Surat kabar kini tidak bisa lagi menempatkan diri sebagai sumber berita utama, tercepat dan akurat dalam pengertian media cetak semata karena lahirnya era digital. Media cetak harus menempatkan berita-beritanya di dunia online jika ingin tetap eksis.
Buku-buku tidak lagi harus membeli hardcover karena sudah banyak yang berbentuk e-book. Sehingga tidak memerlukan ruang perpustakaan yang luas dan rak-rak buku yang banyak, cukup pengadaan beberapa laptop atau netbook.
Ada kekhawatiran usaha penerbitan dan percetakan di era digital ini. Masyarakat terutama generasi muda membutuhkan efesiensi, kecepatan dan kenyamanan dalam memburu berita, informasi dan ilmu pengetahuan. Digital menawarkan kecepatan luar biasa dibandingkan media cetak sebelumnya.
“Untuk menurunkan berita, kita tidak bisa menunggunya sampai besok. Karena media online lainnya sudah menurunkan beritanya detik demi detik. Sedangkan yang disiarkan pada versi cetak, bisa berita-berita terakhir,” kata GM Kompas Multimedia Eddy Taslim.
Dunia maya dengan internet dan digitalnya adalah medium baru di era baru. Sehingga memberikan dampak baru juga karena ada kegamangan atau kekagetan terutama bagi mereka yang tidak siap dengan temuan tersebut.
Ada kekhawatiran orang tua tentang keamanan dan keselamatan anak-anak mereka yang menghabiskan waktunya begitu banyak untuk online. Ini sangat sesuai dengan penelitian bahwa generasi muda di seluruh dunia menghabiskan peningkatan jumlah waktu luang mereka yang terhubung ke dunia maya yaitu Internet.
Kekhawatiran tersebut wajar tentang anak-anak ketika mereka sendirian online. Sebab dunia maya yang mereka masuki sangat luas dan misterius. Ada bahaya yang mengintai mereka dengan risiko keamanan, baik di dunia maya atau ruang nyata.
Secara psikologis yang bisa datang dari ekspos pada gambar berbahaya atau dari memiliki pengalaman merusak secara online. Menjadikan sikap pragmatisme dan individualisme. Belum lagi terhantui oleh kejahatan cyber crime di internet, walaupun ini jarang terjadi.
Ada kesenjangan teknologi yang tidak perlu tapi itu yang terjadi antara kaum muda dan banyak orangtua dan guru mereka. Hasil kongkritnya dari kesenjangan ini adalah bahwa kita anak-anak terlalu sering dalam bahaya di lingkungan di mana beberapa dari mereka yang rawan menjadi korban teknologi, seperti bercakap-cakap dengan orang asing mereka tidak pernah berbicara dalam “ruang nyata” kesenjangan ini.
Tidak ada lagi sekat dinding yang membatasi dunia Barat dan Timur, semua orang dipermudah untuk menjalin komunikasi dan relasi dengan semua orang di penjuru dunia dengan tanpa visa dan pasport.
Kemudian melahirkan dan memperkuat rasa takut teknologi baru, bukannya mendorong langkah positif untuk mengetahui bagaimana untuk hidup kita bersama-sama di era digital. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi keamanan online.
Daripada otomatis mencari untuk melarang teknologi, kita harus berfokus pada akar penyebab masalah dengan mempertajam pada sumber efek kerawanan online dan memerangi bentuk-bentuk paling ekstrim dari secara langsung dengan memberikan pencerahan dan pengawalan ketat.
Kita perlu membantu generasi muda memahami garis antara kegiatan yang merupakan bagian dari eksperimen sehat dan kegiatan yang merupakan perilaku berisiko, seperti orang tua telah dilakukan untuk anak-anak mereka sejak dini. Kita perlu memahami bagaimana menafsirkan isyarat sosial online untuk menjaga satu sama lain aman.
Generasi muda di negara berkembang dengan tingkat intelektualitas dan kreatifitas rendah memang menjadi pangsa pasar utama perkembangan tehnologi. Secara ideologis, kita selalu curiga dan waspada bahwa ini adalah bagian dari konspirasi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan generasi muda Islam.
Kalau kecurigaan itu benar maka harus ada keharusan untuk menguasai teknologi digital. Sebab strategi perang yang paling canggih adalah menguasai senjata musuh. Sehingga mempelajari untuk menguasai kelebihan dan kekurangan senjata musuh adalah keharusan untuk selalu tidak menjadi korban.
Kalau kecurigaan tersebut tidak benar maka tuntutan untuk menguasai teknologi digital juga menjadi keharusan. Karena bisa menjadi sarana dakwah dan tarbiyah yang mempermudah masyarakat memahami Islam ini dengan baik dan benar.
Era digital harus melahirkan generasi digital yang kuat mental, intelektual dan spritualnya. Sebab jika tidak mampu berperan dan menguasai digital maka akan terpental dari kancah percaturan dunia dengan hanya bisa meratapi nasib, menjadi penonton dan selanjutkan menunggu menjadi korban berikutnya. Wallahu a’lam bish shawwab
[Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur]