MASIH ingat tragedi “pemotongan” alat kelamin seorang remaja laki laki berinisial AMY oleh seorang wanita sebayanya di Tangerang, Banten? Kasus ini marak diangkat media sebab terbilang langka terjadi.
Dari pengakuan keduanya, menunjukkan jika mereka memang telah saling kenal. Perkenalan itu begitu intim yang kemudian berujung pada kejadian nahas tersebut.
Tidak jauh dari Tangerang, seorang tukang ojek yang masih belia di Bogor, Jawa Barat, dikabarkan nekat memperkosa seorang gadis muda. Namun aksi nekat remaja belasan tahun itu digagalkan sekawanan pelajar yang menyaksikan perbuatan bejat itu.
Berkaca dari banyak kasus serupa yang melibatkan anak remaja, menunjukkan ada gejala baru yang tumbuh dalam pergaulan muda mudi. Umumnya, baru kenal beberapa hari memalui media jejaring sosial, langsung janjian bertemu, lalu tiba-tiba hilirnya terjadi praktik asusila.
Melihat gejala tersebut, pemerhati sekaligus praktisi masalah pendidikan anak dan remaja, Rita Sahara, memandang ada yang keliru dalam skema pendidikan kita.
“Kebanyakan para orangtua berprinsip bahwa sekolah menjadikan mereka (murid, red) menjadi pintar,” kata pengelola sekolah usia dini Pesantren Hidayatullah Pati, Jawa Tengah ini.
Bagaimana pula pendapatnya tentang adanya dikotomi pendidikan? Apakah ini juga berdampak pada output anak didik?
Koresponden aktif portal Hidayatullah.or.id di Mamuju, Muhammad Bashori, mewawancari Rita Sahara, seorang praktisi dunia pendidikan yang berkunjung ke kota itu dalam sebuah acara seminar pendidikan, awal bulan Juni ini. Berikut petikannya:
Dewasa ini santer pemberitaan remaja pelajar berani memperkosa, gejala apa ini?
Pertama tentu saja karena tidak adanya benteng diri. Kasus-kasus seperti itu juga muncul lebih karena pengaruh media dan lingkungan. Anak-anak, bahkan hingga usia remaja, sebenarnya belum memiliki cukup imunitas diri untuk dapat memfilter dengan baik setiap informasi yang datang dalam bentuk audio, visual, maupun grafis.
Di waktu yang sama mereka terlalu leluasa dan mendapat akses yang sangat luas untuk menikmati tayangan klise di televisi yang, pelan tapi pasti, akan memenjarakan jatidiri mereka sendiri. Jika tanpa kontrol, ini akan semakin berbahaya.
Tidak sedikit kasus yang terjadi justru pelaku asusila berlatar belakang pendidikan agama. Apakah ini artinya institusi berjargon agama telah gagal?
Jika disebut gagal, sebenarnya tidak. Fungsi-fungsi institusi pendidikan agama tetap utama. Hanya saja, jika demikian yang terjadi, berarti mereka belum memahami ajaran Islam. Tidak ada internalisasi nilai-nilai Qur’an yang berlangsung, adab hanya ada pada tataran teori.
Artinya, pendidikan bagi mereka hanyalah sebuah rutinitas saja, bukan lagi sebagai proses untuk mengarah kepada sesuatu yang lebih baik.
Sebab, apabila siklus yang berkembang di institusi pendidikan hanya berupa rutinitas kerja saja, maka tidak bisa diharapkan sepenuhnya ada totalitas dan loyalitas dari proses kerja yang berlangsung di dalamnya.
Kalau keberadaan guru hanya sebagai guru dan pelajar hanya sebagai pelajar saja, tidak akan ada proses perbaikan perbaikan diri. Dalam Islam, guru adalah pengayom, pendidik, bukan sekedar pengajar. Sedangkan pelajar adalah murid, bukan sekedar pelajar.
