ERA disrupsi dam digitalitalisasi telah merevolusi berbagai aspek kehidupan, termasuk cara manusia bekerja dan berkolaborasi. Kemunculan platform online dan teknologi canggih memungkinkan komunikasi, kerja, dan kolaborasi dilakukan secara virtual dari mana saja. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah organisasi masih dibutuhkan dan relevan di era disrupsi ini?
Disrupsi sendiri merupakam perubahan cepat dalam teknologi, pasar, atau model bisnis /pola kerja organisasi sehingga mengganggu cara tradisional organisasi beroperasi. Dalam konteks digitalisasi, disrupsi terjadi ketika teknologi digital merubah cara orang bekerja, berinteraksi, dan melakukan bisnis secara mendadak. Ini mendorong organisasi untuk beradaptasi dengan cepat atau menghadapi risiko tertinggal dan kehilangan daya saing. Disrupsi digital membuka peluang baru untuk inovasi, tetapi juga menuntut fleksibilitas dan adaptabilitas yang tinggi dari organisasi.
Dari sini, maka di satu sisi, digitalisasi menawarkan kemudahan dan fleksibilitas yang luar biasa. Seningga, generasi muda, terutama Gen Z, Gen Alpha apalagi generasi sesudahnya, saat ini sudah terbiasa dan seolah embedded dengan teknologi digital, sehingga memiliki preferensi bekerja secara mandiri dengan fleksibilitas waktu dan tempat. Hal ini dikhawatirkan akan membuat mereka enggan terlibat dalam organisasi konvensional dengan struktur hierarki dan aturan yang kaku.
Padahal, sebagaimana pemahaman selama ini, manusia diidentifikasi sebagai makhluk sosial di mana memiliki kebutuhan alami untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Karena itu, mereka cenderung membentuk organisasi atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan bersama, memperluas kemampuan individu, dan memperkuat solidaritas.
Dengan kata lain, Organisasi menyediakan kerangka kerja untuk koordinasi, kolaborasi, dan pengambilan keputusan yang efisien, serta memberikan dukungan sosial dan rasa memiliki yang penting bagi kesejahteraan individu. Sebagai makhluk sosial, manusia merasakan kebutuhan untuk berorganisasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan fisik, emosional, dan sosial mereka.
Akan tetapi hak tersebut menjadi anomali bagi Gen-Z dan sesudahnya. Kaarena terbiasa dengan kemudahan berinteraksi dengan teknolohi ini, maka generasi yang mendapat julukan juga sebagai generasi strawberry ini, meskipun secara umum memiliki sikap lebih mandiri, skilful, kreatif, inovatif dan suka berbagi, tetapi pada saat yang bermasaan mereka gampang sakit dan gampang menyerah, bahkan cenderung lebih asosial.
Teknologi telah menciptakan pola hidup yang lebih individualistis, di mana manusia lebih memilih interaksi melalui layar daripada tatap muka. Dalam konteks ini, model praktik organisasi konvensional sebagaimana yang ada selama inu, akan menghadapi tantangan besar. Keterikatan emosional terhadap organisasi dan komunitas mungkin tidak lagi menjadi prioritas bagi generasi yang lebih terbiasa dengan koneksi digital.
Realitas yang dengan jelas menguraikan bahwa organisasi memiliki peran penting dalam membangun komunitas, memupuk sense of belonging, mengembangkan interaksi sosial serta mengembangkan kepemimpinan. Pada saat yang sama, sesungguhnya Organisasi juga menyediakan platform bagi individu untuk belajar, bertukar ide, dan berkontribusi pada tujuan bersama. Trernyata tidak berlalu pada sebagaian besar Gen-Z dan generasi sesudahnya.
Namun, bukan berarti organisasi tidak lagi dibutuhkan oleh mereka. Sebaliknya, organisasi yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini dan menawarkan nilai tambah yang relevan dengan dunia meeka akan tetap memiliki tempatnya. Sehingga, model organisasi konvensional mungkin tidak sekedar beradaptasi, melainkan mesti bertransformasi untuk tetap relevan di era digital.
Mengapa Gen-Z Resisten Terhadap Organisasi?
Generasi Z dan generasi sesudahnya,, memiliki ciri khas yang berbeda dalam cara mereka memandang organisasi dan keterlibatan dalam kegiatan organisasi. Beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa mereka cenderung tidak tertarik atau bahkan resisten untuk berorganisasi adalah sebagai berikut:
Pertama, Kemandirian dan Individualisme : Generasi Z dan generasi sesudahnya dikenal memiliki rasa kemandirian yang tinggi. Mereka tumbuh dalam era teknologi di mana informasi mudah diakses dan kemungkinan untuk belajar dan berkembang secara mandiri melalui internet sangat besar. Hal ini membuat mereka cenderung lebih memilih untuk mengejar minat dan tujuan mereka sendiri daripada terikat dengan struktur organisasi yang mungkin terasa terlalu kaku atau membatasi.
Kedua, Fleksibilitas dan Mobilitas Tinggi: Generasi Z dan generasi sesuhanya juga mengutamakan fleksibilitas dan mobilitas dalam kehidupan dan karier mereka. Mereka tidak ingin terikat pada satu organisasi atau komitmen jangka panjang yang mungkin menghambat fleksibilitas mereka dalam menjelajahi berbagai kesempatan. Hal ini membuat mereka kurang tertarik untuk bergabung dengan organisasi yang memerlukan keterlibatan yang intensif atau jangka panjang.
