
KORUPSI adalah luka menganga dalam tubuh bangsa, sebuah maksiat yang tidak hanya merugikan individu, tetapi juga umat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.
Kasus korupsi yang terus berulang, termasuk yang belakangan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menjadi cermin buram tentang lemahnya pengendalian diri dan ketakwaan.
Di tengah bulan suci Ramadhan, momentum spiritual ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang bagaimana maksiat korupsi bertentangan dengan esensi takwa, serta bagaimana Ramadhan dapat menjadi titik balik penyucian jiwa demi melahirkan insan mulia yang bertakwa.
Secara logis, korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanah. Ia merampas hak rakyat, menggerogoti keadilan sosial, dan menghambat pembangunan.
Ketika seorang pejabat atau pegawai yang mengurusi kepentingan rakyat melakukan korupsi, dampaknya bukan sekadar kerugian materiil, tetapi juga hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.
Data terbaru pada awal 2025 menunjukkan bahwa kasus korupsi di sektor BUMN, seperti yang terjadi di PT Timah atau Pertamina, telah merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Uang yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur justru mengalir ke kantong pribadi, meninggalkan rakyat dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Bukankah ini bentuk kezaliman yang nyata?
Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan kita tentang bahaya mengambil hak orang lain. Dalam Surah Al-Mutaffifin (83:1-4), Allah berfirman,
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ. الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ. وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ. اَلَا يَظُنُّ اُولٰۤىِٕكَ اَنَّهُمْ مَّبْعُوْثُوْنَۙ
“Celakalah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah mereka itu mengira bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan?”
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang kecurangan dalam perdagangan, tetapi juga menjadi peringatan universal terhadap segala bentuk pengambilan hak yang tidak sah, termasuk korupsi. Pelaku korupsi, dengan sengaja merugikan umat, sejatinya sedang menumpuk dosa yang akan ditagih pada hari kiamat.
Ramadhan, sebagai bulan penuh rahmat dan ampunan, menawarkan pelajaran berharga tentang pengendalian diri. Puasa mengajarkan kita untuk menahan hawa nafsu, baik dari makan, minum, maupun dorongan syahwat lainnya.
Dalam hal ini, korupsi dapat dipahami sebagai kegagalan mengendalikan nafsu serakah yang tersembunyi dalam jiwa. Seseorang yang bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam Surah Ali Imran (3:133-134), adalah mereka yang “menafkahkan hartanya di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain.”
Bukankah pelaku korupsi justru berkebalikan dari sifat ini? Mereka tidak menafkahkan harta untuk kebaikan, melainkan menimbunnya demi kepentingan pribadi, menunjukkan ketidakmampuan menahan nafsu dan ketamakan.
Isu terkini korupsi di BUMN menjadi sorotan yang relevan untuk direnungkan di bulan Ramadhan ini. Kasus seperti penggelapan dana di PT Timah, yang diduga melibatkan pejabat tinggi dan jaringan bisnis, mencerminkan betapa sistemiknya penyakit ini.
BUMN, yang seharusnya menjadi aset bangsa untuk kesejahteraan rakyat, justru dijadikan ladang korupsi. Hal ini tidak hanya menunjukkan rapuhnya integritas individu, tetapi juga lemahnya pengawasan dan budaya organisasi yang gagal menanamkan nilai-nilai luhur.
Korupsi adalah fenomena yang diperparah oleh rendahnya moralitas individu dan buruknya tata kelola. Namun, Ramadhan mengingatkan kita bahwa perubahan sistem harus dimulai dari perubahan hati dan jiwa manusia.
Ramadhan adalah cermin bagi kita semua. Ketika kita berpuasa, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta yang melimpah, tetapi pada ketenangan jiwa yang lahir dari ketaatan kepada Allah dan kepekaan terhadap penderitaan sesama.
Koruptor, dengan segala kekayaan yang mereka kumpulkan, sesungguhnya adalah jiwa-jiwa yang miskin—miskin akan takwa dan empati.
Ramadhan mengajak kita untuk kembali kepada fitrah, membersihkan diri dari sifat serakah, dan membangun karakter yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” serta sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Mari kita jadikan Ramadhan sebagai momentum istimewa untuk penyucian jiwa bangsa. Perubahan besar dimulai dari langkah kecil, dari diri sendiri—ibda’ binafsik. Jika setiap individu mampu menanamkan pengendalian diri dan kejujuran, maka perlahan-lahan bangsa ini akan bangkit dari luka korupsi.
Al-Qur’an dalam Surah Ar-Ra’d (13:11) menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Ramadhan adalah panggilan untuk menumbuhkan karakter luhur bangsa yang berpancasila, yang diawali dari hati yang bersih dan jiwa yang bertakwa.
Dengan demikian, kita tidak hanya menyelamatkan diri dari murka Allah, tetapi juga mewariskan Indonesia yang lebih adil dan bermartabat bagi generasi mendatang.[]
*) Suhardi Sukiman, penulis Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta dan Pengasuh Rumah Qur’an (RQ) Global Jayakarta