SEPERTI biasa, setiap malam mencoba istiqamah melanjutkan kebiasan baik yang telah diajarkan ketika masih sebagai santri, membaca Surat Al-Mulk setiap malam sebagai ibadah dzikir harian.
Sebagai seorang pendidik, suatu malam, ketika membaca ayat ke-23 dari surat ini, ada yang tak biasa padahal ayat ini etah sudah berapa kali membacanya, malam itu merasa terdorong untuk merenungkan secara lebih mendalam tentang apa yang Allah sampaikan:
قُلْ هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
“Katakanlah, Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al-Mulk: 23)
Ayat ini memberikan inspirasi mendalam tentang bagaimana Allah telah menganugerahkan perangkat-perangkat vital—pendengaran (As-Sam’a), penglihatan (Al-Abshar), dan hati (Al-Af’idah)—yang seharusnya menjadi instrumen utama dalam proses pembelajaran dan pencarian ilmu.
Perenungan itu menggerakan tangan saya membuat gambar segitiga dengan keterangannya menjadi representasi dari integrasi ketiga perangkat ilmu ini dalam konteks pendidikan, bukan hanya sebagai sebuah tadabbur, tetapi juga sebagai landasan untuk refleksi mendalam mengenai esensi dan praktik pendidikan.
Dalam sistem pendidikan modern yang sering kali didominasi oleh perangkat formal dan material, seperti kurikulum, buku teks, dan teknologi, kita kerap melupakan perangkat pembelajaran alami yang telah Allah berikan. Standar yang ditetapkan oleh dinas pendidikan lebih banyak menekankan pada pencapaian kognitif yang dapat diukur, sementara dimensi spiritual, emosional, dan moral sering kali terabaikan.
Gambar segitiga yang melibatkan pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai instrumen ilmu pengetahuan sebenarnya menegaskan kembali pentingnya ketiga perangkat ini dalam proses belajar-mengajar.
Pendengaran bukan sekadar mendengar kata-kata, tetapi mengembangkan kepekaan untuk menyaring informasi dan hikmah. Penglihatan bukan sekadar melihat, tetapi memahami dan menganalisis dunia di sekitar. Hati bukan sekadar perasaan, tetapi sebagai pusat refleksi, intuisi, dan pemahaman mendalam.
Dalam konteks pendidikan, ketiga perangkat ini harus diaktifkan secara sadar. Misalnya, John Dewey, seorang pemikir pendidikan progresif, pernah menyatakan bahwa pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri.
Sejalan dengan konsep dalam Islam di mana pembelajaran tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari dan harus melibatkan seluruh aspek diri manusia—baik fisik, intelektual, maupun spiritual.
Refleksi bagi Para Pendidik
Sebagai seorang guru, menyadari pentingnya mengaktifkan ketiga perangkat ini dapat merubah pendekatan mengajar. Guru harus lebih dari sekadar penyampai materi; mereka harus menjadi pembimbing spiritual dan moral yang membantu siswa untuk mengembangkan pendengaran, penglihatan, dan hati mereka secara utuh.
Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin menekankan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang menuntun seseorang untuk mendekat kepada Allah, dan ini hanya bisa dicapai ketika hati turut berperan dalam proses pembelajaran.
Orang tua juga memiliki peran krusial dalam mengaktifkan perangkat ini di rumah. Dengan memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari dan menciptakan suasana yang mendukung refleksi, diskusi, dan eksplorasi, orang tua dapat membantu anak-anak mereka melihat dunia sebagai tempat belajar yang luas dan penuh makna.
Para penggiat pendidikan dan pemangku kebijakan juga harus memahami bahwa pendidikan sejati melibatkan seluruh dimensi manusia, bukan hanya otak tetapi juga hati dan jiwa. Pendidikan yang sukses tidak hanya menghasilkan individu yang pintar secara akademis, tetapi juga bijak, empatik, dan bermoral.
Mahatma Gandhi pernah berkata, “Education which does not mold character is absolutely worthless.” Artinya, pendidikan yang tidak membentuk karakter sama sekali tidak berharga. Oleh karena itu, peran hati dalam pendidikan harus diakui dan diintegrasikan.
Aktivasi Menuju Ilmu Pengetahuan yang Sejati
Dalam refleksi saya malam itu, saya teringat akan sebuah ayat lain yang juga sangat relevan dalam konteks ini, yaitu Surat Al-Hajj ayat 46.
Surat Al-Hajj ayat 46 mengingatkan kita akan pentingnya mengaktifkan perangkat pembelajaran yang telah Allah anugerahkan kepada setiap manusia. Ayat tersebut berbunyi:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
Ayat ini menggarisbawahi bahwa meskipun seseorang memiliki penglihatan fisik yang baik, mereka dapat tetap “buta” jika hati mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya. “Buta” di sini bukanlah buta secara fisik, melainkan buta hati, yang berarti kehilangan kemampuan untuk memahami dan menyerap kebenaran yang ada di sekitar mereka.
Meskipun sebuah lembaga pendidikan melengkapinya dengan perangkat pengajaran yang luar biasa, ketika diperhadapkan dengan siswa yang belum aktif secara perangkat yang ada pada dirinya menjadi tantangan tersendiri.
Ini berkaitan erat dengan konsep mengaktifkan perangkat pembelajaran yang telah Allah berikan: pendengaran, penglihatan, dan hati. Ketika perangkat-perangkat ini diaktifkan, seseorang tidak hanya akan melihat dunia dengan mata fisiknya tetapi juga akan memahami makna yang lebih dalam dari apa yang dilihatnya. Inilah yang membedakan antara melihat dan memahami, antara mendengar dan benar-benar mendengarkan.
Sejarah telah mencatat bahwa banyak ilmuwan besar, baik Muslim maupun non-Muslim, berhasil mengakses pengetahuan yang luar biasa dengan mengaktifkan perangkat-perangkat ini. Isaac Newton dengan keinginannya untuk memahami hukum-hukum alam, Albert Einstein dengan imajinasinya yang melampaui batas-batas pengetahuan konvensional, dan Nikola Tesla dengan kemampuannya untuk melihat detail-detail yang tak terlihat oleh kebanyakan orang, semuanya menunjukkan bagaimana hati yang terbuka dan “rasa syukur” terhadap kemampuan yang diberikan oleh Allah dapat membawa mereka kepada penemuan-penemuan besar.
Surat Al-Hajj ayat 46 juga mengajarkan kita bahwa untuk menjadi pembelajar sejati, seseorang harus melampaui batas-batas pengetahuan yang terlihat oleh mata fisik dan menyentuh pengetahuan yang hanya bisa diakses melalui hati yang bersyukur dan pikiran yang aktif.
Henry David Thoreau pernah berkata, “It is not what you look at that matters, it’s what you see.” Ini sejalan dengan pesan ayat ini—melihat dengan mata hati adalah kunci untuk memahami dunia dengan lebih mendalam.
Lebih lanjut, Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf dari Brasil, dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas” menekankan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan. Ketika seseorang benar-benar mengaktifkan hati, mereka tidak hanya akan menjadi lebih peka terhadap dunia di sekitar mereka tetapi juga akan terbebas dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan.
Pendidikan Manifestasi Iman
Refleksi ini menunjukkan betapa pentingnya bagi para guru, orang tua, dan siapa pun yang peduli pada pendidikan untuk membantu siswa mengaktifkan perangkat-perangkat pembelajaran yang telah Allah berikan. Dan sebagai manifestasi iman dengan sikap penuh rasa syukur buka semata menggunakan instrumen dalam pendidikan.
Ketika hal ini dilakukan dengan kesadaran dan rasa syukur, para pembelajar akan menemukan bahwa mereka dikelilingi oleh keberlimpahan bahan ajar (Allah tambah kesyukuran hamba), sama seperti para ilmuwan besar yang menemukan penemuan mereka.
Seperti yang diingatkan dalam Surat Al-Hajj ayat 46, “bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” Marilah kita semua mengaktifkan hati kita, sehingga kita bisa memahami dan mensyukuri segala ilmu yang Allah telah sediakan di alam ini.
Hanya dengan demikian, kita bisa menjadi pembelajar sejati yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga teguh dalam iman, bijaksana dan penuh rasa syukur.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Wallahu’alam
*) Rusman Abdillah, S.E, penulis adalah Kepala Sekolah SD Integral Ummul Quro Hidayatullah Karawang, Jawa Barat