AdvertisementAdvertisement

Tempaan Tugas Menguatkan Keyakinan Ustadz Nawir di Jalan Dakwah

Content Partner

Penulis bersama Ust. Muhammad Nawir / Foto. dok. Hidayatullah.or.id

“KETIKA Nafsu Berkuasa”, itulah judul majalah Suara Hidayatullah yang menyentakkan pikiran dan hati Muhammad Nawir. Saat itu anak muda ini sedang berada di Bontang, Kaltim, untuk mencari saudaranya dan melamar pekerjaan di PT LNG Badak. Majalah itu dia baca saat silaturahim ke rumah saudaranya yang berlangganan majalah tersebut.

Ketika silaturahim ke Kampus Hidayatullah Bontang, bertambah tertarik lagi dia melihat langsung pribadi para ustadz di sana. Terutama saat melihat dan berjumpa dengan pimpinannya, yang (mohon maaf) kurus, berwibawa, santun, dan tidak banyak makannya. Orang yang dilihatnya tersebut adalah Ust. Abdurrahman Muhammad. Sekarang, Pemimpin Umum Hidayatullah.

Akhirnya Nawir memutuskan untuk bergabung ke Hidayatullah Gunung Tembak. Meskipun satu tahun setelah itu ada jawaban bahwa lamaran kerjanya di PT LNG Badak diterima.

Namun, dia sudah tidak tertarik lagi memenuhi panggilan kerja di perusahaan pengelolaan minyak bumi yang namanya sangat beken itu. Padahal, lumayan besar gaji dan berbagai jaminan yang akan dia dapatkan.

Tugas di Dapur

Muhammad Nawir sebagai lulusan SMEA untuk ukuran tahun 90-an itu keren, ijazahnya bisa untuk melamar jadi pegawai negeri atau karyawan perusahaan bonafid. Namun, Nawir tidak terlalu tertarik dengan itu semua. Ia malah penasaran dengan Hidayatullah.

Sebagaimana santri baru yang lain, setelah selesai menjalani Training Center (TC) semua santri mendapatkan tugas masing-masing. Nawir ditempatkan di dapur untuk tugas memasak.

Sebenarnya tidak nyambung dengan pendidikan dan kemampuannya. Tapi itulah ujian pertama yang harus ia jalani. Saat itu belum ada gas elpiji. Dia pun memasak dengan mengumpulkan kayu-kayu kering dari hutan untuk bahan bakar masak.

Tentu ia merasakan letih menjalankan aktifitas rutin itu. Dia harus masak tiga kali sehari untuk banyak santri, hampir tidak ada waktu istirahatnya. Apalagi jika musim hujan, kesulitan mencari kayu bakar yang kering menjadi tantangan tersendiri. Tak jarang, sudah datang para santri mau makan, tetapi nasi dan lauk belum selesai dimasak.

Berkecimpung di dapur ini, Nawir belajar ikhlas melayani para santri dan kerja keras untuk memasak dengan tiga kali sehari. Berlatih juga disiplin dan sabar jika turun hujan.

Tugas Takmir dan Pusat Informasi

Setelah satu tahun tugas di dapur, Nawir muda kemudian ditugaskan menjadi takmir Masjid Ar Riyadh. Suara beliau yang bagus dan meliuk-liuk saat mengumandangkan adzan sangat disenangi oleh jamaah.

Tugas sebagai takmir bukan hanya adzan. Nawir juga bertanggung jawab membersihkan lantai masjid, minimal 3 kali dalam sehari karena shalat berjamaah 5 kali sehari ditambah shalat lail berjamaah. Bukan hanya disapu tapi juga harus dipel dengan alat yang masih manual.

Nawir juga bertugas menjaga waktu shalat dengan mengumumkan waktu shalat persepuluh menit dari mulai 30 menit sebelum adzan. Jika terlambat maka dipastikan akan mendapat teguran dari jamaah.

Selain itu, Nawir juga bertugas sebagai pusat informasi mengumumkan segala kegiatan yang dilaksanakan di pesantren. Saat itu belum ada telpon apalagi handphone. Hanya ada handy talky (HT).

