AdvertisementAdvertisement

Keluarga Pilar Kecil Menuju Peradaban Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Content Partner

DEPOK (Hidayatullah.or.id) — Ketua Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah, Ust. Dr. H.M. Tasyrif Amin, M.Pd.I., menguraikan visi Islam sebagai rahmatan lil alamin—rahmat bagi seluruh alam. Ia memulai dengan menegaskan bahwa sifat universal Islam ini mencerminkan tujuan kasih sayang.

“Islam memiliki tujuan kasih sayang,” katanya, dalam kajian pekanan Ramadhan 1446 H bertajuk “Membangun Peradaban Berbasis Keluarga” di Masjid Ummul Quraa, Pondok Pesantren Hidayatullah Depok pada Sabtu, 15 Ramadhan 1446 (15/3/2025).

Dalam kajian pekanan Ramadhan 1446 H bertajuk “Membangun Peradaban Berbasis Keluarga” di Masjid Ummul Quraa, Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, pada 15 Ramadhan 1446 (15/3/2025).

Dari cakupan luas ini, Ustadz Tasyrif memperkecil lingkupnya yaitu Islam sebagai ajaran unggul atas seluruh agama dan ideologi, membawa risalah rahmatan lil alamin, yang kemudian diwujudkan dalam organisasi seperti Hidayatullah—berbasis spirit zaman Nabi—dan akhirnya pada ranah terkecil namun fundamental yaitu keluarga yang berlandaskan iman kepada Allah Ta’ala.

“Islam yang besar berawal dari sebuah pilar yang sederhana dan kecil, yaitu keluarga. Jadi beragama ini idealnya berjamaah, tidak sendiri-sendiri, karena dalam hidup ini selalu dibutuhkan pemimpin,” katanya.

Kepemimpinan menurutnya menjadi esensial, bahkan dalam skala kecil. Ia mengutip hadits Abu Dawud bahwa jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.

Keluarga, sebagai komunitas terkecil, berfungsi sebagai “transformasi dan penegak syariat,” yang menyelamatkan anggotanya dari api neraka melalui kepemimpinan yang teguh.

Tasyrif lalu beralih pada pendidikan anak usia dini, khususnya dalam menanamkan aqidah dan akhlak.

Ia menjelaskan, pada usia dini anak hanya bisa merekam (melihat), merasa dan mendengar, disinilah peran orang tua adalah mengajarkan yang baik kepada anak. Karena akal anak belum sempurna, orang tua harus menjadi figur teladan yang mengajarkan kebaikan melalui cerita singkat hingga pengajaran agama.

“Rekaman yang paling kuat adalah rekaman usia dini sebelum SD,” katanya. Sehingga, apa yang diterima anak dari orang tua menentukan pertumbuhannya.

Lebih jauh, ia menyatakan bahwa akhlak itu tidak bisa dibuat-buat yang timbul tanpa pertimbangan dan apa adanya, dia muncul secara otomatis karena sudah tertanam sejak kecil dalam kecil.

“Persoalannya sekarang jarang adanya keluarga yang mendidik kebaikan anak itu sejak keci,” katanya, sambil mengingatkan di sinilah peran sinergi antara keluarga dan lembaga penddikan menjadi sangat penting.

Pentingnya pendidikan akhlak juga tercermin dalam pernyataan Ustadz Tasyrif yang menekankan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibingkai oleh akhlak Islam sehingga ia memberikan maslahat yang luas bagi kehidupan.

Ia melanjutkan, Nabi menyuruh pada anak umur 7 tahun untuk shalat yang diiringi dengan pandai membaca Quran dan menyuruh memukul anak itu pada umur 10 tahun jika belum mau shalat.

“Jangan pendekatan pendidikan itu hanya sayang dan santun, tapi harus dengan sayang dan tegas. Harus seimbang antara lembut dan tegas,” katanya.

Keseimbangan ini menurutnya sangat vital, karena jika anak itu diberi hanya kasih sayang dan kelembutan saja maka dia akan lahir menjadi anak yang manja. Namun jika sebaliknya, maka dia akan lahir menjadi anak yang bandel.

“Tidak ada pemimpin besar yang lahir dari pendidikan manja, mereka lahir dari bimbingan yang seimbang yang mengkombinasikan antara kelembutan dan ketegasan,” terangnya.

Dalam kepengasuhan, ia menganjurkan kombinasi penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Karena itu, dia menegaskan, etika dan akhlak itu tidak bisa dibuat-buat. Akhlak senantiasa tercermin dalam perilaku secara habit dan spontanitas.

Ia pun mengkritik pendidikan karakter di Indonesia yang terfokus pada aspek kognitif belaka, padahal aspek afektif—adab dan akhlak—harus diutamakan untuk mewujudkan rahmatan lil alamin.

Menjawab pertanyaan peserta tentang anak yang tetap bandel meski dididik seimbang, ia menjawab, “Boleh jadi karena penerapan kepengasuhan yang tidak seimbang antara ketegasan dan kelembutan,” seraya menegaskan kembali pentingnya keseimbangan.

Dengan demikian, tegasnya, keluarga bukan sekadar unit sosial, tetapi fondasi peradaban Islam yang universal. Melalui pendidikan seimbang yang mengintegrasikan kasih sayang dan ketegasan, akhlak mulia dapat tertanam sejak dini, menjadi tonggak bagi generasi yang mampu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.*/

(Laporan naskah dan foto oleh Mercyvano Ihsan, santri kelas IX peserta kelompok Program Lifeskill Jurnalistik Sekolah Integral Hidayatullah Depok)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

HiGive dan NTI Lakukan Coaching Pengembangan Diri untuk Warga Binaan Rutan Depok

DEPOK (Hidayatullah.or.id) – Sebuah inisiatif penuh makna digelar di Rumah Tahanan (Rutan) Depok ketika HiGive Indonesia, mitra kerja Direktorat...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img