AdvertisementAdvertisement

Pasca Tsunami Jadi Titik Balik Dakwah di Aceh

Content Partner

Penulis bersama pengurus Hidayatullah Aceh Besar / Dok. Hidayatullah.or.id

TENGKU Mahyeddin Husra bercerita bahwa sebelum terjadinya tsunami, tidak pernah membayangkan ada kehidupan di Aceh yang lebih baik seperti sekarang. Sebab kehidupan di Aceh sebelum tsunami, masyarakat senantiasa diliputi rasa ketakutan.

Mantan Ketua DPW Hidayatullah Aceh periode 2015-2020 itu menceritakan, kala itu diterapkan pemberlakuan jam malam dengan setiap pukul 18.00 sore atau sore mulai gelap. Jam tersebut tidak boleh ada yang keluar rumah, jika berani keluar rumah maka resikonya ditangkap oleh tentara.

Di sebagian daerah Aceh tertentu, tidak mengenal tempat dan waktu ada teror kepada masyarakat. Pertikaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tentara yang menjadi korban adalah msyarakat. Hampir setiap hari ada saja orang meninggal misterius dengan luka tembak, ada juga penjemputan paksa dan ketika dijemput maka kemungkinan besar pulang tinggal nama atau hilang, entah dibunuh dimana?

Kondisi ekonomi tidak terbangun dengan baik, fasilitas umum terbatas karena tidak ada rasa aman untuk beraktifitas. Apalagi sektor pendidikan dan dakwah, sangat tidak kondusif. Sekolah sering tutup daripada belajarnya, karena kondisi keamanan yang tidak memungkinkan.

Dakwah Hidayatullah sebelum tsunami hanya ada yaitu di Aceh Besar dan Aceh Utara, itupun kondisinya masih memperihatinkan dengan kegiatan pendidikan apa adanya. Kesulitan untuk membangun sarana prasarana dan mengembangkan cabang.

Kerusakan Akibat Tsunami

Allah mengirimkan bencana tsunami, entah sebagai peringatan, musibah atau adzab, sebagai orang beriman menyikapinya dengan hikmah dan prasangka baik. Apapun yang terjadi bisa mengambil kebaikan dan medapatkan berkah.

Tsunami yang secara fisik merusak alam kehidupan sebagian besar tanah Aceh, menelan korban ratusan ribu nyawa hilang, bangunan banyak yang hancur rata tanah, pohon-pemohonan bertumbangan hingga akar-akarnya.

Sekira 85 % infrastruktur di Aceh rusak berat, 3000 km jalanan rusak dan 3000 hektar tanah terendam. Belum lagi pemukiman di pinggir pantai dan markas tentara juga tidak ada yang tersisa.

Kerusakan yang luar biasa, tidak terhitung kerugian yang terjadi pada akhir tahun 2005, 17 tahun lalu. kapal yang beratnya ratusan ton bisa bergeser 4 kilometer dan menjadi saksi bisu di tengah kota Banda Aceh. Museum tsunami mengabdikan peristiwa tersebut untuk menjadi pelajaran generasi berikutnya.

Satu sisi, bencana tsunami membuka mata dunia dengan hadir relawan dari hampir seluruh dunia ke Aceh. Semua bersatu padu untuk memulihkan kehdupan masyarakat Aceh. Lebih strategisnya lagi adalah berakhirnya pertikaian GAM dan tentara dengan perjanjian yang disepakati pada delapan bulan pasca tsunami.

Pasca Tsunami

Pemulihan Aceh pasca tsunami mendapatkan perhatian dari pemerintah dan seluruh lapisan dunia. Datang relawan kesehatan, relawan pendidikan, relawan pertukangan dari dalam dan luar negeri.

Bantuan makanan untuk kebutuhan masyarakat korban tsunami juga melimpah seperti beras, mie, minyak goreng, garam, gula, susu dan biskuit. Alat-alat masak dan pelengkapan tidur juga datang bergelombang ke Aceh.

Relawan kemanusian bergerak turun ke jalan-jalan mencari korban tsunami. Sirene kendaraan tidak berhenti berbunyi pertanda ribuan jenazah dibawa ke pemakaman masaal. Sebagian korban tidak bisa diangkat karena tertimbun bangunan, sulit dievaluasi, bau mayat mulai menyengat dan banyak ditemukan potongan anggota tubuh korban tsunami di mana-mana. Luas pemakaman massal ada 4 hektar lebih, dengan 46 ribu libu jasad yang dikuburkan.

Ada percepatan yang luar biasa untuk membangun infrastruktur, pemulihan ekonomi juga cepat, pendidikan dan dakwah juga mulai menggeliat dalam kurun waktu yang tidak lama.

Rumah ada 14 ribu lebih, 1.700 sekolah juga hancur, 1000 kantor pemerintahan terbangun. Banyak pembangunan dilakukan secara tepat agar masyarakat kembali ke rumah dan keluar dari kamp-kamp pengungsian. Roda ekonomi dan pemerintahan diharapkan bisa cepat pulih.

Perkembangan Hidayatullah Aceh

Pasca tsunami, sebagian besar masyarakat Aceh mengalami trauma berat, baik korban maupun mereka yang kehilangan keluarganya. Hidayatullah mengambil peran dan kampusnya di Aceh besar menjadi salah satu posko tsunami, membuka truma helling untuk mendampingi dan melatih korban tsunami agar melepaskan diri dari rasa cemas, takut, panik karena khawatir tsunami akn datang lagi.

Salah satu keberkahan tsunami di Aceh adalah terbukanya komunikasi dengan semua pihak dan keamanan yang relatif kondusif. Sekarang Hidayatullah mendapatkan relasi untuk mendaptkan tanah wakaf ataupun diberikan tanah untuk dikelola.

Hidayatullah bisa mengembangkan cabang di beberapa daerah pasca tsunmi. Diantaranya Aceh Barat, Aceh Tenggara, Pulau Semelu, Loksumawe, Aceh Tengah, Benar Maria, Bireun, Banda Aceh, Aceh Singkil, Aceh Pidie. Meski sebagian saja masih punya kampus dan amal usaha yang memadai.

Hidayatullah di Aceh Barat mendapatkan pembebasan tanah yang cukup luas dan letak yang strategis. Sekarang telah berdiri mushola yang lumayan kokoh, ada santri-santri TPA dari masyarakat sekitar yang mengaji sekitar 70 anak. Dikomandani oleh Ustadz Iskandar, Ustadz Nasrul dan Ustadz Nasrah Arsyad yang ketiganya anak asli Aceh.

Hidayatullah Paroy juga demikian, mendapatkan tanah dan bantuan bangunan asrama, ruang kelas beberapa lokal. Sebelumnya untuk menampung anak-anak korban tsunami, namun satu persatu mereka kembali dan diambil oleh keluarganya setelah dibangunkan rumah-rumah.

Sekarang Hidayatullah Paroy, dikhususkan untuk pesantren penghafal al-Qur’an putra. Pengelolanya ada ustadz Jaelani, Ustadz Haris, Ustadz Ali dan ustadz-ustadz yang lain.

Masih banyak lagi DPD dan kampus Aceh yang penulis belum sempat kunjungi. Terkait jarak yang berjauhan dan waktu yang terbatas untuk bisa silaturahim kepade mereka.

Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wasekjen DPP Hidayatullah. Ditulis disela kegiatan asesmen DPW Hidayatullah Aceh.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img