Setiap ada pemesanan barang, tamu akan datang, informasi laporan dari daerah itu melalui HT yang diletakkan di takmir. Ini yang membuat sulit tidur karena nyaris tidak berhenti HT berbunyi dan harus diumumkan ke mic masjid jika harus memanggil orang atau informasi yang harus disampaikan.

Tugas di takmir yang paling terkesan bagi Nawir adalah menemani Allahuyarham Ust. Abdullah Said shalat lail. Jika shalat lail berjamaah, terutama malam Senin dan malam Kamis, ibadah tahajjud itu dilaksanakan tepat pukul 00.00. Maka, pada pukul 23.30 sudah harus diumumkan panggilan, “shalah… shalah… shalah!”.

Yang juga tak terlupakan bagi Nawir muda saat itu, dia terkadang tertidur karena kecapekan dan dibangunkan langsung oleh Ust. Abdullah Said di ruang takmir.

Nawir merasakan langsung shalat lail 4 jam dan anehnya jika shalatnya pas dibelakang Allahuyarham Ust. Abdullah Said, dipastikan tidak mengantuk. Tapi posisi di baris depan itu harus rebutan duluan dengan jamaah dan ustadz yang lain.

Saat tertentu, Nawir diminta menemani shalat lail Allahuyarham berdua saja. Rata-rata 4 jam lamanya. Nawir menyaksikan sendiri, tempat sujud Ust. Abdullah Said ada darahnya karena saking lamanya sujud. Beliau harus ganti kain tempat sujud tersebut hingga tiga kali dalam semalam.

“Tugas di takmir ini berat tapi nikmat, karena banyak kesempatan bisa bicara dan dekat dengan Ust. Abdullah Said. Tapi, di Hidayatullah, perkaderan itu dengan rolling tugas. Tidak ada yang tugas abadi atau lama-lama di satu tempat,” ungkap Ust. Nawir saat mengisahkan kembali perjalanan tersebut kepada penulis beberapa waktu.

Tugas Penjaga Wartel

Tugas Nawir muda berikutnya menjadi salah satu penjaga warung telekom (wartel) milik pesantren yang berlokasi di kota. Bisa dibilang ini tugas yang bertolak belakang dengan takmir.

Jika di takmir fokus ibadah dan tidak pernah lihat perempuan, di wartel hampir setiap saat lihat perempuan dan melayaninya untuk memakai wartel. Sebenarnya tugas ini sangat menyiksa batinnya tapi tetap jalani dengan ketaatan dan banyak istighfar saja.

Tugas Biro Haji

Usia menjalani tugas debut mengelola wartel, selanjutnya Nawir dipindahkan tugas lagi menjadi tenagaa biro haji bersama Ust. Rahmat Rahman. Ini tugas yang berbeda karena harus banyak melayani orang-orang kaya yang hendak berangkat haji.

Bagi Nawir yang masih muda kala itu, tugas baru ini menantang dan menarik. Ada pengalaman baru yang didapatkan sambil terbesit harapan untuk bisa haji juga.

Saat menikmati tugas di Biro Haji ini, tiba-tiba ada tawaran untuk ikut menikah mubarakah. Sebenarnya belum siap dan tidak mau, tapi karena terus didesak maka akhirnya ikut pernikahan mubaraah 100 pasang tahun 1997.

Ini ternyata tugas terakhir di Gunung Tembak. Beberapa hari setelah menikah, untuk pertama kali tugas keluar Balikpapan yaitu langsung ke Pulau Sumatera yaitu Lampung. Sebelumnya diminta pulang silaturahim ke rumah orang tua dan mertua.

Tugas Lampung

Nawir mengaku awalnya was was ketika mau berangkat tugas ke Lampung karena baru pertama kali tugas jauh. Namun ia pantang surut ke belakang. Ia pun naik kapal hingga ke Tanjung Priok Jakarta. Alhamdulillah, ada paman yang menjemput meskipun belum pernah ketemu sebelumnya.

Setelah menginap di rumah sang paman selama 2 hari, Nawir lalu dibelikan tiket bus ke Lampung turun di Manggala pukul 02.00 dini hari. Ust. Abdul Majid Aziz sebagai pimpinan cabang Hidayatullah Lampung, girang bukan main dengan kedatangan Nawir. Karena ada tenaga baru yang memperkuat barisan.

