NABI Muhammad, semoga shalawat dan salam terbaik selalu tercurah untuknya dan keluarga yang mulia, hanya bisa diam mematung. Tepat di hadapannya terbujur kaku manusia tercinta, Abu Thalib.
Sedihnya terasa makin berlipat karena pengganti orangtuanya sejak masa kecil itu justru meninggal dunia dalam keadaan kufur. Ia memilih bertahan dalam kesyirikan, menuruti nasihat sahabat-sahabat jahiliah yang turut menjenguknya saat sakaratul maut.
Jika boleh mengira, adakah iris kesedihan di atas lapis duka ini? Setiap waktu Nabi mengitari lorong-lorong kota Makkah untuk mendakwah. Bahkan risalah Tauhid yang diembannya dimaksudkan menjamah seluruh manusia dan semesta alam tanpa kecuali.
Nahas, orang terkasihi Nabi tersebut justru mati berkalang tanah. Lidahnya tak pernah sekalipun dibasahi dengan istighfar, memohon ampun kepada Penciptanya. Itulah yang dialami oleh manusia terbaik sekaligus teladan sepanjang masa. Jiwa Rasulullah benar-benar terpukul lagi terguncang.
Kurang apa usahanya membujuk saudara ayahnya itu untuk mengeja dua kalimat syahadat? Satu ucapan yang telah digaransi langsung dari langit niscaya memberi keberuntungan bagi pemiliknya. Tak hanya keselamatan di dunia, tapi juga kebahagiaan hakiki di Akhirat kelak.
Lara yang melanda Nabi Muhammad tersebut segera mendapatkan terapi khusus. Allah menghadiahinya hiburan yang menenangkan jiwa. Menerangkan hakikat sebenarnya tentang perjalanan hidup manusia di dunia.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai. Tapi Allah Yang Maha Memberi hidayah kepada sesiapa saja yang dikehendakinya,” (Al-Qashash [28]: 56).
Hikmahnya, begitulah kehidupan mengajarkan. Terkadang ada ratusan warna-warni di benak seorang manusia. Ada hati yang suka membisik dan membujuk. Ada akal memilih dan membenarkan dengan analisis logisnya.
Ucapan dan tingkah laku manusia kemudian menjatuhkan pilihan yang dimaksud. Namun realitasnya, rona terindah itu tetap milik Yang Maha Bijak. Pilihan Allah ialah warna terbaik bagi semuanya.
Bagi orang yang lalai dari agama, apalagi ingkar kepada Sang Khaliq, demikian itu selalu meresahkan dan jadi biang masalah. Ia bahkan bisa frustasi dibuatnya. Bagaimana mungkin takdirnya selalu berseberangan dengan keinginan orang itu. Kenapa bisa, yang direncanakan tak sesuai dengan hasil yang didapatkan?
Padahal, ia mengaku, telah merancangnya dengan kehebatan ilmu dan keluasan kompetensi yang dimiliki. Lalu kenapa mesti ada Tuhan dan doktrin kewajiban beragama? Demikian imajinasinya kian liar merambah kemana-mana.
Uniknya, orang beriman lain juga cara menyikapi ragam pilihan tersebut. Warna warni itu malah membuat dirinya makin hidup dan kian ceria. Menurutnya itulah tanda yang paling utama akan kebodohan manusia.
Tak punya ilmu kecuali sedikit saja. Ini sekaligus memicu semangatnya untuk giat menuntut ilmu dan bertawakkal. Bahwa tugas manusia adalah berusaha dan bekerja maksimal. Setelah itu mari merayakan status hamba itu dengan memperbanyak doa dan sujud kepada Sang Khalik di waktu-waktu sunyi.
Justru aneh, jika ada orang hanya mematok warna tertentu dalam hidupnya. Seolah akalnya begitu cerdas dan ilmunya sedemikian hebat dalam memastikan semua hajat hidupnya. Ia merasa sebagai penguasa yang punya kehendak mutlak. Layaknya raja-raja zalim yang mesti dituruti semua keinginannya. Sedang yang lain ditampik begitu saja.
Sejatinya, orang-orang seperti itu termasuk merugi dan pantas dikasihani. Imam Zarnuji, pengarang kitabTaklim Muta’allim, menyebut mereka sebagai golongan yang tak kunjung sampai dengan cita-cita ilmunya.
Semua yang dimiliki telah dikorbankan untuk mengejar ilmu. Tapi yang diperoleh menjadikan dia makin kehausan. Ibarat orang yang tertipu dengan fatamorgana. Menyangka ada setetes air yang bisa direguknya. Tapi justru bayangan itu tiba-tiba menghilang. Dirinya letih berjalan. Sedang dahaga itu makin menjadi-jadi.
Lebih parah lagi, manusia demikian bisa berubah menjadi sosok yang berbahaya. Gagasan dan pikirannya jadi rusak dan merusak di sekitarnya. Karena apa yang diperbuatnya selalu dianggap benar dan dibenarkan. Ia bisa berdalih dengan dalil-dalil agama yang dikuasainya. Bahkan kadang lisannya lebih fasih saat membacakan dalil yang melegitimasi amal perbuatannya.
Lalu bagaimana Mukmin yang berilmu? Seharusnya, semua ketetapan Allah mengandung hikmah dan pelajaran. Segala sesuatu mesti ditimbang dengan iman yang memenuhi rongga jiwanya. Kata Nabi mengingatkan, orang beriman itu adalah manusia beruntung sepanjang waktu.
Asal ia mau bersabar dan bersyukur dalam menjalani warna pelangi dalam kehidupannya. Ibarat pelangi yang indah dengan kumpulan warna-warninya. Lukisan itu terbit setelah hujan yang membasahi permukaan bumi.
MASYKUR SUYUTHI