
MENJADI santri selalu menghadirkan cerita istimewa. Dari pesantren, jalan hidup bisa mengalir ke mana saja. Menjadi guru, petani, pedagang, penggerak masyarakat, bahkan pemimpin. Bagi seorang santri, yang terpenting bukanlah fasilitas atau gelar, melainkan kesetiaan pada jalan Ilahi.
Itulah yang tampak dalam diri para santri awal Hidayatullah, termasuk sosok Sukarwan.
Sukarwan, pria berusia 58 tahun asal Rahtawu, Kudus, bukanlah nama besar di panggung nasional. Namun kisah hidupnya adalah potret nyata bagaimana seorang santri bisa tumbuh menjadi penggerak dakwah di tengah masyarakat.
Ia tidak mengejar kemewahan, tidak pula tergoda dengan jalan pintas duniawi. Sebaliknya, ia memilih kembali ke desanya untuk merawat spiritualitas warga, sambil tetap menghidupi keluarganya lewat kebun kopi yang ia garap dengan tekun.
“Kalau saya tidak kembali, siapa yang merawat spiritualitas warga desa saya,” ucapnya lirih saat ditemui Hidayatullah.or.id di teras rumahnya, sambil menyesap kopi yang sudah mulai hangat pada malam pertengahan September 2025.
Kalimat itu menggambarkan panggilan jiwa yang membawanya pulang. Sebelum kembali ke Rahtawu, Sukarwan sempat menjadi bagian dari perintisan Pesantren Hidayatullah Kudus.
Ia tumbuh bersama tradisi pesantren, menghirup nilai-nilai dasar Hidayatullah: Sistematika Wahyu, Ahlussunnah wal Jama’ah, Imamah Jama’ah, Jama’atun Minal Muslimin, Al-Harakah Al-Jihadiyah Al-Islamiyah, hingga Wasathiyah. Nilai-nilai itu melekat dalam dirinya, menjadi panduan dalam setiap langkah.
Kini, meski usia tak lagi muda, ia tetap teguh menapaki jalan dakwah. Tidak hanya mengurus masjid, ia juga aktif membimbing warga, termasuk para mualaf yang terus berdatangan di Rahtawu. Setiap kali ada orang baru yang mengikrarkan syahadat, wajahnya kembali berseri. “Ini benar-benar menggembirakan,” ujarnya penuh syukur.
Namun, jalan dakwah di pedesaan tentu tidak mudah. Sukarwan tahu betul bahwa masyarakat butuh sentuhan yang lebih menyeluruh. Dakwah tidak bisa hanya berhenti di mimbar masjid. Ia harus merambah ke sektor ekonomi, pendidikan, dan sosial.
“Kami masih butuh dukungan untuk dakwah yang lebih komprehensif dan inklusif,” katanya, seraya mengapresiasi dukungan yang telah hadir melalui program sembako, beasiswa, dan pembinaan dari Laznas Baitul Maal Hidayatullah (BMH).
Malam itu, sembari berbincang, Sukarwan menuturkan keinginannya agar petani kopi di desanya mendapat akses bantuan pasca panen. Menurutnya, jika kopi Rahtawu bisa dikelola dengan baik, hasilnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
“Harapannya masyarakat semakin bersyukur kepada Allah, sehingga ibadah dan kemajuan umat dalam banyak sektor bisa kita lakukan bersama-sama,” ujarnya penuh harap.
Sukarwan memang dikenal sebagai pribadi yang sederhana namun penuh semangat. Siapa pun yang baru mengenalnya mungkin hanya melihat sosok yang khusyuk dalam dzikir. Tetapi di balik itu, ia punya sisi lain yang mengejutkan.
Ia lihai mengendarai motor menaklukkan jalan curam Gunung Muria. Tidak jarang ia membonceng istrinya melewati jalur terjal dengan kecepatan tinggi, sambil tetap tersenyum santai. “Baru sampai sini,” candanya saat berhenti sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju lereng gunung.
Kehidupan Sukarwan adalah percampuran unik antara keteguhan spiritual dan ketangguhan fisik. Di satu sisi ia seorang santri yang setia berdakwah, di sisi lain ia seorang petani yang tekun membudidayakan kopi, serta pengendara tangguh yang menjadikan medan berat sebagai sahabat sehari-hari.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sukarwan tidak pernah benar-benar sendirian. Sahabat lamanya di pondok dulu, seperti Ustaz Iman Syahid dan Ustaz Hanifullah, sering berkunjung ke Rahtawu. Mereka datang bukan hanya membawa kabar, tetapi juga energi persaudaraan yang membuat Sukarwan merasa didampingi.
“Dua orang itu sahabat dan guruku. Mereka selalu datang menengok saya yang banyak melakukan dakwah fardiyah di sini,” ujarnya dengan mata berbinar.
Kini, asa baru sedang bertumbuh. BMH Kudus dan Jawa Tengah berencana membantu pengembangan kopi Rahtawu agar bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Langkah ini diyakini akan memperkuat kemandirian ekonomi warga sekaligus menghidupkan dakwah yang lebih berkelanjutan.
Eko, Koordinator BMH Kudus, menyelipkan kalimat penuh makna di sela obrolan malam. “Saatnya santri berdaya dengan kopi. Karena dakwah itu nikmat sambil ngopi-ngopi. Siapa yang tak suka kopi, aromanya saja sudah bisa menggugah imajinasi.”
Seloroh hangat Eko itu membuat semua yang hadir tertawa ringan, meski dalam hati mereka tahu bahwa kalimat itu mengandung pesan serius: dakwah tidak bisa dilepaskan dari pemberdayaan.
Sukarwan sendiri tidak pernah berhitung seberapa jauh ia telah berjalan. Ia hanya terus menapaki jalannya dengan penuh ketulusan. Setiap butir kopi yang ia tanam, setiap dzikir yang ia lafalkan, setiap langkah yang ia ayunkan di jalanan terjal Muria, semuanya adalah bagian dari pengabdiannya.
Di usianya yang mendekati enam dekade, Sukarwan seolah hendak membuktikan bahwa menjadi santri bukanlah fase sementara, melainkan jalan hidup. Santri adalah identitas yang melekat hingga akhir hayat, yang terus memandu untuk berbuat baik, bermanfaat, dan berguna bagi sesama.
Maka, bila ditanya apa yang membuat Sukarwan tetap teguh di jalan ini, jawabannya sederhana, ia ingin hidup bermakna, hidup yang dekat dengan Allah, sekaligus bermanfaat bagi manusia.
Dalam kesederhanaannya, ia mengajarkan bahwa dakwah bisa hadir dalam secangkir kopi, dalam senyum tulus, dan dalam ketekunan seorang santri desa yang tak pernah lelah mencintai umatnya.






