AdvertisementAdvertisement

Refleksi dan Relevansi Ayat Tauhid dalam Krisis Peradaban Kontemporer

Content Partner

SURAH Al-Mu’minun ayat 91 adalah ayat tauhid yang menegaskan keesaan Allah secara logis dan rasional. Ayat ini membantah klaim-klaim musyrik yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak atau ada tuhan lain di samping-Nya.

مَا اتَّخَذَ اللّٰهُ مِنْ وَّلَدٍ وَّمَا كَانَ مَعَهٗ مِنْ اِلٰهٍ اِذًا لَّذَهَبَ كُلُّ اِلٰهٍ ۢ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يَصِفُوْنَۙ

“Allah tidak mempunyai anak, dan tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, maka masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (QS. Al-Mu’minun: 91)

Jika memang ada lebih dari satu tuhan, kata ayat ini, maka akan terjadi pertarungan kekuasaan dan kekacauan dalam pengaturan alam semesta. Namun, kenyataannya, alam ini berjalan harmonis, teratur, dan penuh keseimbangan. Maka, ini menjadi bukti kuat akan keesaan dan kemahakuasaan Allah.

Refleksi Ayat dalam Kontekstual Kekinian

Dalam konteks kekinian, ayat ini mengajarkan nilai-nilai penting yang bisa kita refleksikan setidaknya dalam berbagai aspek kehidupan.

Pertama, aspek kesatuan dan kepemimpinan yang tegas. Di tengah gempuran tantangan duniawi yang kompleks dan penuh kepentingan, ayat ini memberikan pelajaran bahwa kepemimpinan yang majemuk tanpa kesatuan visi akan melahirkan konflik.

Dalam organisasi, negara, bahkan rumah tangga — jika terlalu banyak “tuhan-tuhan kecil” yang ingin mengatur tanpa arah yang sama, maka kehancuran dan kekacauan akan terjadi. Prinsip tauhid mengajarkan bahwa satu visi yang adil dan bijaksana harus menjadi poros dalam pengambilan keputusan.

Kedua, menolak politeisme modern seperti kapitalisme, fanatisme, dan pengkultusan. Meski tidak lagi menyembah berhala fisik, masyarakat modern sering terjebak dalam bentuk ketuhanan baru: uang, jabatan, popularitas, atau ideologi yang dikultuskan.

Ayat ini menjadi pengingat untuk meletakkan Allah sebagai pusat kehidupan dan tidak tunduk kepada berhala-berhala kontemporer yang merusak makna hidup.

Misalnya, dominasi korporasi raksasa yang tak terbendung bisa menciptakan ketimpangan sebagaimana tuhan-tuhan yang bersaing sebagaimana digambarkan dalam ayat ini: saling menjatuhkan, saling memperebutkan kendali.

Ketiga, aspek harmoni dalam tata kelola alam dan sosial. Alam yang tunduk pada satu aturan Tuhan menjadi cerminan bahwa keberhasilan sebuah sistem terletak pada keterpaduan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip kebenaran.

Dalam konteks lingkungan dan sosial, manusia perlu kembali kepada sistem ilahi — yang mementingkan keadilan, keberlanjutan, dan keseimbangan. Krisis iklim, konflik geopolitik, dan kemiskinan global hari ini adalah akibat dari manusia yang ingin menjadi “tuhan” dengan aturan sendiri.

Keempat, menguatkan argumentasi Tauhid secara rasional. Ayat ini menawarkan argumentasi logis yang bisa digunakan dalam dialog lintas iman atau dalam pendidikan akidah.

Ayat ini menunjukkan bahwa keesaan Tuhan adalah kebutuhan logis untuk stabilitas ciptaan. Maka, umat Islam didorong untuk menggunakan pendekatan rasional dalam berdakwah dan membela nilai-nilai tauhid, tidak sekadar secara emosional atau simbolik.

Surah Al-Mu’minun ayat 91, dengan demikian, bukan hanya menjawab tuduhan teologis di masa lalu, tetapi juga menegur perilaku sosial-politik dan budaya hari ini.

Hubungan Surah Al Mu’minun ayat 91 dan Surah Al Ikhlas

Di sisi lain, surah Al-Mu’minun ayat 91 dan Surah Al-Ikhlas memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam mengokohkan fondasi tauhid — yaitu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak ada yang setara dengan-Nya.

