KEGAGALAN sebuah organisasi, baik itu organisasi kemasyrakatan, sosial, politik, ekonomi, maupun pendidikan, kerap kali disebabkan oleh sistem dan struktur internal yang menghambat kemajuan dan inovasi. Buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson yang terbit tahun 2012 itu menggambarkan bagaimana bangsa-bangsa gagal akibat institusi politik dan ekonomi yang eksklusif, yang menguntungkan segelintir elit tetapi menghambat partisipasi dan inklusivitas masyarakat luas.
Organisasi-organisasi Islam tersebut, mengalami tantangan besar dalam mempertahankan relevansi dan daya saing di tengah perubahan zaman. Banyak di antara organisasi-organisasi ini yang gagal bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena terjebak dalam pola pikir yang sama dengan apa yang terjadi pada Kekhalifahan Utsmaniyah, sebagaimana dikutip dalam Why Nations Fail..
Kegagalan yang Terstruktur: Pelajaran dari Sejarah
Salah satu poin kunci dalam Why Nations Fail adalah bahwa bangsa-bangsa yang gagal umumnya memiliki institusi yang tertutup, yang tidak memberi kesempatan kepada inovasi dan partisipasi masyarakat luas. Ketika kekuasaan terpusat pada segelintir elit, mereka sering kali membuat kebijakan yang menjaga status quo, meskipun itu merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks organisasi Islam, kita bisa melihat dinamika yang serupa. Banyak organisasi Islam yang awalnya dibangun dengan visi besar untuk kebangkitan umat, lambat laun mengalami deviasi tujuan dan selanjutnya mereduksi tujuannya dan akibatnya gagal mencapai tujuan mereka karena bergantung pada struktur kekuasaan yang eksklusif.
Jangan Mengulang Kesalahan
Pada awal abad ke-15, Johannes Gutenberg dari Jerman menciptakan mesin cetak yang merevolusi penyebaran pengetahuan di Eropa. Penemuan ini memungkinkan produksi buku dan segala jenis produk cetakan menjadi jauh lebih murah dan lebih cepat, sehingga ilmu pengetahuan dan ide-ide baru dapat tersebar dengan lebih luas. Mesin cetak ini menjadi salah satu faktor kunci dalam penyebaran Renaisans dan Reformasi di Eropa.
Namun, ketika teknologi mesin cetak ini ditawarkan kepada Kekhalifahan Utsmaniyah, mereka menolaknya. Pada tahun 1515, Sultan Bayezid II mengeluarkan dekrit yang melarang penggunaan mesin cetak di wilayah kekuasaan Utsmaniyah. Para ulama dan pemimpin agama pada waktu itu khawatir bahwa teknologi ini akan mengancam otoritas mereka, karena buku-buku dan teks-teks agama yang selama ini dikendalikan secara ketat oleh kalangan elit agama akan menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat luas. Dan bertahan pada tradisi semula, yaitu menyalin dengan menulis dengan tangan.
Alasan di balik penolakan ini adalah kekhawatiran bahwa dengan menyebarnya pengetahuan dan pemikiran baru melalui mesin cetak, kekuatan ulama yang memonopoli penafsiran teks agama akan terancam. Institusi-institusi yang ada pada saat itu tidak ingin mengubah status quo yang memberikan mereka kekuasaan dan kendali atas masyarakat.
Akibatnya, dilaranglah penggunaan mesin cetak di seluruh wilayah Kekhalifahan Utsmaniyah selama beberapa abad. Barulah pada awal abad ke-18, teknologi ini secara terbatas mulai diperbolehkan, itu pun untuk penerbitan non-Arab atau non-Islam. Kebijakan penolakan ini digambarkan dalam Why Nations Fail sebagai salah satu bentuk ketidakmampuan institusi-institusi Utsmaniyah untuk merangkul inovasi yang berpotensi meningkatkan produktivitas dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Penolakan tersebut pada akhirnya berkontribusi terhadap kemunduran Kekhalifahan Utsmaniyah di bandingkan dengan negara-negara Eropa yang semakin maju berkat adopsi teknologi dan ilmu pengetahuan baru.
Hal ini, menurut Acemoglu dan Robinson, adalah salah satu contoh dari bagaimana institusi-institusi ekstraktif bekerja untuk menghalangi inovasi demi mempertahankan kekuasaan segelintir elite.
Institusi yang Eksklusif: Penyebab Kemunduran
Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa negara yang gagal adalah negara yang institusi-institusinya dikuasai oleh segelintir elit yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri, bukannya kesejahteraan masyarakat luas. Dalam organisasi Islam modern, kita juga sering melihat pola yang sama. Pusat kekuasaan sering kali didominasi oleh figur-figur tertentu, sehingga organisasi tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Hal ini seringkali digambarkan dengan organisasi Islam yang sering kali gagal menciptakan sistem yang memungkinkan regenerasi pemimpin, atau memberikan ruang bagi pemikiran dan inovasi baru. Pemimpin-pemimpin senior yang diberi amanah selama bertahun-tahun, gagal mendidik atau memberdayakan pemimpin muda, dan akibatnya akan membawa organisasi ke arah stagnasi. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi juga berkontribusi pada kemunduran organisasi.
Menghadapi Tantangan Disrupsi: Antara Ancaman dan Peluang
Dalam era disrupsi teknologi, organisasi yang tidak mampu mengintegrasikan teknologi modern ke dalam operasionalnya akan tertinggal. Banyak organisasi Islam gagal memanfaatkan potensi teknologi untuk berdakwah, berorganisasi, atau mengelola sumber daya secara efisien. Seperti yang dikatakan dalam Why Nations Fail, terkait dengan penggunaan mesin cetak itu, padahal inovasi adalah kunci kemajuan, dan menolak teknologi tanpa reserve adalah resep kegagalan.
