
Hidayatullah.or.id -– Latar belakang objek dakwah yang sangat beragam hanyalah salah satu dari sekian banyak alasan mengapa para da’i harus selalu punya persiapan yang lebih sebelum ia terjun berdakwah. Untuk itulah para da’i dituntut untuk selalu mengoreksi diri sendiri sebelum berdakwah menyampaikan kepada orang lain.
Kesimpulan itu tersampaikan dalam acara “Silaturahim Da’i Hidayatullah se-Balikpapan” yang digelar oleh Yayasan Dakwah Center (YDC) Ulul Albab, Balikpapan kemarin.
“Kita semua harus beri apresiasi kepada setiap agenda dakwah yang ada. Sebab dakwah adalah jalan kebaikan yang pernah dilakoni oleh semua Nabi dan utusan Allah.” Ujar Zainuddin Musaddad, Ketua Yayasan Pesantren Hidayatullah, Balikpapan.
Selain sebagai sarana menjalin ukhuwah sesama da’i, acara ini juga dimaksudkan untuk sharing berbagi pengalaman dakwah selama terjun di tengah masyarakat.
Menurut Zainuddin, sebagai pekerjaan yang paling baik di mata Allah, sepantasnya setiap da’i berusaha menampilkan yang terbaik kepada umat dalam setiap dakwahnya.
Untuk itu Hidayatullah sangat mendukung adanya upaya program standarisasi setiap da’i.
“Yang kita inginkan tentu bukan untuk klasifikasi da’i secara materi. Layaknya ada dai di lahan dakwah “basah” atau “kering”. Bukan pula membagi ada kelompok da’i perkantoran atau pinggiran,” terang Zainuddin.
“Tapi sebagai media para da’i mengoreksi diri sendiri sebelum berdakwah menyampaikan kepada orang lain,” imbuh pria kelahiran Tasikmalaya ini.
Dalam acara yang digelar di Ruang Pertemuan Yayasan Pesantren Hidayatullah tersebut, Nur Kalam, selaku yang kordinator dakwah Hidayatullah wilayah Balikpapan juga menyampaikan harapan besarnya terkait program tersebut.
Menurutnya, hari ini tantangan dakwah kian berat dan beragam. Arus informasi dan budaya barat begitu deras menjejali umat Islam. Tak ada lagi ruang atau waktu yang tersisa. Semuanya telah dipenuhi oleh hegemoni budaya Barat yang begitu menggurita saat ini.
Bagi seorang da’i, hal itu tentunya dimaknai sebagai tantangan untuk bermujahadah lebih maksimal.
Karena itu Nur Kalam mengajak setiap da’i juga terus berbenah dan menambah bekal dalam berdakwah. Salah satunya, masih menurut Nur Kalam, lewat program standarisasi da’i tersebut.
“Insya Allah kita mulai dari yang paling sederhana dulu, yaitu memperbaiki bacaan al-Qur’an hingga benar-benar baik dan terstandar,” ucap Nur Kalam yang disambut senyum oleh sebagian peserta.
“Jangan sampai ada di antara da’i yang merasa sudah tidak mau lagi belajar atau membaca buku,” imbuh Nur Kalam berpesan.
Senada dengan itu, Abdul Qadir Jailani, salah seorang Dewan Pembina Pesantren Hidayatullah juga menyatakan dukungannya atas program yang ia anggap “berani” tersebut.
“Saya anggap berani, karena hal semacam itu belum ada di masa-masa awal Pesantren Hidayatullah berdiri,” ujar Abdul Qadir.
Menurutnya, dulu di masa pendiri hidayatullah, Ustad Abdullah Said belum ada klasifikasi atau standarisasi da’i. Sebab semua santri langsung disuruh pergi ceramah, bahkan langsung terjun ke daerah buka cabang Hidayatullah,” kenang Abdul Qadir sambil tersenyum.
Terakhir, Abdul Qadir mengingatkan kepada setiap da’i yang hendak menyampaikan dakwah kepada orang lain, agar tidak melalaikan ibadah-ibadah nawafil sebagai sandaran kekuatan spiritual seorang Muslim.
Menurutnya, apalah arti bacaan al-Qur’an yang merdu, materi yang begitu hebat, dan retorika yang sangat memukau, jika semua itu hampa dari kekuatan ruhani seorang da’i.
“Ucapan itu bisa berbekas di hati orang lain jika ucapan tersebut benar-benar kita jiwai dan resapi dalam hati. Sebaliknya jika ruhnya kerontang, bisa jadi ucapan tersebut hanya nyangkut di leher atau di telinga umat saja” terang Abdul Qadir.*/ Masykur Abu Jaulah