DALAM kajian psikologi sosial dan budaya, sifat manusia untuk menerima atau menolak saran adalah fenomena yang kompleks. Secara umum, sulit menemukan individu yang sepenuhnya menolak saran. Namun, kecenderungan untuk bersikap defensif atau merasa diri lebih unggul dibandingkan orang lain tetap merupakan sifat yang sering muncul dalam interaksi sosial.
Menurut perspektif psikologi, sifat ini berakar pada ego manusia yang cenderung mempertahankan harga diri dan identitas diri. Carl Rogers, salah satu tokoh penting dalam psikologi humanistik, mengemukakan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mempertahankan konsep dirinya. Dalam situasi di mana saran dianggap sebagai ancaman terhadap konsep diri, respons defensif seperti penolakan saran menjadi mekanisme perlindungan.
Fenomena semacam ini juga dapat dilihat dalam konteks sosial. Dalam masyarakat yang semakin individualistik, penghargaan terhadap opini pribadi sering kali menjadi prioritas, bahkan melebihi nilai-nilai kolaborasi. Seseorang yang merasa dirinya “lebih” dibandingkan orang lain cenderung menunjukkan sikap superioritas untuk menutupi rasa tidak aman yang mendasarinya.
Kendati demikian, dalam era keterbukaan informasi saat ini, kebanyakan individu semakin menyadari pentingnya menerima perspektif yang beragam. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan untuk menerima saran dan kritik konstruktif berkorelasi positif dengan perkembangan pribadi dan profesional. Di sisi lain, penolakan terhadap saran sering kali membatasi peluang untuk tumbuh dan beradaptasi.
Kebijaksanaan
Nabi kita, Rasulullah Muhammad SAW telah banyak memberikan teladan yang menakjubkan dalam bagaimana menerima masukan dengan bijaksana. Diantaranya, dalam Kisah Perang Badar yang menjadi salah satu contoh nyata yang mencerminkan sifat terbuka beliau terhadap saran strategis.
Ketika Rasulullah SAW mengusulkan strategi menguasai sumur Badar, seorang sahabat, Khabab ibn Mundzir ra, dengan penuh hormat bertanya, “Apakah ide ini berasal dari wahyu atau strategi perang semata?”
Setelah dijelaskan bahwa itu adalah strategi, Khabab lantas memberikan masukan agar markas dipindah lebih dekat ke posisi musuh dengan taktik penutupan sumur untuk memonopoli air.
Menariknya, Rasulullah SAW tidak merasa terhina. Beliau bahkan memuji saran itu, “Pendapatmu sungguh baik.” Masukan tersebut kemudian dilaksanakan, dan kaum Muslimin meraih kemenangan besar. Peristiwa ini mencerminkan sikap kepemimpinan yang tidak egois, melainkan mengedepankan rasionalitas dan manfaat kolektif.
Ilusi Superioritas
Sayangnya, sikap seperti Rasulullah SAW ini semakin jarang ditemui. Banyak individu atau pemimpin yang terjebak dalam cognitive bias atau ilusi superioritas. Mereka cenderung melebih-lebihkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga menutup diri terhadap masukan dari pihak lain.
Bias ini dapat berujung pada sikap arogan, reaktif, dan menolak gagasan tanpa mempertimbangkan relevansi atau validitasnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada individu, tetapi juga dalam komunitas atau organisasi, di mana hierarki sering kali menjadi penghambat pertukaran ide. Pendapat atasan atau pemimpin cenderung lebih dihargai, meskipun tidak selalu berdasarkan fakta atau keahlian.
Hal ini menjadi pengingat penting bahwa kesuksesan sebuah organisasi tidak bergantung pada satu individu, melainkan kolaborasi seluruh elemen yang mampu mendengar, berpikir kritis, dan memberikan solusi inovatif.
Sikap terbuka terhadap saran adalah langkah awal menuju perbaikan dan inovasi. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, “The more I learn, the more I realize how much I don’t know”. Kutipan ini menekankan pentingnya kerendahan hati intelektual dalam menerima kritik dan memperluas wawasan.
Adam Grant dalam bukunya “Think Again” juga menyoroti perlunya berpikir seperti ilmuwan—mempertanyakan asumsi, menerima masukan sebagai data, dan terus memperbarui pemahaman. Sikap ini mengejawantah kecerdasan sejati dan kemampuan adaptasi yang menjadi kunci keberhasilan di dunia yang terus berubah.
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa tidak ada ide yang sempurna tanpa diskusi. Dengan mendengar saran, bahkan dari pihak yang dianggap “lebih rendah” dalam hierarki, kita dapat menciptakan keputusan yang lebih bijaksana dan hasil yang lebih optimal.
Sarana Musyawarah
Pada akhirnya, penting untuk membangun budaya diskusi dan musyawarah sebagai sarana penting untuk memupuk keterbukaan pikiran. Bahkan, saran yang kurang relevan sekalipun harus dilihat sebagai peluang untuk memberikan bimbingan dan memperkaya perspektif.
Daripada menolak mentah-mentah, para pemimpin dan pakar sebaiknya memanfaatkan momen tersebut untuk menciptakan ruang pembelajaran bagi semua pihak.
Kisah Rasulullah SAW di Perang Badar memberikan pelajaran mendalam bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang mendengar, menghargai, dan melibatkan orang lain dalam proses pengambilan keputusan. Jika beliau dapat menerima kritik dengan senyuman, lalu mengapa kita harus merasa terhina?
Di masa kini, di mana dinamika perubahan sangat cepat, sikap keterbukaan terhadap saran menjadi kebutuhan mendesak. Membangun budaya diskusi yang sehat bukan hanya memperkuat hubungan interpersonal tetapi juga menciptakan komunitas yang hidup, penuh gairah, dan inovatif.
Sikap Rasulullah SAW yang menghargai masukan orang lain adalah cerminan visi kepemimpinan yang abadi. Dengan meneladani prinsip ini, kita dapat membangun kehidupan yang lebih baik, baik dalam lingkup individu, komunitas, maupun organisasi.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita siap untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam merangkul saran dengan hati yang terbuka?
*) Adam Sukiman, penulis adalah intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) dan Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta. Diserap dari serak risalah pengajian pekanan Prospect pada Sabtu, 23 November 2024.