“SEORANG suami seharusnya tahu diri. Istri yang sekarang ini ketika kecil dirawat oleh ayah bundanya dengan kasih sayang. Disusukan oleh ibunya, kencing dan tinjanya diurus oleh ibunya. Bila sakit, yang susah dan kalang kabut adalah orangtuanya.
Calon suami tidak pernah perduli dengan keadaan itu. Apakah calon istrinya mau mati konyol, dia tidak mau tahu menahu. Setelah anak itu menjadi gadis, barulah datang calon suami melamar. Tahu beres saja. Langsung diambil, dalam keadaan dinikmati saja.
Setelah itu si istri meninggalkan ayah dan ibunya mengikuti suami, dengan satu harapan semoga perlakuan dan kasih sayang yang dia dapati dari ayah dan ibu bisa diberikan oleh suami.
Jadi seorang suami harus mampu memberikan kasih sayang pada istrinya, sebagaimana ayah dan ibu memberikan kasih sayang kepadanya.
Pernah seorang suami melapor kepada saya bahwa istrinya selalu terlambat shalat shubuh. Dibangunkan, tidak mau bangun. Dia pulang dari shalat shubuh, tapi istrinya masih berbaring di tempat tidur.
Disuruh bangun shalat dia menggeliat liat saja. Saya katakan bahwa saya perlu bicara dulu dengan istrinya.
Kepada si istri saya bertanya, kenapa shalat shubuhnya selalu terlambat? Ia menjawab, “Habis Ustadz, kita dibangunkan kaya’ ayam!”.
“Bagaimana cara membangunkannya?”
“Kalau disuruh, dia tendang kaki saya, ‘He, he, bangun!’ Mana mau saya bangun kalau begitu”
“Jadi, bagaimana maumu?”
“Ya…, kaya’ ibu dulu membangunkan saya”
“Digendong?” Sambil tersipu sipu dia menjawab, “Ya…, begitulah barangkali”.
Ternyata si istri ini minta digendong. Carilah satu cara yang tidak betul betul menggendong tapi suasananya seperti digendong.
Katakanlah pada istri, “Aduhai sayang, si manis yang cantik… Bangunlah di subuh hari menikmati keindahan. Apakah perlu digendong?”
Nah, itu yang dibutuhkan oleh istri tadi. Bagi dia itu lebih penting daripada emas yang bergantungan di telinga dan kain yang mahal-mahal.
(Dikutip dari ceramah pendiri Hidayatullah Ust Abdullah Said sebagaimana dinukil dalam buku “Sistematika Wahyu, Metode Alternatif Menuju Kebangkitan Islam Kedua”, hal. 47-48)