Anda melihat ada dikotomi dalam sistem pendidikan Indonesia, seberapa besar dampaknya terhadap output pendidikan?
Umumnya sudah tidak ada. Tapi di sekolah-sekolah tertentu ada yang masih melakukan pemisahan. Memisahkan dan membagi porsi antara pendidikan keagamanaan Islam dengan pendidikan umum di mana biasanya yang pendidikan agama dan moral yang diminimalisir jamnya.
Tetapi yang unik dan cukup membanggakan, sekarang fenomenanya muncul gerakan-gerakan keislaman dari sekolah-sekolah yang dalam tanda petik masih mendikotomikan antara pendidikan umum dan agama.
Ketika kita telusuri, ternyata, ada kerinduan murid-murid itu terhadap kerohanian Islam. Mereka mendapatkan waktu yang sedikit untuk pendidikan agama namun mereka dengan kemandiriannya mampu membangun sebuah komunitas bina iman.
Yang aneh sekarang, adalah kenapa justeru dari lembaga dan institusi pendidikan Islam itu yang sepertinya sedikit militansinya dalam masalah pendidikan agama ini.
Seberapa penting hubungan kepengasuhan di sekolah dengan di rumah?
Orangtua harus memahami proses dan prinsip pendidikan. Karena kebanyakan para orangtua berprinsip bahwa sekolah akan menjadikan anak mereka menjadi pintar dan menjadi shaleh. Mereka berani bayar mahal berapa pun demi keyakinannya itu. Kalau kita kembali ke rumah, perilaku asusila dan amoral anak sangat berpengaruh terhadap konsep berpikir orangtua.
Apa yang seharusnya dipahami orangtua dalam mendidik anak?
Orangtua harus melihat bahwa pendidikan adalah sebuah proses perbaikan dan dalam pendidikan itu harus menyeluruh dan seimbang. Artinya, orangtua tidak saja berharap kepada sekolah untuk membentuk karakter anak-anak mereka. Tapi orangtua harus terlibat secara aktif, melakukan interaksi dengan anak-anaknya. Membangun komunikasi dan keakraban.
Jangan sampai berfikir proses pendidikan itu hanya pada ranah kognitif saja, padahal harus seimbang dari berbagai ranah yang dibutuhkan anak-anak.
Dan, orangtua harus menumbuhkan kesadaran bahwa dengan pendidikan anak-anak harus memiliki tanggung jawab yang sesungguhnya. Khususnya bagi keluarga muslim harus memahamkan kalau tugas kita sebagai khalifah Allah.
Orangtua harus mencari tahu apa dan bagaimana proses pendidikan anaknya, apalagi sekarang banyak program-program parenting yang sifatnya umum belum spesifik kepada pembentukan mental spiritual anak.
Bagaimana seharusnya lembaga pendidikan yang ideal untuk anak menurut Anda?
Idealnya, orangtua menerapkan sekolah yang berbasis keluarga mulai dari rumah. Pola ini sangat mengena bagi anak. Sehingga di sana ada ranah seorang ibu yang berwibawa ada tokoh kakak seperti dalam sebuah keluarga.
Apa pesan Anda –khususnya- kepada ayah-bunda di lembaga pendidikan Hidayatullah ini?
Kita semua ayah maupun bunda di lembaga ini dituntut bisa mengapresiasikan ilmu kita. Waktu kita terbagi antara keluarga dengan sekolah karena yang harus kita pahami kita bukan bekerja tapi beramal.
Di sekolah beramal di rumah juga beramal dua-duanya tanggung jawabnya sama. Perlu ada kerja sama antara antara ayah dan bunda karena kalau tidak ada keseimbangan, yang menjadi korban selain ayah maupun bunda terutama anak.
Kalau anak tidak mendapatkan pembinaan seimbang ini akan menjadi PR selanjutnya bagi keluarga-keluarga kader, tentunya hal ini sama-sama tidak kita inginkan.*