BERAWAL dari pasangan suami istri pegawai Pertamina lewat jalan dan istrinya melihat ada kubah emas di tengah hutan dengan mata kepalanya sendiri.
“Sebenarnya kami tidak percaya sambil mengusap-usap mata tapi kubah emas itu tetap nampak sangat jelas. Kami dalam kondisi sadar di atas mobil dan bukan mimpi,” kata bapak-ibu itu seperti diceritakan pengurus Hidayatullah Jayapura pada penulis.
Tumbuh keyakinan dalam benak keduanya bahwa itu isyarat dari Allah untuk membangun masjid di situ. Sehingga sang istri meminta suaminya untuk membangun masjid di tengah hutan itu lewat program Badan Dakwah Islam (BDI) Pertamina.
Meski tidak ada muslim di sekitar itu bahkan manusia saja tidak ada. Agak aneh membangun masjid di tengah hutan tanpa ada masyarakat di sekitarnya. Jalanpun masih berlumpur satu meter, hanya mobil-mobil khusus perusahaan kayu yang bisa lewat.
Nama suami istri itu, Haji Wedi Pratikyo dan Hajah Rahmi. Sehingga tidak lama setelah itu, beliau mempekerjakan orang untuk membangun masjid itu tapi tanpa ada pengawasan sehingga agak terbengkalai pekerjaan tersebut dan hasilnya kurang maksimal.
Di saat yang hampir bersamaan, petugas Hidayatullah membeli tanah di dekat lokasi itu seluas dua hektar. Pembelian itu berasal dari hasil penjualan sapi dan tanah Pesantren Hidayatullah yang di Sentani, karena tanah itu di pinggir sungai yang rawan banjir.
Ada seorang ibu yang menyarankan bahwa tanah itu tidak cocok untuk pesantren dan beliau membelinya dengan beberapa ekor sapi. Dari hasil penjualan sapi itulah yang dibuat membeli tanah di Holtekamp Jayapura.
Tanah lokasi Pesantren Hidayatullah itu tidak ada hubungannya dengan masjid yang dibangun oleh BDI Pertamina. Tapi karena berdekatan sehingga santri lihat-lihat proses pembangunan masjid tersebut. Santri shalat lima waktunya di mushola kecil yang dibangun di areal pesantren sendiri.
Saat akan ada peresmian masjid tersebut, Haji Wedi dan istrinya meminta Pengurus Hidayatullah untuk mengelolanya. Tapi pengurus Hidayatullah saat itu tidak bersedia jika tidak dihibahkan dengan berbagai argumentasi, akhirnya mereka berdua sepakat hibah.
“Ibu, kami tidak bisa memakmurkan masjid itu, harus ada kelas untuk lokal belajar para santri karena tidak ada masyarakat atau manusia di sekitar masjid ini,” kata seorang pengurus saat itu.
“Jadi maunya bagaimana,” tanya Ibu Rahmi.
“Semoga ibu bersedia membebaskan tanah sekitar masjid dan dibangunkan lokal kelas untuk belajar santri,” jawab pengurus.
“Bismillah, Insya Allah,” jawab ibu Rahmi.
Alhamdulillah mereka bersedia untuk menghibahkan masjid dan tanah sekitar 2 hektar. Kemudian membangun kelengkapan bangunan kelas untuk belajar para santri yang cukup representatif meski terbuat dari kayu. Kalau asrama santri sudah terbangun di lokasi pesantren sendiri.
Setelah itu para pengurus dan santri Hidayatullah Jayapura menebangi kayu-kayu besar di sekitar masjid itu. Barulah kelihatan masjid dari jalanan dan menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat. Mereka heran, tiba-tiba ada masjid besar berdiri di tengah hutan. Apalagi ini daerah yang rawan adanya gerakan separatisme.
Tidak lama setelah itu ada peresmian masjid dan lokal kelas serta serah terima ke Pesanten Hidayatullah Jayapura. Setelah itu, pengurus membeli tanah Haji Wedi yang ada disamping tanah yang sudah dihibahkan. Tapi setelah sekian lama, surat tanah belum diserahkan oleh Ibu Hajah Rahmi.
Awalnya saat ditanyakan, tidak ada jawaban. Namun beberapa kali ditanyakan oleh Ustadz Ahmad Marzuki saat itu. Ibu Hajah Rahmi menjawab, “tak usah khawatir ustadz, saya ini orang muslim. Insya Allah akan kami serahkan suratnya”.
Ternyata, suami istri itu menunggu dan melihat keseriusan Pesantren Hidayatullah melaksanakan programnya. Setelah yakin, Subhanallah Allahu Akbar mereka menyerahkan tanah di dekat lokasi itu sebesar 12 hektar. Jadi tanah pesantren bertambah 14 hektar.
Keduanya, Haji Wedi dan Hajah Rahmi kini sudah wafat. Semoga Allah menerima amal jariyah beliau berdua dan menempatkan di tempat yang mulia yaitu surga, Aaamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.
Petugas yang mengawali Hidayatullah Jayapura adalah Ust Suwardani Sukarno dibantu oleh saudara Ahmad Syakir Muflih pada tahun 1994. Datang juga santri-santri bujang dari Gunung Tembak yaitu Muqim bin Amin Mahmud, Hamzah bin Amin Bahrun, Zulkhair, Zulfikar, Amir Bastian, dan Kasim Rumaf.
Cerita dari Ustadz Kasim yang sekarang menjadi Ketua DPD Hidayatullah Timika, mereka dulu kalau tidur harus tertutup semua dari kaki hingga kepala. Obat nyamuk tidak mempan meski empat obat nyamuk diletakkan sekitarnya.
“Luar biasa banyaknya nyamuk saat itu tapi kita menikmatinya sebagai sebuah ketaatan menjalankan tugas,” kata Kasim mengisahkan.
Selanjutnya, ada Ust Hasan Suraji yang sempat beberapa tahun memimpin di Jayapura. Dilanjutkan Ust Ahmad Marzuki sekitar dua tahun, kemudian diteruskan oleh Ust Al Djufri Muhammad hingga 11 tahun. Seterusnya bergantian ditempatkan kader Hidayatullah di Jayapura. Hampir semua kader di Papua pernah bertugas atau menjadi santri di Hidayatullah Jayapura.
Inilah rekayasa Allah memberikan kemudahan jalan dakwah Hidayatullah melalui penglihatan kubah emas oleh Haji Wade dan Hajah Rahmi. Baru terjawab isyarat itu, mengapa harus membangun masjid di tengah hutan? Karena akan berdiri Pesantren Hidayatullah di dekat situ. Ini tentu pertolongan Allah melalui doa para jamaah dan mujahadah dai-dai Hidayatullah.
Kubah emas yang dilihat oleh ibu Hajah Rahmi, mulai terlihat dengan ramainya para santri shalat berjamaah di masjid di tengah hutan dengan pakaian putihnya. Setiap shalat lima waktu dan shalat lail, warga dan santri shalat berjamaah di masjid.
ABDUL GHAFFAR HADI