Ketiga, Ketidakpercayaan Terhadap Institusi : Beberapa kelompok generasi Z dan generasi sesudahnya juga mungkin merasakan ketidakpercayaan terhadap institusi, termasuk organisasi. Mereka telah tumbuh dalam era di mana mereka sering kali menyaksikan skandal atau kegagalan di berbagai institusi, baik di bidang politik, bisnis, maupun sosial. Atau dengan kata lain, tidak mendapatkan contoh yang baik dari perilaku tokoh dalam Organisasi. Hal ini dapat membuat mereka skeptis terhadap nilai dan tujuan organisasi.
Keempat, Kesenjangan Generasi : Adanya perbedaan nilai dan pandangan antara generasi Z dan generasi sesudahnya dengan generasi sebelumnya juga dapat menjadi faktor penyebab ketidakminatan untuk berorganisasi. Mereka mungkin memiliki preferensi yang berbeda dalam hal komunikasi, kepemimpinan, dan kerja tim, yang tidak selalu sejalan dengan budaya organisasi yang sudah mapan. Generasi sebelumnya, seringkali mengandalkan kesenioran dan pengalaman, sehingga membanding-bandingkan, bahkan menuntut Gen-Z melakukan hal yang sama dengancapa yang “dulu” generasi senior lakukan. Sehingga membuat pressure yang menghilangkan respect Gen-Z terhadap Organisasi.
Kelima, Pilihan Alternatif yang Luas : Generasi Z dan generasi sesudahnya tumbuh dalam era di mana mereka memiliki akses ke berbagai pilihan aktivitas, dan kesempatan untuk terlibat secara online. Mereka cenderung lebih tertarik pada kesempatan yang memberikan pengalaman yang instan, menyenangkan, dan relevan dengan minat dan gaya hidup mereka daripada berkomitmen pada kegiatan organisasi yang mungkin terasa kuno atau tidak menarik bagi mereka.
Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa ternyata tidak semua generasi Z dan generasi sesudahnya memiliki pandangan yang sama terhadap organisasi. Ada banyak juga individu dari generasi ini yang aktif terlibat dalam berbagai organisasi atau komunitas yang sesuai dengan minat dan nilai mereka. Oleh karena itu, untuk menarik generasi Z dan generasi sesudahnya untuk terlibat dalam organisasi, penting bagi organisasi untuk menawarkan nilai tambah yang relevan, fleksibel, dan sesuai dengan kebutuhan dan preferensi mereka.
Model Organisasi Yang Relevan di Era Digital
Melihat realitas di atas, setidaknya kita bisa menawarkan solusi yang mengarahkan bagaimana organisasi tetap relevan di masa depan. Dalam beberapa prediksi model organisasi yang sustain dan menarik bagi Gen Z dan generasi sesudahnya, dapat diusulkan sebagai berikut :
Pertama, Organisasi yang fleksibel dan adaptif
Organisasi perlu beradaptasi dengan gaya kerja Gen Z yang lebih fleksibel dan mandiri. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem kerja hybrid (online dan offline), memberikan otonomi yang lebih besar kepada anggota, dan mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan kolaborasi.
Kedua, Organisasi yang fokus pada pengembangan diri
Gen Z dan generasi sesudahnya memiliki keinginan tahuan yang tinggi, serta motivasi yang tinggi pula untuk belajar dan mengembangkan diri. Organisasi yang dapat menyediakan platform untuk pengembangan diri, seperti pelatihan, mentorship, dan networking, akan lebih menarik bagi generasi ini.
Ketiga, Organisasi yang memiliki tujuan yang jelas dan impactful
Generasi muda ingin terlibat dalam organisasi yang memiliki tujuan yang jelas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Organisasi perlu mengkomunikasikan visi, misi dan tujuannya secara efektif dan terukur. Selanjutnya menunjukkan bagaimana anggota dapat berkontribusi dalam mencapai tujuan tersebut.
Keempat, Organisasi yang memanfaatkan teknologi
Teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan komunikasi, kolaborasi, dan engagement dalam organisasi. Platform online, aplikasi mobile, dan gamifikasi dapat menjadi alat yang efektif untuk menarik dan melibatkan Gen Z dan generasi sesudahnya.
Kelima, Organisasi yang inklusif dan beragam
Generasi muda menghargai keragaman dan inklusivitas. Organisasi yang terbuka bagi individu dari berbagai latar belakang dan memiliki budaya yang inklusif akan lebih menarik bagi generasi ini. Sehingga mereka dengan suka rela, bahkan antusias untuk mendukung dan menjadi bagian penting memberikan kontribusi bagi Organisasi.
Penutup
Organisasi semestinya tidak hanya tetap relevan di era disrupsi dan digital, tetapi juga memiliki peluang untuk berkembang dan beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi. Model praktik organisasi yang berfokus pada komunitas, pengembangan diri, akses sumber daya, advokasi, dan fleksibilitas akan menarik Gen Z dan generasi sesudahnya untuk terlibat dan menjadi aktivis.
Dengan demikian, dalam menghadapi era disrupsi dan digitalisasi ini, organisasi perlu mengevaluasi kembali model mereka dan mempertimbangkan bagaimana mereka dapat menjadi lebih relevan dan menarik bagi generasi muda yang semakin terhubung secara digital. Melalui pendekatan yang terbuka, inovatif, dan berorientasi pada nilai-nilai, organisasi dapat terus menjadi agen perubahan yang positif dan berdaya saing di era digital yang serba cepat ini.
Masa depan organisasi terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, memanfaatkan teknologi, dan memberikan nilai yang relevan bagi generasi muda. Sehingga menjadi magnet yang dapat menarik dengan kuat keterlibatan gen-Z dan generasi susudahnya menjadi mesin penggerak utama bagi kemajuan dan keberlangsungan Organisasi yang sesuai dengan jamannya.[]
*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI)