AdvertisementAdvertisement

Direktur PUZ Kaji Modernitas dan Urgensi Ma’rifatullah dalam Kehidupan Muslim

Content Partner

BALIKPAPAN (Hidayatullah.or.id) — Tujuan utama seorang hamba adalah mengenal Allah dengan baik (ḥaqq al-maʿrifah). Ini adalah ilmu yang paling utama, paling tinggi, dan paling mulia.

Demikian disampaikan Direktur Pendidikan Ulama Zuama (PUZ) Hidayatullah sekaligus Anggota Komisi Fatwa MUI Balikpapan Ust. H. Muhammad Dinul Haq, Lc., saat kajian rutin malam di Masjid Ar-Riyadh, Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Ahad, 21 Syawal 1446 H (20/4/2025).

Kajian yang dibawakan mengangkat pokok bahasan dari kitab Fiqhul Asma’ul Husna karya Syaikh Abdurrazaq Al-Badar, sebuah karya yang menyelami dimensi spiritualitas Islam melalui pengenalan terhadap nama-nama Allah yang agung.

Dalam pemaparannya, Dinul Haq menggarisbawahi bahwa inti dari kehidupan seorang Muslim tidak lain adalah mencapai kualitas pengenalan terhadap Allah—ma’rifatullah—secara hakiki.

Menurutnya, hanya dengan mengenal Allah secara mendalam, hati seorang hamba akan memperoleh kehidupan yang sejati. Hal ini merupakan fondasi teologis yang mendasari segala bentuk amal ibadah dalam Islam.

“Orang-orang berlomba-lomba dalam kebaikan karena mereka tahu, hanya dengan mengenal Allah, hati seorang hamba akan hidup,” terangnya.

Keyakinan itu melahirkan implikasi bahwa hidup yang benar-benar hidup adalah hidup yang berlandaskan pada kedekatan dan pengenalan terhadap Sang Pencipta.

Dalam kerangka ini, Ustadz Dinul Haq menegakan, pengenalan terhadap Asmaul Husna adalah jalan spiritual menuju hidup yang bermakna.

Ustaz Dinul Haq juga menyinggung dampak kehidupan modern yang tidak jarang menjauhkan manusia dari makna keberadaan dirinya karena tumbuhnya rasa bangga dan sombong atas berbagai keunggulan yang dicapai seolah atas kuasa dirinya belaka.

“Kehidupan modern sering kali membuat manusia lupa akan hakikat penciptaan mereka. Banyak orang menjalani hidup seperti hewan ternak—bergerak tanpa arah, makan tanpa rasa syukur, dan mati tanpa makna,” imbuhnya.

Ia pun menyampaikan sebuah seruan untuk kembali meninjau ulang cara pandang manusia terhadap eksistensinya.

“Yang sangat mengherankan,” ujarnya dengan nada prihatin, “adalah kondisi manusia yang berlalu zaman dan habis umurnya, sementara hatinya tidak merasakan nikmat hidup mengenal Allah SWT dan dekat dengan-Nya.”

Dalam kondisi seperti ini, manusia akhirnya mengalami kematian spiritual bahkan sebelum kematian fisikal menjemputnya.

“Hidup mereka lemah, tidak ada pegangan. Kalau mati, hanya kebinasaan yang menanti. Dan pada hari kebangkitan, mereka hanya bertemu penyesalan dan kerugian.”

Ia menekankan tentang urgensi kesadaran spiritual di tengah dinamika dunia modern yang sarat dengan distraksi material.

“Hukuman paling berat di dunia ini adalah Allah Ta’ala mengunci lisan seseorang dari mengingat nama-nama-Nya yang mulia,” terangnya.

Kajian ini ditutup dengan ajakan reflektif untuk mencintai Allah, menjadikan ibadah sebagai kebutuhan jiwa, dan merasa diawasi oleh-Nya sebagai bentuk penjagaan spiritual yang hakiki.

“Ketika kita mencintai Allah, beribadah kepada-Nya, dan merasa terjaga karena dekat dengan-Nya, barulah hati kita benar-benar hidup,” katanya.*/

Reporter: Herim Ahmad
Editor: Adam Sukiman
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Menghadapi Krisis Umat dengan Sinergi Dakwah sebagai Jalan Perubahan

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Dalam acara Silaturrahim Daring Kabid Dakwah dan Pelayanan Ummat yang bertajuk “Menguatkan Tugas Murabbi dalam Gerakan...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img