situasi tak terduga dan peluang baru dengan lebih cepat.
Ketiga, Memaksimalkan Potensi Setiap Anggota: Struktur jaringan mendorong anggota untuk berkontribusi sesuai dengan minat dan keahlian mereka. Hal ini selaras dengan ajaran Islam yang menghargai pengembangan potensi individu sebagai bentuk ibadah. Melalui struktur ini, organisasi Islam dapat memaksimalkan bakat dan keterampilan anggotanya secara lebih efektif.
Keempat, Penguatan Solidaritas dan Persatuan Umat: Jejaring kolaboratif dalam organisasi Islam dapat memperkuat solidaritas dan persatuan umat. Ketika organisasi Islam di berbagai wilayah terhubung secara sinergis, umat Islam dapat saling mendukung dan berbagi sumber daya untuk menghadapi tantangan bersama. Kesatuan umat dalam jejaring kolaborasi ini merupakan fondasi kuat dalam mewujudkan peradaban Islam yang solid dan kokoh.
Kelima, Kemampuan Inovasi dan Kecepatan Respon terhadap Isu Sosial: Dengan adanya jaringan yang dinamis, organisasi Islam dapat lebih cepat merespons isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat. Kemampuan inovasi menjadi lebih kuat karena ide-ide kreatif dapat disalurkan melalui jaringan secara cepat dan efisien. Misalnya, dalam menghadapi isu lingkungan atau pendidikan, organisasi jaringan dapat merancang dan melaksanakan program secara kolaboratif sehingga dampak positifnya lebih luas.
Keenam, Peningkatan Ketahanan dan Daya Saing: Struktur jaringan menghasilkan organisasi yang lebih kuat dan tahan terhadap perubahan eksternal. Dalam Islam, ada prinsip berorganisasi seperti bangunan yang kokoh dan saling menguatkan (Surah Ash-Shaff: 4). Struktur jaringan dapat memperkuat ketahanan internal organisasi dan menjadikan organisasi Islam sebagai pemain utama di tingkat global dalam membangun peradaban yang kaffah.
Ketujuh, Menciptakan Pemimpin Masa Depan yang Visioner dan Kolaboratif: Struktur jaringan menumbuhkan iklim di mana setiap orang dapat menjadi pemimpin sesuai konteksnya. Ini sesuai dengan semangat Islam yang mengajarkan bahwa setiap Muslim adalah pemimpin atas dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Dengan mendukung pengembangan kepemimpinan di setiap level, organisasi jaringan akan menciptakan generasi pemimpin yang visioner, kolaboratif, dan berwawasan luas.
Realitas Masa Kini dan Harapan Masa Depan
Di era digital yang penuh dengan ketidakpastian dan persaingan, organisasi Islam menghadapi kebutuhan untuk lebih responsif, inklusif, dan berdaya tahan. Paradigma organisasi berbasis jaringan menjadi relevan karena ia memungkinkan interaksi dan kerjasama yang luas dengan berbagai pihak baik di tingkat lokal maupun global. Dengan adanya struktur yang terbuka, organisasi Islam dapat lebih cepat menangkap sinyal perubahan di masyarakat dan menyesuaikan strategi dakwah serta program-program sosialnya.
Selain itu, organisasi Islam yang mengadopsi sistem jaringan dapat berfungsi sebagai lokomotif perubahan sosial, terutama dalam isu-isu kemanusiaan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan hidup. Organisasi yang terhubung dan fleksibel dapat bekerja sama dengan berbagai komunitas untuk menciptakan perubahan yang lebih berdampak luas. Misalnya, dalam menghadapi tantangan ekonomi global, organisasi Islam yang berbasis jaringan dapat bekerja sama dengan lembaga keuangan Islam untuk memberikan solusi yang sesuai dengan prinsip keadilan ekonomi Islam.
Penutup: Membangun Peradaban Islam yang Kaffah
Dalam mewujudkan peradaban Islam kaffah, struktur jaringan memberikan fondasi yang kokoh dan relevan. Paradigma ini memungkinkan organisasi Islam untuk menyebarkan dakwah dan nilai-nilai Islam dengan lebih efektif melalui gerakan yang tersebar dan partisipatif. Peradaban Islam kaffah tidak lagi menjadi utopia tetapi menjadi kenyataan yang berkelanjutan, dengan organisasi-organisasi Islam yang memiliki daya saing global dan kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat.
Seiring waktu, dengan jaringan yang kuat, organisasi Islam dapat menjadi pusat pembelajaran, inovasi, dan solusi yang menginspirasi masyarakat dunia. Organisasi dengan struktur jaringan mampu menyatukan keberagaman individu menjadi kekuatan kolektif, membangun hubungan lintas komunitas, dan secara proaktif berkontribusi pada perdamaian dan kemakmuran dunia. Inilah peluang besar untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan nyata, menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang solutif, tawazun, dan berdaya guna sepanjang masa.
Struktur jaringan bukan hanya pola organisasi; ini adalah landasan baru yang mencerminkan tujuan Islam untuk membentuk umat yang kuat, seimbang, dan terhormat di hadapan Allah ta’ala dan dunia. Wallahu a’lam.[]
*) ASIH SUBAGYO, penulis adalah Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah. Ditulis sambil berbaring karena kendala kesehatan.