STRATEGI dalam upaya meningkatkan mutu diri memiliki makna rencana, yakni bagaimana menyusun program untuk mengubah kebiasaan berpikir tidak produktif menjadi produktif. Kebiasaan malas menjadi rajin.
Rajin mengandung arti sangat luas, tergantung sejauh mana kita memaknai nilai kehidupan. Ini amat terkait pula dengan visi hidup kita.
Apa visi hidup dalam pandangan seorang Mukmin dan siapakah yang patut dicontoh dalam membentuk visi hidup tersebut? Jawabnya, tentu saja visi hidup sang idola kita, yaitu Nabiullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).
Pertanyaan selanjutnya, apakah mungkin kita mampu mengadopsi visi sang manusia agung tersebut? Dari sisi visi secara umum, yaitu menjadi manusia yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), tentu saja kita bisa.
Nah, mari kita urai bagaimana strategi mencapai ridha Allah SWT dalam kehidupan nyata. Kita telah mendengar, melihat, dan memahami realitas kehidupan umat Islam saat ini bahwa kebanyakan umat Islam di negeri ini bodoh dan miskin. Kedua hal itu bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisah. Kebodohan melahirkan kemiskinan, begitu pula sebaliknya.
Lantas, bagaimana strategi kita mengubah realitas tersebut agar umat Islam bangkit menjadi kaum yang lebih bermartabat? Marilah kita jawab pertanyaan tersebut dengan pola sebagaimana al-Qur`an diturunkan.
Menurut manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW), untuk menyadarkan individu dan masyarakat agar mampu berubah dan bisa menjadi ”agen perubahan” diperlukan kesadaran menatap posisi dirinya sendiri. Apakah selama ini kita hanya sebagai pengikut atau pemimpin?
Jika posisi kita sebagai pengikut maka segeralah ganti posisi itu. Kita harus menjadi manusia pemimpin, bukan pengikut. Kita harus mampu bersaing dalam semua aspek kehidupan.
Lalu, kapankah manusia tersentuh kesadarannya untuk bangkit bersaksi bahwa dirinya adalah seorang pemimpin?
Fakta sejarah menunjukkan, Nabi Muhammad SAW mulai bangkit bersaksi bahwa dirinya adalah pemimpin umat tatkala wahyu pertama turun. Iqra’, bacalah, renungkanlah, analisislah, dan simpulkanlah!
Apa yang dibaca, direnungkan, dianalisis, dan disimpulkan? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh orang yang memiliki visi hidup seperti Nabiullah Muhammad SAW.
Berat sekali. Pasti berat. Sebab, seorang pemimpin dituntut mampu mengarahkan dirinya dan umat menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Bertolak dari pemikiran inilah Hidayatullah mengajak semua lapisan masyarakat untuk bangkit menuju posisi memimpin. Tentu saja, mewujudkan visi memimpin ini tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu direncanakan dan diperjuangkan secara bertahap, dimulai dari diri sendiri,
Kunci agar kita bisa mampu bersaing dalam hidup adalah iqra’, yaitu membaca dalam arti seluas-luasnya. Secara sempit membaca dapat diartikan belajar sesuai jenjang pendidikan formal. Ini akan mengantar kita berpikir sistematis dalam perspektif kognitif. Adapun aspek afektif dapat diperoleh melalui rumah tangga sebagai inti dari pendidikan, sekolah, dan masyarakat.
Sudahkah rumah tangga kita menjadi lembaga pendidikan yang efektif untuk mengantar diri dan keluarga menjadi agen perubahan? Jika belum maka mimpi menjadi pemimpin tidak akan terwujud.
Oleh karena itu, kita harus sadar untuk senantiasa belajar. Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang kubur. Begitulah pesan Rasululah SAW.*
__________________
Dr. H. Abdul Mannan, SE, MM, penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Hidayatullah. Artikel ini juga telah dimuat di majalah nasional Suara Hidayatullah edisi Januari 2009.