SUDAH menjadi adat antar bangsa jika ada pelarian politik (minta suaka politik) kepada suatu negara, maka negara itu tidak boleh menyerahkannya kepada negara yang menuntutnya. Sebab, pelarian politik tidak identik dengan orang jahat seperti koruptor.
Beberapa tokoh politik di negara-negara jiran, pernah meminta suaka kepada Kerajaan Saudi Ibnu Sa’ud saat itu. Menurut undang-undang antar bangsa, orang yang minta suaka politik tidak boleh diserahkan. Tetapi, bagi Ibnu Sa’ud ada yang lebih tinggi dari peraturan produk manusia, yaitu undang-undang yang inhern dengan fitrah manusia, ghirah (cemburu) beragama.
Bagi Bangsa Arab, betapa hinanya kalau muru’ah (harga diri) dilanggar. Namanya akan jatuh, karena memperoleh sanksi sosial (hukum tidak tertulis) dari komunitas Arab. Seorang yang meminta keselamatan, akan dilindungi sekalipun harus mengorbankan nyawa.
Dalam sejarah Iraq, pernah tercatat kisah Perdana Menteri Al Kailani, yang dikenal tokoh pro Jerman. Semasa ia menjadi Perdana Menteri, Kailani telah memproklamirkan perang kepada Inggris.
Padahal bantuan Jerman yang diharapkannya tidak kunjung datang. Kesudahannya, Inggris menghancurkan Iraq dibawah kepemimpinannya. Bandara Habbaniyah diduduki. Al Kailani kalah dan melarikan diri.
Secara rahasia, dia datang ke Riyadh dan meminta suaka pada Ibnu Saud. Sa’ud tidak menolak. Bagi Saud, menolak orang yang meminta jaminan adalah kehinaan. Sekalipun, berkali-kali utusan Iraq datang ke Riyadh untuk mendesak agar Al Kailani diserahkan.
Kasus serupa pernah juga terjadi di Suriah. Rezim Adib Syisyakli yang tidak didukung rakyat berakhir dengan kemenangan lawan politiknya, Hasyim Al Attasi. Adib Syisyakli terpaksa melarikan diri sebelum 12 peluru di tubuhnya dikeluarkan.
Dia meminta perlindungan kepada Riyadh. Setelah Ibnu Sa’ud mangkat, digantikan oleh putranya, Sa’ud, ia tetap teguh memegang tradisi ghirah (harga diri dan kebanggan) yang lebih kuat pengaruhnya dari masa ke masa.
Sultan Pasya Atrasyi, seorang pemimpin Suriah yang terkenal sebagai panglima laskar pembela Islam memberontak kekuasaan Prancis tahun 1925. Awalnya, ia setia kepada pemerintah penjajah. Ia tidak bisa berbuat banyak ketika Prancis menduduki tanah airnya. Tetapi, tahun 1925 ia mengambil sikap sebagai pemimpin pemberontak.
Pada suatu hari seorang pemimpin yang ekstrim dikejar-kejar penjajah Prancis, namanya Idham Khan Jar. Pada saat pencarian, sampailah ia di Jabal Druzz, kediaman Sultan Atrasyi untuk minta perlindungan.
Sayangnya, Sultan tidak di rumah. Hanya ada para khadam (pembantu) dan keluarganya. Tapi tentara Prancis tetap mengepung dan menangkap. Esoknya, Sultan gemetar mendengar kisah penghinaan harga diri itu. Baginya, sungguh malu seorang tamu ditangkap di rumah tuan rumah.
Sultan akhirnya mengirim surat permohonan kepada Prancis supaya tawanan itu dikembalikan. Sayangnya, suratnya hanya dibalas ejekan. Sultan akhirnya menulis surat selebaran kepada seluruh pengikutnya. Baginya, rasa malu menyerahkan tamu kepada penjajah tak bisa ditebus kecuali dengan nyawa.
Ia memulai selebaran dengan pepatah Arab, “An Naaru Al ‘Aaru” (api mesiu lebih baik daripada menanggung malu). Maka barangsiapa di antara para pengikutku yang masih memahami arti hidup, ghirah, muru’ah, malu, silakan bergabung bersama, memberontak penjajah Prancis.
