AdvertisementAdvertisement

Iqra’ sebagai Mandat Keilmuan dan Penjernihan Epistemik

Content Partner

RAIS ‘Aam Hidayatullah, KH Abdurrahman Muhammad, mengajukan pertanyaan dalam taujih yang disampaikannya pada Pekan Orientasi Pengurus Tingkat Pusat Hidayatullah Periode 2025–2030 di Bogor, Jawa Barat, pada Senin, 26 Jumadil Awal 1447(17/11/2025):

“Mengapa Allah memerintahkan iqra’ atau membaca kepada Muhammad yang ummy atau tidak bisa membaca dan menulis?”

Pertanyaan tersebut tidak dimaksudkan untuk dijawab langsung oleh peserta, melainkan untuk membuka ruang tadabbur tentang relasi wahyu, pengetahuan, dan proses pembentukan peradaban. Penulis penasaran untuk menggali jawaban dari pertanyaan tersebut.

Diskursus mengenai wahyu pertama dalam Islam merupakan salah satu tema sentral dalam kajian Qur’anic Studies, sejarah kenabian, dan epistemologi Islam. Hidayatullah dalam pergerakan dakwahnya mengikuti manhaj Sistematika Wahyu, sehingga memiliki konsentrasi kuat untuk menggali tadabbur, hikmah, dan nilai dari pertanyaan tersebut.

Sistematika Wahyu berdasarkan lima surat pertama—Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-Muzammil, Al-Muddatstsir, dan Al-Fatihah—menunjukkan bahwa wahyu tidak hadir secara acak, tetapi mengikuti kurikulum dakwah yang sangat sistematis. Al-‘Alaq meletakkan fondasi pengetahuan dan kesadaran ketuhanan melalui seruan iqra.

Sebelum Islam, masyarakat Arab pra-Islam hidup dalam tradisi lisan yang sangat kuat. Tingkat literasi rendah, kegiatan pencatatan minim, dan tradisi penulisan ilmiah hampir tidak dikenal. Bahkan bangsa Arab saat itu dikenal dengan istilah jahiliyah karena masih diselimuti kebodohan peradaban.

Dalam lanskap sosial seperti itu, perintah iqra’ atau “bacalah” hadir sebagai pesan linguistik, spiritual, dan peradaban yang sangat revolusioner. Lebih mengejutkan lagi, perintah tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad yang secara historis dikenal sebagai ummy, yakni seseorang yang tidak membaca dan tidak menulis.

Paradoks inilah yang memunculkan diskursus akademik yang luas, baik dalam literatur klasik maupun kajian modern. Dalam perspektif teologi Islam, kondisi ummiyyah Nabi saat menerima wahyu pertama justru menjadi penegas otentisitas wahyu: Al-Qur’an tidak lahir dari konstruksi intelektual manusia, tetapi merupakan firman Allah yang otentik.

Dengan demikian, kemampuan Nabi menyampaikan Al-Qur’an tanpa proses literasi formal menjadi salah satu bentuk penjagaan terhadap kemurnian dan kredibilitas wahyu.

Perintah iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq merupakan konstruksi epistemologis yang menjadi dasar bangunan keilmuan Islam. Meskipun Nabi Muhammad secara historis dikenal sebagai ummy, perintah “bacalah” tidak dimaksudkan sebagai tindakan membaca teks tertulis secara literal, tetapi sebagai aktivasi perangkat epistemik yang bersumber dari wahyu.

Ulama seperti Al-Tabari, Al-Razi, dan Ibn Katsir menekankan bahwa iqra‘ dalam konteks ini adalah perintah memulai proses penyingkapan pengetahuan melalui bimbingan langsung Allah, bukan sekadar aktivitas kognitif berbasis literasi material.

Karena itu, iqra‘ dipahami sebagai perintah memasuki struktur epistemik baru: pengetahuan yang diinisiasi oleh Allah, bukan oleh kemampuan intelektual manusia. Dengan demikian, konsep ummiyyah Nabi tidak dapat dipahami sebagai keterbatasan kognitif, tetapi sebagai ruang epistemologis yang sengaja dikosongkan oleh Allah agar wahyu turun pada medium yang bebas dari bias, tradisi literer, maupun konstruksi intelektual pra-Islam.

