Hidayatullah.or.id — Kalimantan Timur selalu punya tempat spesial di hati Dahlan Iskan. Karena itu, dia kerap meluangkan waktu untuk bersilaturahmi dengan banyak elemen di daerah ini.
Akhir pekan lalu (22/2), di sela-sela mengikuti Debat Bernegara Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menyempatkan diri menyambangi Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan.
Sosok ahlan Iskan selalu jadi buah bibir masyarakat. Dialah menteri di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kerap membuat aksi berbeda dan jauh dari kesan formal dunia birokrasi. “Pejabat koboi”, itulah julukannya.
Dan, terungkap bahwa dia pernah menolak jadi Menteri BUMN saat diminta oleh SBY. “Saya menolak ketika Pak Presiden meminta saya. Tapi, saya selalu dipanggil dan seolah ‘dipaksa’ untuk mau jadi menteri,” cerita Dahlan di hadapan ratusan santri.
Dahlan akhirnya bersedia, dengan catatan, tak mau mengambil gaji menteri. Sama seperti dia menolak fasilitas saat menjabat direktur utama PT PLN.
Presiden SBY setuju. Dia pun lantas diangkat menjadi Menteri BUMN pada kesempatan reshuffle 19 Oktober 2011 lalu, menggantikan Mustafa Abubakar.
Alasan mengapa tak mau digaji, karena Dahlan sudah bertekad ingin menjalani sisa hidup untuk tidak mau lagi berbisnis. Pria kelahiran Magetan 17 Agustus 1951 ini hanya mau mengurus delapan madrasah milik dia dan keluarganya. Bicara penghasilan, Dahlan sudah memiliki 207 perusahaan media yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Saya memang sudah berjanji dengan diri saya, tak mau ambil gaji Menteri BUMN, termasuk dirut PLN waktu itu. Juga enggak mau memakai mobil dan rumah dinas. Semua aktivitas selama ini menggunakan dana pribadi saya,” ungkap Dahlan. Mendengar penuturan ini, pekik takbir Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar diserukan ratusan santri yang menggema di Masjid Hidayatullah.
Dahlan yang datang ke Ponpes Hidayatullah bersama istri tercinta Hj Nafsiah Sabri, ditemani sejumlah pimpinan koran di bawah naungan Jawa Pos Group, termasuk CEO Kaltim Post Group H Ivan Firdaus dan jajaran pengurus Relawan Demi Indonesia (ReDI).
Ia diterima Pimpinan Ponpes dan Yayasan Hidayatullah, H Zainuddin Mussadad. “Selamat datang Ustaz Dahlan Iskan di Ponpes Hidayatullah. Suatu kehormatan Pak Ustaz Dahlan dapat berkunjung ke pesantren yang punya ratusan cabang se-Indonesia ini,” sambut Zainuddin.
Mendengar dirinya dipanggil “ustaz”, Dahlan seketika meminjam kopiah warna putih milik salah satu jamaah. Sebelumnya, Dahlan juga menjadi imam salat Zuhur berjamaah. “Karena saya dipanggil ustaz, maka saya buru-buru pinjam kopiah putih ini,” kelakarnya, disambut tawa jamaah.
Banyak inspirasi dari Dahlan menjadi bahan motivasi ratusan santri dan ustaz di Ponpes Hidayatullah. Terutama, kisah saat dirinya menderita kanker hati. Pria yang pernah menjadi reporter surat kabar kecil di Samarinda ini mengaku saat itu hanya pasrah serta tawakal ketika divonis dokter usianya tinggal enam bulan.
“Semua dokter dalam dan luar negeri sudah memvonis saya, tidak mungkin punya usia panjang. Tapi, sebagai hamba yang memiliki Tuhan, saya harus melakukan ikhtiar. Caranya, ya, operasi ganti hati,” ceritanya.
Waktu sudah berkurang tinggal lima bulan, tetapi belum juga mendapatkan hati yang baik. Ada hati orang yang meninggal, tapi tidak cocok jenis darah, urutan saraf, dan lainnya. Dan, ketika “usianya” tinggal empat bulan, ada hati anak muda yang meninggal didonorkan kepada dirinya. Alhamdulillah, semuanya cocok. Mulai darah, susunan saraf, maupun karakteristik hati itu sendiri.
“Setelah operasi ganti hati, Allah ternyata menakdirkan umur saya tidak selesai, dan masih bisa berdiri hingga sampai ke Ponpes Hidayatullah ini,” kata Dahlan, disambut senyum semringah seluruh santri.
Karena Tuhan menakdirkan usia Dahlan masih ada, dia ingin mensyukuri tambahan umur itu. “Saya berkeliling dan bertanya ke sejumlah ustaz dan ulama, bagaimana rasa syukur yang paling baik itu. Ternyata, hampir semua jawaban menyebutkan harus kerja, kerja, kerja dengan baik dan jujur. Maka itulah yang saya lakukan untuk bangsa dan negara ini. Makanya saya tidak mau mengambil gaji dan menikmati fasilitas negara,” ujarnya.
Menurut Dahlan, siapa pun sekarang harus kerja giat dan jujur. Tak perlu malu atau takut hanya karena pendidikan formal rendah. Memang, ilmu berguna, tapi yang paling penting adalah kerja dengan ikhlas, ditambah nilai-nilai kejujuran.
“Saya ini lulusan (madrasah) aliyah (setingkat SLTA, Red) dan pernah jadi dirut PLN. Dan, satu-satunya dirut PLN lulusan aliyah. Sekarang jadi Menteri BUMN, mungkin ini satu-satunya lulusan aliyah yang jadi menteri. Nah, sekarang jadi capres. Nanti kalau jadi presiden, merupakan satu-satunya presiden yang lulusan aliyah,” kata Dahlan yang diaminkan seluruh santri, undangan, dan ustaz yang memenuhi masjid.
Dalam posisi sekarang sebagai capres pun sebenarnya, Dahlan ibarat sedang “menjemput takdir”. Takdir itu bisa saja datang, bisa juga tidak.
“Saya tetap berupaya dan berusaha. Nah, takdir itu yang menentukan adalah Allah. Makanya saya sebut menjemput takdir. Kalau jadi presiden saya ingin mengabdi ke negara. Kalau tidak jadi, ya, tidak apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum dan mengakhiri pertemuan di Hidayatullah dengan saling bersilaturahmi. ([email protected]/zal/k8)