AdvertisementAdvertisement

Sudut Pandang Islam dan Perang Pemikiran di Era Globalisasi Sekarang

Content Partner

MARI mendengar sekelumit dari kisah Marco Polo (1254-1324) dalam perjalanannya dari Cina ke India. Suatu kali, ia singgah di Basman. Mungkin, ini nama lama dari suatu tempat di Sumatera, atau – menurut kami – mungkin juga Jawa bagian barat. Di sana ia dikejutkan oleh satu spesies hewan yang belum pernah dilihatnya: badak.

Tapi, Marco Polo punya sudut pandang sendiri terhadap hewan bercula satu ini. Dalam buku hariannya, alih-alih menyebutnya sebagai badak ia justru menyebutnya Unicorn, kuda bertanduk satu yang sangat terkenal dalam mitologi Yunani.

Marco Polo menulis:

“…unicorn, yang mana (ukurannya) jarang sekali lebih kecil dari gajah. Rambutnya mirip rambut kerbau … dan, sebuah tanduk tunggal yang besar dan hitam ada di tengah-tengah jidatnya. Mereka tidak menyerang dengan tanduknya, tetapi dengan lidah dan lututnya; dimana lidahnya dilengkapi dengan duri-duri yang panjang dan tajam … Mereka sangat buruk dan tidak sedap dipandang … samasekali tidak mirip dengan apa yang kita bayangkan ketika … mereka membiarkan dirinya ditangkap oleh para bidadari” (Dikutip dari Historical Thinking and Other Unnatural Acts, karya Sam Wineburg, Temple University Press, 2001 : 24).

Demikianlah, fakta yang sama akan diterima secara berlainan bila orang yang melihatnya telah memiliki sudut pandang atau worldview (pandangan dunia) berbeda. Penilaian dan kesimpulan yang diberikannya bisa samasekali bertentangan. Barangkali, kisah lain berikut ini dapat melengkapi gambaran kita.

Serombongan juru dakwah ditugaskan untuk memasuki Amerika Serikat dan mengenalkan Islam di sana. Seperti manusia modern pada umumnya, film dan media massa turut membentuk citra kita tentang Amerika, sehingga yang tergambar pada awalnya adalah kemajuan, kecanggihan, keindahan, dsb.

Namun, tatkala sudah benar-benar sampai dan menyusuri Amerika, mereka justru menangis. Mereka tidak terpesona oleh gemerlap peradaban materi yang tersaji di depan matanya, tetapi justru iba kepada bangsa Amerika.

Para da’i ini meratap sedih, “Kasihan sekali bangsa ini! Dengan seluruh kenikmatan yang Allah berikan, mestinya mereka lebih mudah bersyukur dan mengabdikan diri kepada-Nya. Sungguh berat pertanggungjawaban mereka kepada Allah kelak”.

Kedua kisah di atas sebetulnya sama. Marco Polo mengira badak bercula satu adalah wujud nyata Unicorn. Begitu melihatnya, ia mengaitkan fakta dengan mitos yang telah diyakininya. Penilaiannya spontan, alami, tidak dibuat-buat. Maka, di titik inilah kepercayaan dan akidah seseorang berperan.

Alhasil, Syahadat seorang muslim sesungguhnya merupakan tolok ukur dalam menghadapi aneka persoalan. Pokok-pokok Rukun Iman yang enam itu pun semestinya menjadi standar utama dalam merasa, berpikir, berkata, bertindak, berperilaku. Tanpanya, ia tidak bisa disebut “telah berakidah”. Mengapa?

Akidah berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti ikatan. Dengan kata lain, akidah sesungguhnya merupakan ekspresi keterikatan jiwa kepada nilai-nilai tertentu secara sukarela. Akidah tidak mengikat dalam arti membelenggu, namun memberi pedoman dan arah kehidupan secara menyeluruh. Diatas kepercayaan-kepercayaan itulah manusia menilai segala sesuatu.

Seperti dalam dua kisah di atas. Marco Polo sejak semula sudah percaya bahwa kuda mitologis bertanduk satu yang disebut Unicorn itu benar-benar ada. Ia pun tidak pernah membayangkan bahwa ada makhluk nyata bernama badak yang juga bertanduk satu dan dengan tampilan fisik yang sangat berbeda.

Sementara, serombongan juru dakwah itu sejak semula sudah meyakini remehnya dunia ini dan betapa semuanya merupakan nikmat sekaligus ujian yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Mereka kemudian mengembangkan penilaian berbeda.