Yang takut mati, tidak memiliki rasa cemburu (dayus), silakan hidup terus dengan berselimutkan kehinaan. Kehinaan identik dengan kematian, sekalipun secara fisik terlihat gagah. Dalam hitungan menit, berkumpullah beratus-ratus pahlawan lengkap dengan senjata.
Pemberontakan hebat akhirnya terjadi terhadap Prancis. Itulah pemberontakan paling seru dalam sejarah bangsa Arab setelah Perang Dunia I. Prancis mempertontonkan keganasan dan kekejaman tiada tara terhadap penduduk. Kota Damaskus sendiri dihujani dengan bom.
Karena kekuatan tak seimbang, Sultan akhirnya kalah. Namun baginya, kekalahan tidak menjadi masalah dibanding rasa malu dan kehormatan.
Setelah tidak ada perlawanan lagi, Sultan akhirnya mengundurkan diri ke padang pasir. Sampai tahun 1936, keluar pengampunan massal dari Prancis. Saat itu pula pemimpin-pemimpin yang dalam pengasingan muncul kembali di bumi Suriah.
Wanita, Ghirah, dan Agama
Ghirah dan muruah bukan saja milik umat Islam. Tetapi milik semua bangsa dan agama. Biasanya, ghirah dan harga diri dikenal berkaitan dengan cinta dan wanita. Namun ada juga yang berkaitan dengan agama.
Jika adik perempuan kita atau istri kita diganggu orang, lalu kita berbalik melawan, berarti dalam diri kita masih ada ghirah. Tetapi membiarkan orang lain meniduri istri kita, menunjukkan bahwa kita sudah kehilangan pegangan dan tuntunan agama.
Dalam catatan sejarah, disamping penjajah merampas hasil rempah-rempah kita, juga mengusung program misionarisasi. Program yang selalu diangkat oleh penasehat pemerintah Belanda Snouck Hurgronje atau dikenal dengan nama Abdul Ghafur Al-Holandi adalah ciptakan tasykik (keraguan), tasybih (salah paham) dan taghrib (pembaratan) terhadap Islam.
Dalam kitab “Tajul Muluk” (mahkota para Sultan), sebelum Indonesia berdiri, pendahulu kita telah mewariskan kepada bumi pertiwi ini kultur bernegara (civic culture), persatuan, sosial kontrol dan spirit jihad. Warisan terakhir inilah yang mengantarkan rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajah.
Kata Bung Tomo, tak ada ruh tanpa ada suara takbir. Ia, bahkan mungkin kehilangan inspirasi untuk menggerakkan arek-arek Suroboyo berjihad dengan bambu runcing untuk melawan penjajah.
Akhir-akhir ini Barat dengan berbagai cara yang canggih berupaya menghilangkan ghirah umat Islam melalui; makanan, pakaian, hiburan, olah raga dan pemikiran.
Sehingga, sekalipun banyak umat Islam yang memakai atribut Islam, tetapi pikiran dan jiwa Islam telah mulai terkubur. Apa yang kita pikir dan apa yang kita kerjakan adalah sekedar tiruan-tiruan mereka.
Pada zaman klasik, sekalipun secara fisik penjajah mengeruk kekayaan alam kita, tetapi mereka berfikir seribu kali untuk memasuki wilayah-wilayah keagamaan yang sangat personal.
Sekarang, berfikir bebas, melecehkan al-Qur’an, menghina Nabi, menafsirkan seenaknya ayat-ayat, menuduh para ulama salaf dan menghina ulama, seolah menjadi kebanggan kaum akademis. Tak perlu jauh-jauh orang asing atau orientalis. Bahkan itu dilakukan orang-orang yang mengaku cendekiawan Muslim sendiri.
Jika agama dilecehkan, kemudian kita diam seribu bahasa, pasif, dan tidak bereaksi, berarti alamat ghirah dan muruah dalam diri seseorang sudah hilang. Hidup yang kehilangan ghirah dan muruah, sama dengan kematian.
Tanpa ghirah, beragama menjadi kosong, kering, tidak berefek pada perubahan pola pikir dan kepribadian. Dan jika ghirah telah hilang, indikator kita menyediakan diri untuk dijajah.
Seharusnya dengan ghirah dan muruah, kita tidak mungkin bisa terkalahkan. Karena kening kita hanya bersedia ditundukkan kepada Zat Yang Maha Perkasa */Ust. Shalih Hasyim