Jika sebuah organisasi bahkan negara terasa kian banyak masalah daripada anugerah, pesmisme daripada optimisme, maka hal yang perlu dilakukan adalah kembali ke titik awal, mengapa negara ini didirikan.
Hal ini akan membantu semua pihak kembali pada kesadaran mendasar mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan dalam kehidupan ini. Sebagaimana para pendiri bangsa ini berpikir mengapa mereka harus berjuang untuk mendapat kemerdekaan.
Sebuah organisasi atau negara dihadirkan sebagai alat bersama mencapai tujuan terbaik dalam kehidupan, baik secara lahir maupun batin. Dan, tentu saja, segala hal yang menyangkut kehidupan individu dan organisasi itu sendiri mesti benar-benar relevan atau mencerminkan nilai dan karakter dasar yang menjadi nilai dan goal dari sebuah organisasi dihadirkan.
Bagi Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, Hidayatullah adalah rumah peradaban, dimana setiap individu dan organisasi harus berjalan dengan irama manhaj yang kokoh, solid, dan dinamis. Oleh karena itu sangat relevan jika kajian yang senantiasa beliau introdusir adalah revitalisasi syahadat. Mengapa syahadat? Itulah awal bagaimana individu dan organisasi berjalan secara tepat dan konsisten.
Dalam kata yang lain, semakin dimengerti mengapa sebuah organisasi bahkan negara dibentuk, akan semakin memudahkan generasi penerus mengerti mental dan sikap juang seperti apa yang harus mereka hadirkan. Dan, ini sangat penting, karena kita ketahui bersama, kehidupan ini akan terus berubah, yang ibarat perjalanan laut, gelombang tak bisa kita kendalikan apalagi diprediksi.
Sikap Tegas Rasulullah Muhammad
Berbicara organisasi bahkan sampai tingkat negara, umat Islam bahkan dunia tidak bisa lepas dari keteladanan Nabi Muhammad.
Frithjof Schuon, pira keturunan Jerman mengakui hal itu, bahwa jika ada pemimpin mampu melakukan gerakan dengan capaian-capaian spektakuler dengan keterbatasan sumber daya dan dalam waktu yang sangat singkat, maka siapapun tidak akan ada yang mengungguli Nabi Umat Islam itu.
Sayangnya, kebanyakan orang tertarik melihat hasil, tidak pada proses dan latarbelakang. Hadirnya orang seperti Umar bin Khathab itu bukan dengan cara melawan serangan fitnah yang dilancarkan oleh pembesar Quraisy, tetapi akhlak yang dipertontonkan oleh umat Islam.
Termasuk loyalitas kaum Muslimin, tidak dibentuk oleh semata doktrin, tetapi perilaku dan keteladanan. Saat umat Islam harus sedekah, maka Nabi yang paling loyal dalam urusan penting ini. Jadi, doktrin hakikatnya adalah diteladankan, bukan didengang-dengungkan semata.
Lebih jauh, dalam memandang realitas Nabi Muhammad tidak terjebak pada apa yang berkembang, tapi apa yang harus dibangun. Oleh karena itu, Darul Arqam menjadi pusat pembentukan mindset para sahabat. Dengan demikian, bergulirnya waktu diikuti oleh lahirnya pemahaman kokoh dan perilaku solid kaum Muslimin dalam mengejawantahkan keimanan.
Sekarang, banyak organisasi bahkan negara, terseret pada apa yang berkembang, sehingga lepas dari basis yang menjadikan akar kehidupan bangsa dan negara hidup dan berkembang. Ini berlaku di beragam negara di dunia, bahkan negara maju dan adidaya sekalipun.
Jika hal itu yang dijalankan, maka jelas tidak akan ada idealitas baru yang bisa dibentuk. Setingkat negara pun harus merespon “produk-produk” kelompok kreatif yang tidak terlihat, mulai dari isu, teknologi, hingga isme yang sampai sekarang, semua negara terjebak pada masalah tersebut.
Dalam kata lain, kita tidak mungkin mengubah keadaan jika tidak memiliki konsep idealitas yang hendak diwujudkan. Hal ini pasti, karena pandangan kita selalu terseret pada realitas. Sementara realitas itu pasti berubah bahkan bagi kelompok tertentu realitas bisa direkayasa.
Jika kaum Muslimin belajar dengan mendalam, mengapa ayat-ayat pertama Alquran yang turun kepada Nabi Muhammad berbicara dengan nuansa filosofis-progressif, maka kita akan ketahui, bahwa hari ini adalah kesempatan untuk membentuk konsep bahkan blue print idealitas yang seharusnya. Selanjutnya, tekun mengamalkan, mengembangkan secara intelektual dan mensyiarkan ke seluruh dunia.
Langkah ini terkesan jauh dan tidak modern, tapi sebuah prinsip yang dalam bahasa Alquran disebut dengan istilah “sunnatullah” maka sungguh aksesoris perkembangan zaman tak akan benar-benar mampu menggantikannya.
Oleh karena itu, kembalilah pada kesadaran idealitas apa yang akan kita wujudkan, sampai ditemukan konsep, metodologi, hingga penyebaran gagasan yang memadai. Bukan terus-menerus memandang realitas lalu berangan-angan atau pesimis dengan ungkapan-ungkapan yang tak merangsang intelektual dan spiritual bekerja maksimal. Allahu a’lam.
Imam Nawawi (Ketua Umum Pemuda Hidayatullah)