
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Anggota Dewan Mudzakarah Hidayatullah Ust. Akib Junaid Kahar menyampaikan pesan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan relevansinya terhadap kepemimpinan serta kehidupan sosial. Melalui penjelasan bernuansa tafsir dan refleksi sejarah keislaman, ia mengajak untuk merenungi kembali makna perintah pertama dalam Al-Qur’an.
Menurutnya, wahyu pertama yang disampaikan kepada Rasulullah SAW merupakan titik awal dari peradaban ilmu dan pengetahuan dalam Islam.
“Kalimat pertama sekaligus perintah pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW adalah ‘Iqra’’. Sebuah isyarat yang sangat jelas tentang urgensi ilmu pengetahuan,” ujar Akib yang dikutip dalam notes-nya, pada Jumat, 18 Rabi’ul Akhir 1447 (10/10/2025).
Ustadz Akib menekankan bahwa makna iqra’ tidak semata berarti membaca teks tertulis, tetapi mencakup seluruh upaya manusia dalam memahami realitas kehidupan. Perintah ini adalah panggilan universal untuk mengembangkan potensi akal dan rasa melalui berbagai cara memperoleh pengetahuan.
“Sebab, makna hakiki dari iqra’ adalah segala bentuk ikhtiar untuk mengetahui dan memahami sesuatu, baik secara lisan, tulisan, pengamatan, maupun pengalaman,” lanjutnya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa ada tiga objek utama yang menjadi fokus dari proses pencarian ilmu sebagaimana terkandung dalam konsep iqra’.
“Tiga hal utama yang menjadi objek penting dari proses iqra’ adalah: Allah (Rabb), alam semesta (makhluk), dan manusia itu sendiri,” terangnya.
Dalam pandangannya, keseimbangan dalam memahami ketiga objek itu menjadi fondasi moral dan intelektual bagi setiap insan. Ketidakseimbangan atau kekeliruan dalam memahami salah satunya dapat menimbulkan kesalahan dalam bertindak dan bersikap.
“Memahami ketiganya secara benar menjadi kunci agar seseorang tidak salah dalam bersikap dan bertindak. Sebab kurangnya pengetahuan akan berdampak langsung pada cara berinteraksi, baik dengan Tuhan, sesama, maupun lingkungan,” katanya menambahkan.
Ustadz Akib juga menyoroti bahwa banyak persoalan sosial dan bencana kemanusiaan di dunia ini berakar dari kesalahan dalam berinteraksi akibat ketidaktahuan. Ketika manusia gagal memahami relasinya dengan Tuhan, sesama, dan alam, maka muncul krisis spiritual dan sosial yang berdampak luas.
“Dalam kehidupan nyata, berbagai teguran atau hukuman dari Allah—termasuk bencana alam, konflik sosial, kemarahan, kebencian, dan permusuhan antar manusia—sering kali bermula dari kesalahan dalam interaksi. Dan kesalahan itu umumnya berakar dari ketidaktahuan,” ungkapnya.
Untuk memperkuat pesan tersebut, ia mengutip kisah Nabi Adam AS sebagai refleksi tentang keunggulan ilmu pengetahuan dibanding sekadar status penciptaan. Dalam peristiwa itu, malaikat yang semula mempertanyakan pengangkatan Adam sebagai khalifah akhirnya tunduk setelah Allah menunjukkan ilmu yang dimiliki Adam.
“Kisah Nabi Adam AS menjadi pelajaran penting. Meski awalnya para malaikat mempertanyakan pengangkatan Adam sebagai khalifah, akhirnya mereka tunduk dan mengakui keunggulannya. Kenapa? Karena Adam memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Kompetensi itulah yang mengangkat derajatnya,” jelasnya.
Dari kisah tersebut, Ustadz Akib menyimpulkan prinsip penting dalam kepemimpinan dan tanggung jawab sosial, yakni, amanah harus diberikan kepada mereka yang memiliki kompetensi, bukan sekadar karena usia, sejarah, atau senioritas.
“Pesan ini menegaskan pentingnya memberi amanah kepada yang berkompeten, bukan sekadar kepada yang senior. Bahkan jika seseorang tergolong ‘pendatang baru’, selama ia memiliki kapasitas dan kualitas, maka sudah semestinya ia mendapat tempat. Di sisi lain, para senior pun harus berlapang dada menerima kenyataan, jika memang sudah saatnya tongkat estafet berpindah tangan,” tuturnya.
Ia mengingatkan tentang bahaya besar yang muncul bila manusia terjebak pada glorifikasi masa lalu dan menolak kenyataan perubahan. Sikap demikian, katanya, mencerminkan keangkuhan iblis yang merasa lebih mulia hanya karena lebih dulu diciptakan.
“Bahaya besar mengintai ketika seseorang lebih mengandalkan status, sejarah panjang, atau jasa masa lalu, lalu menutup mata terhadap perkembangan zaman. Itulah ciri penyakit iblis: menolak realita karena merasa lebih dulu, lebih senior, atau lebih mulia. Padahal, sikap semacam itu bisa menggugurkan seluruh amal dan pengabdian,” tegasnya.
Dalam bagian akhir catatannya, Ustadz Akib menekankan karakter seorang pemimpin sejati yang tidak berhenti belajar dan memperbaiki diri. Kepemimpinan, menurutnya, bukan sekadar soal posisi, tetapi tentang tanggung jawab untuk terus beradaptasi dengan perubahan agar tetap bermanfaat.
“Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki rasa tanggung jawab, dan tak pernah berhenti memperbaiki diri. Ia tak larut dalam nostalgia masa lalu, tapi terus meng-upgrade kapasitas agar tetap relevan dan bisa memberi kontribusi terbaik di masa kini dan masa depan,” ujarnya menutup catatan hikmah tersebut.
Ustadz Akib menegaskan bahwa Islam menempatkan ilmu sebagai pondasi utama dalam membangun peradaban. Melalui pemahaman mendalam terhadap makna iqra’, manusia diingatkan agar tidak hanya membaca teks, tetapi juga membaca diri, alam, dan realitas sosialnya.[]