AdvertisementAdvertisement

Menapaki Jalan Dakwah dengan Ibadah dan Keteguhan Persaudaraan

Content Partner

NABIRE (Hidayatullah.or.id) — Nilai ibadah dan persaudaraan menjadi fondasi utama dalam perjalanan dakwah Ustadz Hasanuddin. Menurutnya, dua nilai tersebut merupakan harga yang paling mahal bagi seorang muslim dalam menapaki jalan pengabdian ini.

Pandangan itu lahir dari pengalaman panjangnya menjalani proses kaderisasi dan penugasan lintas daerah, yang ia yakini tidak sekadar membentuk ketahanan fisik, tetapi juga mematangkan orientasi ruhiyah dan komitmen kebersamaan dalam dakwah.

Kisah perjalanan Hasanuddin bermula dari sebuah surat sederhana yang dikirimkan sahabatnya, Said Sameng, yang lebih dahulu menimba ilmu di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan.

Dalam surat itu tertulis ajakan yang kemudian menjadi titik balik hidupnya, “Hasan, kalau kamu ingin merasakan nikmatnya Islam, saya tunggu di Hidayatullah Gunung Tembak.”

Hasanuddin dan Said Sameng merupakan sahabat sejak di kampung halaman mereka, Kelurahan Palattae, Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Keduanya aktif sebagai pengurus Rohani Islam (Rohis) di lingkungan setempat.

Ajakan tersebut mengantarkan Hasanuddin berangkat ke Gunung Tembak dan resmi menjadi santri Hidayatullah pada 1994. Seperti santri baru lainnya, ia mengikuti training center selama 40 hari dengan aktivitas kerja fisik seperti membersihkan lingkungan, mencangkul, dan merintis lahan. Latar belakang kehidupan kampung yang lekat dengan kerja keras membuatnya menjalani proses tersebut tanpa guncangan berarti.

Empat puluh hari setelah training center, Hasanuddin mendapat amanah membantu Kepala Kampus, Ustadz Sudiono, di bidang pertukangan. Penugasan ini dijalani selama beberapa tahun.

Pada 1997, ia terdaftar sebagai peserta pernikahan mubarakah 100 pasangan, sebuah peristiwa besar dalam sejarah Hidayatullah yang hingga kini masih dikenang sebagai pernikahan massal berskala nasional. Setelah pernikahan, sebagian besar peserta ditugaskan ke berbagai daerah, namun Hasanuddin tetap melanjutkan pengabdiannya di Gunung Tembak.

Momentum berikutnya datang pada tahun 2000, setelah Musyawarah Nasional I Hidayatullah. Saat itu dibuka pendaftaran dai untuk penugasan ke Irian Jaya. Hasanuddin didaftarkan oleh sahabatnya, Al Djufri Muhammad, yang telah lebih dahulu bertugas di Papua.

Sejak saat itu, ia menjalani perjalanan dakwah panjang di tanah Papua, mulai dari Timika, Nabire, Merauke, Jayapura, hingga kembali lagi ke Timika, tempat ia bertugas hingga saat ini.

Pengalaman lebih dari 25 tahun menjalani amanah tersebut meninggalkan kesan mendalam baginya. “Tugas itu hanya berat di awalnya saja, kalau sudah dijalani maka akan nikmat dan berat untuk meninggalkannya,” katanya.

Pengalaman lintas wilayah dan dinamika umat di Papua semakin menguatkan proses perkaderannya, hingga kini ia dipercaya mengemban amanah sebagai Anggota Murabbi Wilayah di Papua Tengah.

Dalam refleksinya, Hasanuddin menegaskan bahwa keberhasilan dakwah tidak dapat dipisahkan dari kualitas ibadah dan kuatnya ikatan persaudaraan. Ia juga menekankan peran keluarga, khususnya istri, sebagai penopang utama dakwah.

Baginya, pasangan yang tertarbiyah dan memiliki idealisme sejalan merupakan faktor penting dalam menjaga konsistensi pengabdian.

“Seorang kader seharusnya selesai urusan ibadahnya, dan bagi yang sudah selesai ibadahnya, hendaknya meningkatkan profesionalitas kerja dalam setiap amanah,” pesannya menutup perbincangan.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

IMS Bersama Al Irsyad dan Indofest Global Hadirkan Layanan Kesehatan Darurat di Aceh Tamiang

ACEH (Hidayatullah.or.id) -- Setelah lebih dari satu bulan bergulat dengan dampak banjir dan longsor, warga Kampung Seumadam dan Kampung...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img