PADA Kamis malam (28/11/2024), saya berkesempatan berbincang daring bersama tiga guru dan seorang pengusaha, menggali makna mendalam dari perintah pertama dalam Islam, Iqra’ Bismirabbik.
Tak hanya tekstual, perintah ini mengajak umat manusia untuk membaca kehidupan dengan perspektif mukmin, yaitu mengaitkan ilmu dengan iman dan amal dengan merefleksi esensi Islam sebagai agama yang mengintegrasikan pengetahuan, spiritualitas, dan tindakan nyata.
Perintah Iqra’ pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam masa awal kenabian di Makkah, sebuah kota yang pada saat itu jauh dari peradaban besar seperti Romawi dan Persia.
Wahyu ini hadir bukan untuk mengadopsi pola pikir bangsa-bangsa besar ketika itu, tetapi untuk memperkenalkan paradigma baru yang menghubungkan ilmu dengan iman.
Dalam kerangka tersebut, perintah iqra’ bukan sekadar membaca dalam pengertian teknis, tetapi membaca dengan penuh kesadaran akan kebesaran Allah SWT, Sang Pencipta.
Sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Syamsuddin Arif dalam bukunya Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, epistemologi Islam menekankan cara berpikir yang tulus, jujur, dan lurus berdasarkan iman. Cara berpikir ini berbeda dengan pola pikir diabolik, yang menurutnya diwakili oleh Iblis, yang memahami tanpa mengimani, dan mengetahui tanpa mengamalkan. Dalam diskusi malam itu, pandangan ini menjadi fondasi untuk memahami Iqra’ sebagai ajakan intelektual dan spiritual sekaligus.
Salah satu poin penting dalam diskusi adalah penekanan pada pengamalan ilmu. Indra Azhar Ahmad, seorang pengusaha yang turut serta, menekankan dengan mengajukan pertanyaan, apa yang sudah kita baca, dan bagaimana bisa kita amalkan? Jangan sampai banyak membaca tetapi tak ada niat untuk mengamalkannya.
Islam menekankan keterpaduan antara ilmu dan amal. Dalam Al-Quran, banyak ayat yang menyebutkan “orang-orang yang beriman dan beramal saleh,” menegaskan bahwa keimanan yang tidak disertai amal akan kehilangan substansinya. Amal yang berdasarkan ilmu juga menjamin bahwa tindakan yang dilakukan memiliki landasan yang benar.
Infantri, seorang guru yang hadir dalam diskusi, berbagi pengalaman pribadinya. “Saya membaca buku dan mencoba mengubah perilaku dari hal-hal kecil. Itu cara saya menjadikan diri lebih bermanfaat,” katanya.
Dia mencontohkan bagaimana perubahan kecil, yang dilakukan secara konsisten, dapat membawa dampak besar dalam hidup dan lingkungan sekitar.
Apa yang dikemukakan Infantri selaras dengan konsep tazkiyah dalam Islam, yaitu proses penyucian jiwa yang dilakukan melalui perbaikan diri secara terus-menerus.
Maka, membaca, dalam hal ini, bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi menjadi sarana introspeksi diri. Setiap informasi yang diperoleh dari bacaan harus mendorong seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih peduli terhadap orang lain.
Irham, guru lain yang turut berbicara, menambahkan, iqra’ itu membaca dengan target pengamalan. Membaca yang baik seharusnya mendorong diri untuk beramal. Perspektif Irham ini menegaskan bahwa membaca dengan nama Tuhan (bismirabbik) tidak hanya bertujuan untuk menambah wawasan, tetapi untuk memotivasi perubahan diri dan perbaikan masyarakat.
Membangun Peradaban Berbasis Iqra’
Diskusi malam itu menegaskan bahwa Iqra’ adalah fondasi bagi pembangunan peradaban. Sebuah peradaban yang berlandaskan Islam tidak hanya mengagungkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadikan ilmu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membangun masyarakat yang lebih baik.
Dalam tradisi Islam, kontribusi ilmu terhadap peradaban terlihat nyata, misalnya dalam kontribusi ulama klasik seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Khawarizmi. Mereka membaca dan memahami dunia melalui kacamata iman, menjadikan ilmu mereka bermanfaat bagi umat manusia.
Sejalan dengan itu, Iqra’ Bismirabbik adalah ajakan untuk membaca dengan kesadaran bahwa ilmu adalah amanah. Ilmu bukan sekadar untuk memuaskan rasa ingin tahu, tetapi untuk memberikan manfaat bagi kehidupan. Proses ini dimulai dengan niat yang benar, berlanjut dengan pengumpulan pengetahuan, dan diakhiri dengan pengamalan yang nyata.
Pesan dalam perintah iqra’ bismirabbik memiliki relevansi yang universal. Dalam masyarakat modern yang sering kali terjebak dalam dualisme antara agama dan ilmu, Iqra’ mengajarkan integrasi.
Agama tidak anti terhadap ilmu, tetapi justru menjadikan ilmu sebagai pilar untuk membangun individu dan masyarakat yang unggul. Dengan semangat Iqra’ inilah, manusia dapat mencapai keseimbangan antara aspek intelektual, spiritual, dan sosial.
Membaca dengan niat yang benar, sebagai mukmin, berarti menghubungkan ilmu dengan pengamalan, menjadikannya bagian dari perjalanan menuju keridhaan Allah.
Melalui iqra’ bismirabbik, manusia diajak untuk menjadi lebih baik, menyerap ilmu, dan meneguhkan kontribusi dalam membangun peradaban yang berakar pada iman dan bertujuan pada kemaslahatan dunia dan akhirat.[]
*) Imam Nawawi, penulis adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)