AdvertisementAdvertisement

Ngopi Ngobrol Siang-Siang, Neno Warisman Paparkan Gagasan ‘Galaksi Kebudayaan’

Content Partner

Tenaga Ahli Menteri Kebudayaan RI, Neno Warisman (Foto: Muhammad Ayyash/ Hidayatullah.or.id)

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dalam suasana santai, Pusat Dakwah Hidayatullah Jakarta menjadi tempat pertemuan ide tentang masa depan kebudayaan Indonesia, Selasa, 1 Zulkaidah 1446 (29/4/2025).

Dalam acara bertajuk Ngopi-Ngobrol Siang-Siang, Neno Warisman—Tenaga Ahli Menteri Kebudayaan RI—menghadirkan perspektif segar tentang budaya, pendidikan, dan masa depan masyarakat dari titik tolak yang bersahaja yaitu masjid dan sanggar.

Neno Warisman, dengan gayanya yang hangat, memulai percakapan dengan pengalaman pribadinya sebagai seorang ibu.

Dia menggarisbawahi dimensi kultural yang kerap terabaikan, dimana rumah tangga dan pendidikan anak adalah titik mula dari segala peradaban.

“Sebagai ibu yang concern di parenting, saya terharu melihat peran Hidayatullah dalam pendidikan anak,” ungkapnya, sembari mengenang kontribusi monumental pendiri Hidayatullah, Ustaz Abdullah Said, dalam membangun sistem pendidikan berbasis nilai-nilai keislaman.

Dari Masjid hingga Galaksi Budaya

Meski baru tiga bulan menjabat, Neno telah memiliki gagasan besar dan ambisius yang ia sebut sebagai “galaksi kebudayaan”.

Bagi Neno, budaya tidak bisa hanya dilihat sebagai benda mati yang dipamerkan di panggung pertunjukan atau museum. Budaya, tegas dia, adalah sesuatu yang hidup—bernapas dan berdialog dengan masyarakatnya.

Dia mengemukakan inti dari visinya yaitu membangun ekosistem budaya yang terhubung, hidup, dan tumbuh dari bawah.

“Kita bisa bentuk galaksi kebudayaan. Mulai dari masjid seperti Jogokariyan yang jadi pusat peradaban, sampai sanggar hadrah kecil di kampung-kampung,” katanya.

Dalam pengamatan Neno, Masjid Jogokariyan adalah contoh konkret dari pusat peradaban yang organik. Ia bukan hanya tempat ibadah, melainkan living culture—tempat di mana nilai, tradisi, dan kebaruan bertemu dalam praksis sehari-hari.

Di sisi lain, sanggar hadrah kecil di pelosok negeri pun tak kalah penting. Ia menyebutnya sebagai cultural enclave—kantung budaya yang bisa menjadi titik tumbuh kebudayaan lokal jika didukung dan diberdayakan.

“Hidayatullah punya jaringan kuat untuk menyambungkan ini semua. Pemerintah siap mendukung,” tegas Neno, menandai keinginan negara untuk hadir secara kolaboratif.

Pemerintah, ungkap dia, mesti datang untuk merajut dan memperkuat jaringan yang sudah tumbuh dari masyarakat.

Salah satu bagian penting dalam pernyataan Neno adalah soal peran masing-masing elemen masyarakat. Ia tidak menawarkan solusi satu arah dari negara ke rakyat, melainkan distribusi tanggung jawab yang seimbang.

Dalam hal ini, orang tua diharap menjadikan rumah sebagai kantong budaya pertama—ruang di mana nilai, estetika, dan identitas ditanamkan sejak dini.

Kemudian, komunitas komunitas yang ada didorong untuk mengembangkan potensi lokal dengan sinergi bersama pemerintah.

Dan, tak ketinggalan, pemuda diajak menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi, antara warisan budaya dan kreativitas kekinian.

Poin-poin ini menurutnya merefleksikan pendekatan partisipatif dalam pembangunan budaya dimana budaya bukan produk elit atau birokrasi tetapi sebagai milik bersama dan hidup dalam tindakan kolektif.

Acara Ngopi-Ngobrol Siang-Siang ini ditutup Neno dengan menekankan galaksi kebudayaan yang digagasnya yang baginya budaya merupakan nafas peradaban yang bisa kita hidupkan bersama.*/

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Ekonomi dan Ideologi dalam Secangkir Kopi

DALAM perjalanan dari Yogyakarta menuju Makassar hari ini, saya mengalami dua pengalaman ngopi yang sangat berbeda—bukan hanya dari harga,...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img