Persoalan sudut pandang ini semakin penting di era globalisasi sekarang, terutama bagi orangtua, guru, da’i, dan pemimpin masyarakat. Tentu saja, sudut pandang yang disandarkan kepada nilai-nilai Islam. Dengannyalah mereka bisa memahami realitas-realitas yang ada secara jernih, tepat, utuh. Mereka bisa memilah benar dari salah, asli dari palsu, lurus dari bengkok.

Terlebih-lebih lagi, ketika banyak media massa ternyata punya kepentingan-kepentingan ideologis sehingga cenderung “menyaring” berita dan informasi yang disajikannya sesuai visi & misi masing-masing. Peran sudut pandang tidak kalah pentingnya di dunia pendidikan.

Misalnya, kita mendapati buku-buku sejarah yang dikaji para siswa disajikan dengan sudut pandang tertentu. Dalam sejarah Mesir Kuno, yang diagung-agungkan adalah Fir’aun berikut seluruh warisan budaya dan peradabannya. Sepertinya, kita lupa siapa sejatinya dia, sebagaimana sering disitir Al-Qur’an dan hadits. Raja musyrik dan sangat kejam ini tidak sekali pun dikritik, sementara nama Musa dan Harun ‘alaihima as-salam tidak pernah sekali pun disebut.

Di dalam Al-Qur’an, nama Fir’aun sebetulnya sangat sering dikutip, tidak kurang dari 68 kali. Hanya saja, namanya selalu diiringi sifat-sifat kejam, musyrik, kafir, sombong, melampaui batas, zhalim, menolak kebenaran, pengagum sihir, jahat, mengaku tuhan, dsb. Artinya, di sinilah posisi yang semestinya bagi seorang muslim ketika membaca sejarah Fir’aun.

Jika sejarah ditulis untuk diambil hikmah dan pelajarannya, kita tidak mengerti hikmah dan pelajaran seperti apa yang ingin ditonjolkan dari sejarah Mesir Kuno yang dipenuhi kekaguman kepada Fir’aun begitu.

Al-Qur’an sebenarnya tidak melupakan pencapaian material bangsa Mesir di masa Fir’aun. Dalam surah Shad: 12 dan al-Fajr: 10, Fir’aun juga disifati sebagai dzul awtaad, artinya “yang memiliki gunung” alias piramida. Penafsiran ini disandarkan pada surah an-Naba’: 7. Namun, tanpa dilandasi tauhid dan komitmen moral, seluruhnya sia-sia belaka.

Allah pun sangat sering mengingatkan bangsa Arab di zaman Nabi dengan reruntuhan bekas negeri-negeri kaum ‘Ad dan Tsamud yang biasa mereka lewati dalam perjalanan dagang ke Syam, Mesir, dan Yaman. Al-Qur’an menyatakan:

“Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka biasa berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Thaha: 128).

Ada banyak ayat senada, misalnya al-Qashash: 58, al-‘Ankabut: 38, as-Sajdah: 26, dan al-Ahqaf: 25; yang menegaskan bahwa bangsa Arab di zaman itu tahu persis sisa-sisa peninggalan kaum terdahulu dan telah mendengar kisah kehancuran mereka. Allah meminta mereka mengambil pelajaran darinya.

Sekedar contoh kecil, apa yang mestinya terbayang bila menyaksikan istana-istana kuno di Belanda dan Inggris? Apa kita takjub dengan arsitekturnya atau menangis mengingat kekejaman imperialisme? Bukankah sebagian istana itu dibangun dengan merampok kekayaan bangsa lain di zaman penjajahan?

Contoh lain, istilah pelacur dan pezina sering dihaluskan menjadi PSK (Pekerja Seks Komersial) atau Pramunikmat, seolah-olah kemaksiatan besar ini adalah profesi resmi, dan dengan begitu layak dibela serta dijalani. Na’udzu billah!

Ini pulalah inti perang pemikiran (ghazwul fikri) yang gencar diwacanakan musuh-musuh Islam, yaitu mengubah cara berpikir dan menilai.

Sungguh, masih banyak fakta lain yang turut berubah bila kita mengubah sudut pandang kita, atau bila kita berhasil mengubah sudut pandang orang lain terhadapnya. Seberapa siapkah kita? Wallahu a’lam.[]

*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Guru dan Transformasi Pendidikan Islam

PADA Selasa, 21 Januari 2025 lalu, sebuah pesan jalur pribadi (japri) via WhatsApp dari seorang kawan tiba, isinya singkat...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img