JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) Imam Nawawi mengatakan perintah iqra’ termaktub dalam wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah sebuah seruan yang melampaui dimensi literal. Selain sebagai ajakan untuk membaca secara harfiah, ia adalah panggilan untuk mengintegrasikan pengetahuan dengan keimanan.
Menurut Imam, sambungan kata “bismirabbik” (dengan nama Tuhanmu) setelah lafaz iqra’ dalam surah Al ‘Alaq ayat pertama ini memberikan konteks teologis yang mengarahkan aktivitas membaca menjadi ibadah, sekaligus panduan moral dalam mengelola ilmu.
“Islam menempatkan membaca sebagai gerbang pengetahuan sekaligus fondasi peradaban. Namun, aktivitas membaca yang tidak dilandasi keimanan rentan menjerumuskan manusia ke dalam penggunaan ilmu untuk hal-hal destruktif,” kata Imam, dalam forum diskusi Prospect yang digelar pada Selasa, 24 Jumadil Awal 1446 (26/11/2024).
Sejarah telah menunjukkan bagaimana kemajuan teknologi yang tidak berlandaskan moralitas menciptakan dampak buruk, mulai dari perang hingga eksploitasi lingkungan. Dalam hal ini, sambungan bismirabbik menjadi elemen mendasar yang membedakan aktivitas membaca sebagai ibadah, bukan sekadar akumulasi informasi dan penguasaan teori.
“Ilmu yang dipelajari tanpa melibatkan Allah di dalamnya akan kehilangan arah dan tujuan. Dengan bismirabbik, ilmu tidak hanya untuk kemajuan dunia, tetapi juga menjadi jalan mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi manusia,” jelasnya.
Membaca dengan keimanan ini, jelasnya, berarti memahami bahwa ilmu adalah amanah yang harus digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan pribadi atau merugikan orang lain.
Pondasi Kejayaan Umat
Oleh karena itu, lebih lanjut Imam menjelaskan, refleksi dan aktualisasi yang mendalam terhadap iqra’ bismirabbik menjadi kunci kebangkitan umat Islam. Umat yang mengabaikan nilai-nilai ini sering terjebak pada sekadar mengejar kemajuan material, tanpa membangun landasan spiritual.
“Akibatnya, banyak yang memandang dakwah dan perjuangan sebagai beban, alih-alih sebagai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai Islam,” imbuhnya.
Sejarah peradaban Islam membuktikan bahwa kesetiaan kepada ajaran agama yang utuh mampu membawa umat ke puncak kejayaan. Masa keemasan Islam di era Abbasiyah, misalnya, menunjukkan bagaimana tradisi keilmuan yang diintegrasikan dengan iman melahirkan ilmuwan besar seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang memberikan kontribusi abadi bagi dunia.
“Tanpa bismirabbik, ilmu bisa menjadi alat untuk menindas dan memanipulasi, seperti yang terjadi pada berbagai rezim otoriter di dunia. Sebaliknya, dengan memahami iqra’ bismirabbik, umat Islam tidak hanya mengejar pengetahuan, tetapi juga memperjuangkan nilai-nilai moral yang akan menjaga keberlangsungan peradaban,” tegasnya.
Menghubungkan dengan Konsep Hannah Arendt
Lebih jauh Imam menguraikan bahwa konsep iqra’ bismirabbik juga dapat dijelaskan melalui kerangka filosofis modern, seperti gagasan Hannah Arendt mengenai labor (kerja), work (karya), dan action (tindakan). Ketiga aspek ini, bagi Imam, memberikan perspektif yang relevan dalam mengartikan pentingnya membaca dalam kerangka Islam.
Dia menjelaskan, dalam perspektif kerja (labor), manusia sering terjebak pada rutinitas sehari hari untuk memenuhi kebutuhan biologis belaka. Namun, iqra’ bismirabbik mengajarkan manusia untuk melampaui aktivitas biologis ini dengan mencari makna yang lebih tinggi dalam hidup, yaitu melalui pemahaman tentang Allah dan ciptaan-Nya.
Demikian pula aktivitas produktif yang menciptakan sesuatu yang bermanfaat merupakan bentuk dari kerangka “work” ala Hannah. Namun, dalam Islam, iqra’ bismirabbik memastikan bahwa karya tersebut tidak hanya bernilai material, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan sosial.
“Dengan kata lain, karya manusia haruslah memberikan manfaat luas bagi umat manusia,” terang Imam.
Pada tingkat tertinggi, manusia tidak hanya bekerja untuk dirinya sendiri (action), tetapi oleh wahyu juga dibimbing untuk membangun hubungan substansial dengan orang lain (hablumminannas) dan hubungan vertikal dengan Tuhan (hablumminallah).
Di sinilah, terang Imam, iqra’ bismirabbik memberi arah agar tindakan manusia menjadi bagian dari misi memakmurkan bumi dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
“Perintah iqra’ bismirabbik adalah panduan universal bagi umat Islam untuk membaca, memahami, dan mempraktikkan ilmu dalam kerangka keimanan. Islam tidak hanya mengajarkan pentingnya mencintai ilmu, tetapi juga menekankan tanggung jawab moral dalam penggunaan ilmu tersebut,” jelas Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023 ini.
Dalam pada itu, di era modern ini, umat Islam perlu membangun tradisi membaca yang progresif, literasi yang tinggi, serta pemikiran yang mengintegrasikan ilmu dengan iman.
Dengan cara ini, dia menambahkan, Islam dapat kembali menjadi pelopor peradaban, membawa kemajuan yang tidak hanya berbasis teknologi, tetapi juga didasari nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang tinggi.
“Saatnya umat Islam menjadikan iqra’ bismirabbik sebagai pijakan untuk bangkit dan memberi kontribusi nyata bagi dunia,” tegasnya menandaskan. (ybh/hidayatullah.or.id)