
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah, Dr. Nanang Nurpatria, M.Pd.I, menyoroti fenomena viral yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Ia menilai bahwa peristiwa yang semula tampak sederhana justru mengungkap kondisi serius tentang arah dan nilai pendidikan di Tanah Air.
Kasus yang menjadi perhatian publik beberapa hari belakangan tersebut bermula dari tindakan seorang kepala sekolah yang memberikan hukuman kepada muridnya setelah ketahuan merokok.
Peristiwa itu memicu gelombang reaksi di masyarakat hingga memunculkan perdebatan luas antara pihak yang mendukung tindakan disipliner dan mereka yang menentangnya.
“Fenomena tentang kepala sekolah yang disangsi karena menghukum muridnya setelah ketahuan merokok menjadi viral karena ada pro kontra yang mengiringinya,” ujar Nanang Nurpatria dalam keterangannya pada Jumat, 25 Rabi’ul Akhir 1447 (17/10/2025).
Ia menilai bahwa dinamika yang muncul dari peristiwa tersebut bukan hanya soal hukuman terhadap pelanggaran disiplin, melainkan juga memperlihatkan potret carut-marutnya sistem pendidikan nasional. Menurutnya, publikasi yang masif di media sosial dan respon emosional dari berbagai pihak menunjukkan bahwa dunia pendidikan kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
“Secara umum dunia pendidikan tercoreng bahkan ‘terpasung’ setelah melihat kepsek yang dipermasalahkan dan ada ‘mogok belajar’ kolektif sebagai bentuk solidaritas teman, terlepas benar atau salah,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa kejadian tersebut mengindikasikan adanya krisis nilai dan disharmoni antara tiga pilar utama pendidikan di Indonesia. Program tripusat pendidikan, yakni sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, yang selama ini diagungkan ternyata belum mampu diwujudkan secara nyata dalam praktik.
“Hal ini mengindikasikan lemah arah filosofis sistem pendidikan kita, yang mengusung program tripusat pendidikan; sinergi sekolah, keluarga, dan masyarakat,” ujar Nanang.
Menurutnya, semangat kolaborasi yang diharapkan dari tiga pihak itu justru sering berbalik menjadi sumber ketegangan. Di lapangan, sekolah kerap menghadapi tekanan dari masyarakat maupun orang tua murid ketika menerapkan tindakan disiplin. Akibatnya, lembaga pendidikan kehilangan wibawa dan kesulitan menjalankan fungsi pembinaan karakter sebagaimana mestinya.
“Di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya antar pihak saling mengincar dan mengintimidasi, sehingga bukannya sinergi tapi silih berganti untuk mencari kesalahan terhadap proses pendidikan anak bangsa yang dilakukan di sekolah,” katanya.
Nanang menjelaskan bahwa dalam kasus pelanggaran seperti merokok di kalangan pelajar, penegakan disiplin memang penting, namun tidak boleh berhenti pada tindakan hukuman semata. Ia menegaskan bahwa pendekatan pendidikan seharusnya menyentuh akar persoalan perilaku siswa, bukan hanya gejalanya.
“Anak yang dihukum karena merokok dengan memberikan hukuman saja tidak cukup,” tegasnya.
Ia mencontohkan, jika hukuman diberikan tanpa memahami konteks dan penyebab perilaku menyimpang, maka upaya tersebut tidak akan membuahkan hasil jangka panjang. Pendekatan semacam itu hanya bersifat reaktif, bukan edukatif.
“Menghukum tanpa memahami akar masalahnya ibarat memangkas rumput liar tanpa mencabut akarnya. Ia akan tumbuh kembali, bahkan mungkin lebih kuat,” jelasnya.
Menurut Nanang, problem utama pendidikan di Indonesia saat ini terletak pada kurangnya perhatian terhadap pembangunan kesadaran anak didik. Sekolah cenderung fokus pada capaian akademik dan pengendalian perilaku, namun abai terhadap pembentukan kesadaran diri dan nilai-nilai moral.
“Ada problem utama yang belum tersentuh dalam dunia pendidikan saat ini, yaitu membangun kesadaran anak didik,” ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa pendekatan deep learning dalam pendidikan sebenarnya sudah mengarah pada upaya membentuk kesadaran peserta didik. Namun, pendekatan tersebut kerap berhenti di tataran teknis dan belum menyentuh dimensi filosofis yang lebih mendalam.
“Dengan pendekatan deep learning, memang sudah ada salah satu poin penting untuk membangun kesadaran, semoga tidak sekedar di tataran permukaan,” tutur Nanang.
Dalam pandangan Nanang, kesadaran yang kokoh hanya bisa dibangun di atas landasan nilai dan keyakinan yang benar. Ia menegaskan bahwa pendidikan yang berorientasi pada nilai spiritual dan moral akan melahirkan anak didik yang memiliki integritas serta daya tahan terhadap pengaruh negatif lingkungan.
“Faktor utama dalam membangun kesadaran itu berangkat dari nilai-nilai dasar atau filosofi yang dianut, diistilahkan dengan kepercayaan atau keyakinan. Pendidikan Islam yang integral hadir untuk menjawab persoalan ini,” pungkasnya.
Nanang Nurpatria menegaskan pentingnya reposisi paradigma pendidikan di Indonesia. Ia menilai bahwa peran sekolah sebagai tempat pembentukan karakter harus didukung sepenuhnya oleh keluarga dan masyarakat, bukan justru dipersalahkan ketika menerapkan prinsip disiplin.
“Krisis pendidikan yang tampak di permukaan sesungguhnya berakar pada hilangnya nilai filosofis dan keimanan sebagai fondasi utama pendidikan bangsa,” tegasnya menandaskan.






