Oleh Abdul Ghofar Hadi*
SEBENARNYA bukan berita yang mengejutkan ketika media Republika mengumumkan bahwa mulai 1 Januari 2023, beralih sepenuhnya berjalan dalam wahana digital. Surat kabar cetak diterbitkan hingga edisi Sabtu, 31 Desember 2022, setelah 30 tahun terbit versi cetak.
Kenyataan ini menambah deretan sejumlah media cetak, baik tabloid, koran, dan majalah satu per satu tumbang. Tergerus media digital yang kian menggurita dan mengubah pola hidup manusia.
Media cetak yang ātumbangā tergerus media digital, hampir semuanya. Seperti Tabloid Bola, Majalah HAI, Majalah Kawanku, Koran Sinar Harapan, Jakarta Globe, Readerās Digest Indonesia, National Geographic Traveler Indonesia, Koran Tempo Minggu, Jurnal Nasional, dan yang lainnya.
Masyarakat pun nampaknya lebih memilih sumber-sumber informasi digital ketimbang media informasi cetak. Hal ini tentu membuat para pemasang iklan, salah satu sumber penghasilan media cetak, mengalihkan perhatian ke media-media digital. Kondisi ini tentu membuat pengelola media cetak makin kelabakan. Pembaca dan pelanggan berkurang, iklan pun tak dapat diraih.
Media digital telah mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan. Sementara, para pelaku media pun mesti berubah, jika tak mau tergerus dan tumbang ditelan era digital.
Namun, di saat yang sama, penulis dalam perjalanan dari Jakarta ke Balikpapan, masih mendapatkan toko buku di bandara Internasional Sukarno Hatta yang eksis menjual buku. Meski sepi, tapi ada saja penumpang yang masih mampir, melihat, memilih dan membeli buku.
Namun bukunya bahasa asing sehingga pembeli kebanyakan orang asing juga. Anak-anak nya dibelikan dan pegang buku masing-masing. Sebuah pemandangan yang langka dan aneh.
Di saat yang sama, para penumpang Indonesia lebih asyik dengan handphone nya, baik anak-anak maupun orang tua. Entah nonton, baca berita, menelpon atau main game.
Sebagian lain memilih untuk kuliner atau makan-makan, ngobrol dan tidur-tiduran. Budaya dan habit yang sangat berbeda dengan orang Asing terkait minat baca. Ironis memang melihatnya tapi itulah realitas masyarakat kita yang perlu terus ada edukasi.
Wajar orang-orang Asing masih lebih progresif untuk melakukan inovasi dan terus menemukan studi dan teknologi baru. Karena minat baca bukunya masih tinggi.
Zaman boleh berubah, secanggih apapun, tapi budaya baca harus tetap terjaga. Perintah pertama kali kepada Nabi Muhammad dan umatnya adalah membaca. Karena membaca bisa membuka dunia, mendorong untuk maju, membangun peradaban.
Jangan sampai berkata bukan zaman lagi beli buku atau majalah cetak, dengan menyebut ketinggalan zaman. Namun tidak juga membaca buku versi online atau digital.
Sebaliknya jika budaya membaca punah maka yang terjadi adalah kepurukan, stagnan bahkan kemunduran peradaban.
Esensinya bukan masalah zaman batu, besi, kayu, cetak atau digital. Tapi bagaimana tetap konsisten membaca dan menulis untuk sebuah karya dan membangun peradaban.
Perintah membaca dari 1400 tahun lebih yang lalu masih tetap relevan di setiap zaman. Perubahan zaman digital hari ini adalah buah dari bacaan para ilmuwan. Selanjutnya akan progresif lagi dengan inovasi yang lebih canggih dari hasil bacaan-bacaan para ahli.
Semoga kita istiqomah untuk terus membaca ayat ayat al Quran dan buku-buku bacaan yang bermanfaat.
*) Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal DPP Hidayatullah