AdvertisementAdvertisement

Tunjangan Hari Raya dan “Tunjangan” Istimewa dari Allah

Content Partner

SETIAP menjelang Hari Raya Idulfitri, pembahasan mengenai Tunjangan Hari Raya (THR) selalu menjadi topik yang ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat kita.

Kebijakan pemberian THR, yang baru saja diumumkan oleh presiden kemarin sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mendukung kesejahteraan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pekerja sektor swasta, selalu menjadi simbol kebahagiaan material yang dinanti-nantikan.

Kita turut bersyukur atas ditekennya kebijakan THR tersebut yang akan digunakan penerima untuk memenuhi kebutuhan hari raya mereka, mulai dari membeli pakaian baru, menyediakan hidangan istimewa, hingga berbagi dengan keluarga.

Namun, di tengah euforia tersebut, sesungguhnya ada “tunjangan” yang jauh lebih istimewa yang patut kita renungkan, yakni janji Allah kepada hamba-Nya yang berpuasa dengan benar dan bertakwa, sebagaimana dijanjikan dalam Al-Qur’an, khususnya pada Surah At-Talaq ayat 2-4.

THR, sebagai bentuk tunjangan finansial, mencerminkan upaya manusia untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Pengumuman presiden mengenai THR tahun ini, seperti biasa, disambut dengan beragam reaksi: ada yang bersyukur karena tambahan dana tersebut membantu meringankan beban hidup, ada pula yang merasa jumlahnya belum memadai di tengah inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Fenomena ini dapat dilihat sebagai cerminan dinamika hubungan antara negara, pekerja, dan pengusaha dalam sistem kapitalisme modern. THR menjadi alat untuk menjaga stabilitas sosial, sekaligus menunjukkan bagaimana kebijakan publik dapat memengaruhi persepsi keadilan di masyarakat.

Namun, jika kita telisik lebih dalam, THR hanyalah salah satu wujud rezeki sementara yang terikat pada dunia material. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini mengajak kita untuk tidak terjebak pada euforia sesaat semata, melainkan melihat makna yang lebih luas dari setiap pemberian yang kita terima, termasuk THR.

Dalam kerangka ini, ramainya pembahasan THR dapat menjadi titik awal untuk merefleksikan hakikat rezeki dan bagaimana kita menyikapinya sebagai bagian dari perjalanan menuju ketakwaan.

“Tunjangan” Istimewa dari Allah

Berbeda dengan THR yang bersifat temporal dan terukur, Allah SWT menawarkan “tunjangan” yang jauh lebih agung kepada orang-orang yang bertakwa, sebagaimana tertuang dalam Surah At-Talaq ayat 2-4. Allah berfirman:

“…Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya…” (QS. At-Talaq: 2-3).

“…Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya…” (QS. At-Talaq: 4).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa “tunjangan” dari Allah bukan sekadar materi, melainkan jaminan holistik yang mencakup solusi atas masalah, rezeki tak terduga, kecukupan, dan kemudahan dalam segala urusan.

Jika THR dari pemerintah atau perusahaan terbatas pada nominal tertentu dan hanya diberikan setahun sekali, “tunjangan” dari Allah bersifat abadi, tidak terikat waktu, dan tidak terbatas jumlahnya. Yang menjadi syarat utamanya adalah ketakwaan, yaitu kesadaran penuh untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas dan benar.

Puasa Ramadhan, yang menjadi gerbang menuju Idulfitri, sejatinya adalah latihan spiritual untuk mencapai derajat takwa. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 183: “…supaya kamu bertakwa.” Ketakwaan inilah yang menjadi kunci untuk menerima “tunjangan” istimewa dari Allah.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa puasa yang dilakukan dengan kesadaran dan keikhlasan akan menghantarkan seseorang pada kebersihan jiwa, yang menjadi prasyarat utama ketakwaan.

Menyeimbangkan Duniawi dan Ukhrawi

Ramainya pembahasan THR jangan sampai membuat kita lupa bahwa ada “tunjangan” yang lebih besar yang telah Allah siapkan. Ketika kita sibuk menghitung nominal THR dan merencanakan pengeluaran untuk hari raya, kita diajak untuk sejenak berhenti dan bertanya:

Apakah puasa kita selama Ramadhan telah membawa kita lebih dekat kepada ketakwaan? Apakah kita telah memenuhi syarat untuk menerima janji Allah dalam At-Talaq ayat 2-4?

Refleksi ini penting karena, sebagaimana THR duniawi dapat habis dalam sekejap, hanya ketakwaanlah yang akan menjadi bekal abadi di hadapan Allah. Kita dapat melihat bahwa “tunjangan” dari Allah ini mencerminkan konsep rezeki yang holistik dalam Islam.

Rezeki tidak hanya diukur dari harta, tetapi juga dari ketenangan hati, kemudahan hidup, dan penyelesaian masalah—hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang.

Studi tafsir seperti yang dilakukan oleh Ibnu Katsir menegaskan bahwa ayat-ayat dalam Surah At-Talaq adalah bukti kasih sayang Allah yang tak terbatas kepada hamba-Nya yang bertakwa. Ini adalah undangan bagi kita untuk melihat Hari Raya tidak hanya sebagai perayaan duniawi, tetapi juga sebagai momentum kembali kepada fitrah dan meraih predikat takwa.

Di tengah gegap gempita menyambut THR dari pemerintah atau perusahaan, marilah kita juga berbahagia dan gembira menyambut “tunjangan” hari raya dari Allah berupa kembali kepada fitrah. Idulfitri adalah puncak dari perjuangan spiritual selama Ramadhan, di mana kita berharap menjadi hamba yang lebih bersih dan bertakwa.

Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebut dalam At-Talaq ayat 2-4, yang mendapatkan jalan keluar dari setiap masalah, rezeki dari arah tak terduga, kecukupan dalam segala hal, dan kemudahan dalam setiap urusan.

Dengan demikian, kebahagiaan Hari Raya tidak hanya terletak pada THR yang kita terima secara materiil, tetapi pada “tunjangan” abadi dari Allah yang jauh lebih mulia dan kekal. Wallahu a’lam bisshawab.

Reporter: Abu Muhammad
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Maksiat Korupsi dan Refleksi Ramadhan untuk Penyucian Jiwa Bangsa

KORUPSI adalah luka menganga dalam tubuh bangsa, sebuah maksiat yang tidak hanya merugikan individu, tetapi juga umat, bangsa, dan...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img