Di era digital ini, akses informasi terbuka lebar. Namun, banyak organisasi Islam masih terjebak dalam cara lama yang birokratis, menolak transformasi digital yang bisa membuat mereka lebih efektif. Mereka sering kali lambat dalam mengadopsi teknologi modern untuk keperluan dakwah, pendidikan, ekonomi dan termasuk dalam manajemen organisasi. Jika terus dibiarkan, ini akan memperlebar jurang antara organisasi Islam dan perkembangan global.
Solusi: Membangun Institusi Inklusif
Acemoglu dan Robinson menawarkan sebuah konsep solutif untuk mengatasi kegagalan, yaitu membangun institusi yang inklusif. Institusi inklusif adalah institusi yang memberi kesempatan kepada seluruh anggota untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan, inovasi, dan pengembangan. Dalam konteks organisasi Islam, ini berarti menciptakan organisasi yang terbuka terhadap ide-ide baru, mendorong partisipasi anggota, dan memastikan adanya mekanisme regenerasi kepemimpinan yang rapi dan tersistem.
Jika diuraikan lebih ditail, setidaknya dapat digambarkan sebagai berikut :
Pertama, Membengun dan Regenerasi Kepemimpinan Visioner: Salah satu langkah penting untuk menghindari kegagalan organisasi adalah dengan memastikan adanya regenerasi kepemimpinan yang sehat dan visioner. Organisasi Islam harus menyiapkan pemimpin muda yang memiliki visi ke depan, dengan tetap memperkuat basis jatidiri organisasi, serta memberikan ruang bagi mereka untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan. Regenerasi ini tidak boleh hanya menjadi formalitas, tetapi harus menjadi proses yang terstruktur dengan baik.
Kedua, Adopsi Teknologi: Organisasi Islam perlu bergerak cepat dalam mengadopsi teknologi. Platform digital harus menjadi bagian dari strategi organisasi untuk berdakwah, mengelola sumber daya, dan berinteraksi dengan anggota serta masyarakat luas. Transformasi digital ini akan memastikan bahwa organisasi tetap relevan di era disrupsi dan dapat menjangkau lebih banyak umat dengan lebih efisien.
Ketiga, Mekanisme Syura yang Aktif dan Berbasis Data: Prinsip syura (musyawarah) dalam Islam harus dijalankan dengan baik, bukan hanya sebagai formalitas. Syura harus menjadi ruang terbuka di dalam setiap pengambilan keputusan. Di mana ada mekanisme yang berjenjang bagi setiap anggota untuk dapat memberikan masukan. Sehingga keputusan yang diambil harus berbasis data dan pertimbangan yang matang, serta hasil mujahadah dan istikharoh peimpin, bukan sekadar bisikan dari lingkaran elit.
Keempat, Transparansi dan Akuntabilitas: Salah satu penyakit yang sering menggerogoti organisasi adalah ketidaktransparanan dan juga penyalahgunaan wewenang. Organisasi Islam harus membangun sistem yang transparan dan akuntabel, terutama dalam hal keuangan dan pengambilan keputusan. Ini akan membangun kepercayaan anggota terhadap organisasi dan juga bagi semua stakeholder organisasi, serta mencegah terjadinya kebocoran sumber daya.
Kelima, Menyelaraskan Identitas dengan Konteks Zaman: Organisasi Islam harus tetap teguh pada prinsip-prinsip ajaran, yang telah mengkristal dan dirumuskan dalam jatidirinya. Akan tetapi pada saat bersamaan juga mesti mampu beradaptasi dengan realitas zaman. Ini berarti tidak hanya berpegang pada tradisi tanpa mempertanyakan relevansinya dalam konteks saat ini, tetapi juga mencari cara untuk menerjemahkan nilai-nilai Islam dalam format yang relevan dengan tantangan kontemporer, dalam konteks kekinian dan kedisinian.
.
Penutup: Mengendarai Gelombang Inovasi
Dalam era disrupsi, organisasi Islam tidak bisa lagi berpegang pada cara-cara lama yang tertutup dan stagnan. Seperti yang digambarkan dalam Why Nations Fail, hanya organisasi yang inklusif, terbuka terhadap perubahan, dan berani mengadopsi teknologi yang akan bertahan dan berkembang. Jika tidak, organisasi akan tenggelam dalam stagnasi, kehilangan relevansi, dan pada akhirnya gagal ataupun mati.
Untuk tetap tangguh dan relevan, organisasi Islam harus kembali kepada prinsip-prinsip dasar Islam yang mendorong ta’awun (kerjasama), syura, serta akhlak mulia. Dengan mengadopsi model organisasi yang inklusif, transparan, dan berbasis teknologi, organisasi Islam akan mampu mengatasi tantangan zaman, dan lebih dekat pada tujuan besar mereka: menegakkan peradaban Islam di muka bumi.
Seperti halnya bangsa-bangsa yang gagal karena institusi eksklusif, organisasi Islam pun berpotensi gagal jika tidak segera melakukan pembaruan. Namun, dengan langkah-langkah strategis yang futuristik, organisasi Islam bisa mengendarai gelombang perubahan dan tetap berdiri kokoh menghadapi tantangan masa depan. Wallahu a’lam.
*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI) dan Ketua Bidang Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Dewan Pengurus Pisat (DPP) Hidayatullah