Nawir mengaku tidak pernah terbayang tugas di Lampung yang terkenal sebagai kota dengan angka kriminalitas tinggi. Banyak kader dikirim ke Lampung tapi sebagian tidak betah. Ada sekitar 20 tenaga dikirim tapi terpental.

“Disinilah mahalnya ketaatan dan pentingnya garis komando,” kata Ust. Nawir yang kini didapuk menjadi Ketua Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Hidayatullah Lampung.

Selama tugas di Lampung, sudah 4 kali ia kehilangan motor. Bukan hanya dia, beberapa orang yang ia kenal juga pernah kehilangan motor. Ini sebagai gambaran rawannya keamanan di Lampung. Ia mengakui beratnya dakwah di Lampung, hingga ada petugas dai yang dikirim ke sini berseloroh, “mungkin Lampung sudah dikutuk”.

Ungkapan itu mungkin sebagai gambaran perasaan tidak mudahnya mengemban tugas dakwah di kawasan ini. Namun, Ust. Nawir tetap berusaha bertahan dan berbuat apapun yang diampu demi tegaknya dakwah. Baginya, semakin berat tantangan dakwah maka semakin nikmat ibadah dan perjuangan itu. “Syarat tentu harus ada keyakinan, mujahadah dan kesabaran,” imbuhhnya.

Merintis Hidayatullah Yukum Jaya

Tahun 2003, Ust. Nawir ditugaskan dari Manggala untuk merintis di Kabupaten Yukum Jaya di Lampung Tengah. Selama 7 tahun belum mendapatkan tanah sehingga ia pun numpang dan kontrak rumah secara bergantian. Kegiatannya berdakwah dari masjid ke masjid, mengajar TPA, silaturahim ke orang-orang yang dikenal sambil mencari tanah.

Ada salah satu tempat pengajian tampak terbengkalai yang lokasinya dimiliki oleh Pak Haji Mahmud. Sang pemilik tanah mempercayakan pengunaan lokasi ini ke Pak Haji Amin. Lalu Ustadz Nawir mengajukan diri agar tanah tersebut diserahkan ke Hidayatullah.

Sang pemilik tanah pun setuju diserahkan ke Hidayatullah saja agar lebih maksimal tanah wakafnya. Lalu ustadz Ust. Nawir minta bantuan ke Ust. Amin Mahmud untuk menfasilitasi berkomunikasi dengan Haji Amin sebagai pengelola. Alhamdulillah, interaksi terjalin sangat baik dan penuh kehangatan hingga kemudian mulailah dilakukan peralihan.

Jadi, kisah tiga orang yang memiliki kemiripan nama menjadi kisah tersendiri dalam proses tanah Hidayatullah Yukum Jaya. Yaitu pemilik tanah bernama Haji Mahmud, pengelola bernama Haji Amin dan diserahkan ke Hidayatullah melalui Haji Amin Mahmud.

Tanah itu memang yang selama tiga tahun diinginkan dan senantiasa didoakan oleh Ust. Nawir. Ada keyakinan bahwa tanah tersebut yang pas untuk membangun pesantren.

Alhamdulillah, setelah mendapatkan tanah 7000 meter persegi itu, lalu satu persatu santri datang untuk belajar dan perlahan tapi pasti bangunan asrama, madrasah, dan mushola mulai berdiri. Sekarang sudah ada pendidikan SD dan SMP putri, rencana tahun ini akan mendirikan SMA putri .

Tempaan tugas selama di Bontan dan Gunung Tembak Balikpapan menjadi modal berharga bagi Ust. Nawir dan santri-santri Hidayatullah untuk mengemban amanah di tempat sesulit apapun. Ada keyakinan dengan usaha maksimal yang diiringi ibadah dan doa maka semua ada solusinya.

Masalah hasil hanya masalah waktu dan kesabaran untuk menunggu. Allah Maha Tahu, Allah tidak buta dan tuli dengan usaha yang dilakukan dan doa yang dipanjatkan para hamba-hamba.*/Abdul Ghofar Hadi

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

[KHUTBAH JUM’AT] Dua Dimensi Shalat dan Karunia yang Harus Disyukuri

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img