Ketidakmampuan membaca justru menjadi purifikasi epistemik yang memastikan bahwa sumber pengetahuan Nabi tidak bercampur dengan produk budaya atau filsafat manusia, sehingga Al-Qur’an tampil sebagai teks ilahi yang otentik.

Kondisi ummy Nabi Muhammad juga mencegah tuduhan plagiarisme dari korpus Yahudi-Nasrani atau literatur Arab pra-Islam. Konsep ilmiah mengenai authenticity safeguard merujuk pada mekanisme penjagaan keaslian suatu sumber pengetahuan agar tetap murni, tidak terdistorsi, dan bebas dari kontaminasi unsur luar.

Dalam konteks epistemologi kenabian, hal ini terwujud melalui ketidakaksaraan Nabi sebagai filter epistemik, verifikasi malaikat Jibril, hafalan kolektif para sahabat, serta kodifikasi yang ketat. Semua ini melindungi integritas wahyu sehingga tetap otentik dan tidak bercampur dengan spekulasi rasional atau tradisi literer manusia.

Dengan kata lain, ketidakmampuan membaca justru menjadi modal epistemologis yang menjamin kemurnian wahyu. Perintah iqra’ menjadi titik balik yang mengubah keadaan ummiyy itu menjadi kapasitas kenabian berbasis wahyu.

Sementara itu, pendekatan linguistik dan hermeneutik modern memaknai iqra’ bukan hanya sebagai instruksi membaca teks, tetapi sebagai mandat epistemik: perintah untuk memulai proses menerima, menginternalisasi, memahami, mengolah, dan menyampaikan wahyu sebagai sumber otoritas pengetahuan yang baru. Dengan demikian, iqra’ menjadi simbol kelahiran sistem ilmu dalam Islam.

Penelitian-penelitian kontemporer juga menegaskan bahwa wahyu pertama bukan hanya meletakkan fondasi spiritual, tetapi juga merumuskan paradigma epistemologi Islam yang mengintegrasikan tauhid, akal, literasi, dan etika pengetahuan.

Frasa ‘bi-smī rabbika’ menegaskan bahwa seluruh produksi dan transmisi ilmu harus berlangsung dalam bingkai kesadaran ketuhanan. Sementara itu, penegasan ”alladzī ‘allama bil-qalam‘ menunjukkan bahwa teknologi dokumentasi—qalam sebagai simbol literasi—memiliki peranan penting dalam pembangunan peradaban Islam.

Karena itulah para sejarawan dan pemikir peradaban menilai bahwa wahyu pertama tidak hanya menggerakkan misi kenabian, tetapi juga memulai transformasi intelektual umat manusia. Seruan iqra’ kemudian melahirkan gerakan ilmu, inovasi, dan peradaban yang berlangsung selama berabad-abad; dari masjid menjadi pusat pembelajaran, dari rumah menjadi majelis ilmu, dan dari pena menjadi instrumen perubahan peradaban.

Dalam era digital ketika informasi melimpah tetapi kebijaksanaan menipis, pesan iqra’ tetap relevan sebagai panggilan umat untuk kembali kepada tradisi ilmu yang beradab: membaca dengan hati yang tunduk kepada Allah, berpikir dengan akal jernih, dan menyebarkan pengetahuan dengan etika dan tanggung jawab. iqra’ bukan sekadar kata kerja, tetapi misi peradaban.

Maka akan sangat aneh jika ada orang-orang beriman yang malas membaca, terlebih kader-kader Hidayatullah yang telah beberapa kali mendapat pencerahan jati diri namun kurang bersemangat dalam bidang literasi.[]

*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis Ketua Bidang Perkaderan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Muswil Hidayatullah DIY Teguhkan Peran dalam Pembangunan Daerah

SLEMAN (Hidayatullah.or.id) -- Musyawarah Wilayah (Muswil) Hidayatullah ke-6 Daerah Istimewa Yogyakarta digelar pada momentum penting ketika konsolidasi keumatan dan...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img