SAMARINDA (Hidayatullah.or.id) – Penulis buku ‘Nawaitu Menulis’ Ust Masykur Suyuthi mengajak anak muda untuk mengembangkan gerakan literasi Islam dengan menulis yang memuat pesan-pesan Al Qur’an. Hal itu diutarakan dia kala menjadi narasumber dalama acara Training Dai Jurnalistik diselenggarakan Ikatan Alumni STIS Hidayatullah (IAS-Hida) bekerjasam dengan komunitas Penulis Muda Indonesia (PENA) di Kota Samarinda, Ahad (17/03/19).
“Jika kita berpartisipasi memberikan kebaikan, meski dengan sebuah kalimat atau se-ayat dua ayat maka disitulah kontribusi kita sebagai seorang muslim. Hal ini sangat penting karena nanti kita akan sampai pada sebuah pertanyaan, mengapa saya harus menulis,” kata Masykur yang juga redaktur Majalah Suara Hidayatullah ini.
Masykur menerangkan, jika kita ingin sebuah karya terbaik, maka bersentuhanlah dengan al Qur’an. Artinya, terang dia, karya yang lahirnya didasari dengan al Qur’an akan menjadi karya yang istimewa, menyegarkan dan membahagiakan.
“Begitupun dalam sebuah tulisan jika berangkat dari Al Qur’an sebagai sumber inspirasi pasti bernilai. Baik itu secara konten ataupun semangat dalam menulis. Sebab interaksi indera kita merupakan sumber kebaikan,” imbuhnya.
Kolumnis di sejumlah kanal media ini mengatrakan, kita tidak bisa lagi dipisahkan yang namanya informasi terutama platform digital seperti tulisan. Dunia litersi hari ini, kata dia, merupakan suatu keniscayaan dan ia adalah impact daripada kecepatn teknologi informasi.
“Pertanyaannya, apa yang kita dapat dari media sosial. Siapa yang mendominasi. Kalau yang aktif mengisinya kebanyakan keburukan, maka akan berdampak pada banyak pengguna. Namun jika kita berpartisipasi memberikan kebaikan, meski dengan sebuah kalimat atau seayat dua ayat Al Qur’an,” ujar editor senior Keluargapedia.com ini.
Masykur dalam materinya mengajak kepada seluruh peserta untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya jurnalistik. Pemaparannya ia berangkt dari bukunya “Nawaitu Menulis” yang memang terlahir untuk mengajak kepada setiap muslim terlibat aktif dalm dakwah bil qolam.
Siapa yang tidak kenal JK Rowling, pengarang tokoh fiktif Harry Potter sang penyihir yang disajikan dalam berjilid-jilid buku. Dalam syariat islam, sihir merupakan kemusyrikan dan hukumnya haram. Namun sang penulis sangat termotivasi menelurkan karya yang pada akhirnya menjadi salah satu karya fenomenal dalam dunia literasi.
Masykur lantas menantang peserta untuk “berjihad” lebih dari apa yang dilakukan JK Rowling. Apalagi peserta umumnya adalah alumni STIS Hidayatullah yang setiap saat dijejali amal dan ilmu agama. Karena itu, tegas dia, sudah saatnya kitalah yang harus mencerahkan dalam literasi.
“Bahwa misi utama dalam tulisan itu adalah berdakwah. Bukan sekedar seperti yang JK Rowling lakukan yang berbekal motivasi dapat uang, bukunya best seller dan seterusnya. Begitu meninggal maka terputus semuanya,” ujar lelaki jebolan LIPIA Jakarta ini.
Masykur menukil sebuah adagium populer bahwa siapa yang membaca maka dia akan mengetahui, siapa yang menulis dia tidak akan mati.
Artinya, dia menjelaskan, bahwa tulisan bukan sekedar disimpan sebagai karya pribadi atau jejak digital semata. Tetapi hakekat dari tulisan yaitu seperti apa kekuatan ruhnya, apakah dia bisa mempengaruhi atau tidak.
“Tidak ada tulisan yang jelek selama literasi tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran. Soal polesan tulisan biar terlihat lebih apik dan menarik dalam membaca, itu hanya perlu terus berlatih,” pungkas penulis yang sudah menerbitkan belasan buku ini. .
Training yang diikuti puluhan dai/daiyah dari berbagai daerah ini juga diampu Abdul Ghofar Hadi, pembina PENA yang juga telah menulis beberapa karya.
Dalam pemaparannya, Abdul Ghofar lebih mendalami training dengan praktek langsung menulis buku. Abdul Ghofar mengajak peserta untuk bersama menghasilkan sebuah buku antologi yang ia istilahkan dengan menulis buku secara keroyokan.
Menurut Abdul Ghofar, bagi penulis pemula dalam menulis butuh suasana. Sebab jika tidak terkondisikan dijamin akan berantakan disebabkan karena berbagai faktor, kadang lupa dan kebanyakan malas.
Alasan peserta harus memulai dengan membuat buku antologi karena, menurut Ghofar, itu lebih praktis sebab menceritakan pengalaman yang dialaminya sendiri yang dirangkai dalam sebuah tulisan.
Pengalaman baik dan sarat makna seyogyanya tidak dinikmati sendiri melainkan juga bisa dinarasikan kepada generasi selanjutnya, setidaknya keturunan kita kelak.
“Pengalaman merupakan guru terbaik. Pengalaman setiap kita tidak ada yang sia-sia. Apa yang sudah terjadi harus diyakini merupakan skenario takdir ilahiyah. Pengalaman yang terjadi itulah seharusnya menjadi pelajaran bagi kita pribadi dan orang lain” bebernya.
Ghofar juga meyakinkan peserta bahwa setiap tulisan akan ada keajaibannya masing-masing. Sejelek apapun tulisannya. Karena setiap tulisan itu ada nyawa dan ruh. Tinggal diperkuat redaksi tulisannya.
Ghofar memandu peserta dengan membuat kisi-kisi berupa pertanyaan dari pengalaman kehidupan peserta saat menjalani proses perkaderan sebagai mahasiswa dan mahasiswi STIS Hidayatullah. Sebab kebetulan seluruh dai/daiyah yang hadir merupakan satu almamater.
Di akhir sesi praktik yang berlangsung 90 menit, dalam list panitia terkumpul 40 naskah tulisan dari peserta training. Kumpulan naskah inilah yang akan diterbitkan menjadi buku. Buku antologi karya para dai daiyah ini rencana akan terbit sebelum Ramadhan.*/Rizky Kurnia Syah