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ . اَللّٰهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَد. وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”

Surah Al-Mu’minun ayat 91 menyatakan bahwa Allah tidak punya anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Surah Al-Ikhlas juga menegaskan bahwa “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan”.

Kedua ayat ini sama-sama membantah ajaran-ajaran yang menyekutukan Allah, seperti trinitas, politeisme, atau pengkultusan manusia sebagai anak Tuhan.

Kedua surah ini pula menolak segala bentuk penyamaan Allah dengan makhluk-Nya. “Tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya” (Al-Ikhlas) dan “Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan” (Al-Mu’minun:91) sama-sama menolak antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan manusia).

Di era modern, banyak “tuhan-tuhan buatan” seperti harta, teknologi, kekuasaan, bahkan manusia yang dikultuskan. Kedua ayat ini mengajarkan kita untuk hanya menggantungkan diri kepada Allah (sebagaimana dalam Al-Ikhlas: 2, “Allahus-Shamad”) dan tidak menyandarkan kekuatan pada sistem duniawi yang fana.

Surah Al-Ikhlas memberi fondasi teologis tauhid yang bersih dan absolut, sedangkan Surah Al-Mu’minun ayat 91 menunjukkan konsekuensi logis dan praktis dari menyimpang dari tauhid. Bila tauhid goyah — dalam bentuk syirik teologis maupun “syirik modern” (penghambaan terhadap dunia) — maka tatanan hidup akan hancur.

Keduanya mengajarkan bahwa stabilitas batin, sosial, dan alam semesta hanya dapat terwujud jika kita kembali kepada Allah yang Esa, tempat bergantung, dan tak ada yang menyerupai-Nya.

Surah Al-Mu’minun ayat 91 dan Surah Al-Ikhlas sama-sama menegaskan Tauhid sebagai inti dari ajaran Islam. Namun, tauhid bukan sekadar dogma. Ia adalah hasil dari proses pencarian, perenungan, dan penyucian dari segala bentuk penyekutuan terhadap Tuhan.

Maka, untuk benar-benar memahami dan meyakini tauhid, manusia perlu menggunakan akal — namun tetap dibimbing oleh wahyu.

Akal sebagai Jalan Awal Pencarian

Setiap nabi, termasuk yang kita pelajari dari perikehidupan Nabi Ibrahim, memulai pencarian Tuhan dengan membaca realitas: alam, langit, benda-benda langit, dan gejala-gejala eksistensi.

Ha ini menunjukkan bahwa agama sejati tidak mengabaikan akal, justru mengundang akal untuk berpikir. Bahkan dalam banyak ayat, Allah mengajak manusia untuk “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun”, dan “afala yanzhurun” — bukti bahwa iman dalam Islam bukan buta, tapi berakal.

Surah Al-Mu’minun ayat 91, dengan penalaran logisnya — “kalau ada tuhan selain Allah, pasti mereka akan bersaing dan saling mengalahkan” — mencontohkan bagaimana Al-Qur’an mendidik logika manusia untuk sampai pada kesimpulan tentang keesaan Tuhan.

Keterbatasan Akal dan Peran Wahyu

Namun, akal manusia memiliki keterbatasan. Ia hanya bisa menjangkau yang fisik, yang empiris, dan yang rasional secara terbatas.

Ketika akal mencoba menjelaskan hakikat Tuhan yang transenden, ia bisa keliru — bahkan bisa menciptakan tuhan-tuhan yang dibayangkan seperti makhluk.

Di sinilah peran Surah Al-Ikhlas sangat penting sebagai sistem penjelas. Ia hadir bukan sebagai hasil logika, tetapi sebagai wahyu yang menyempurnakan pencarian manusia:

“Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”

Ini bukan hasil filsafat, tapi kebenaran transenden yang melampaui batas rasio, namun tidak menafikan rasio. Wahyu menjadi kompas yang memandu akal agar tidak tersesat dalam pencarian makna ketuhanan.

Begitulah Nabi Ibrahim yang menggunakan akalnya untuk menyimpulkan bahwa matahari, bulan, dan bintang bukanlah Tuhan karena sifatnya yang tenggelam, berubah, dan fana. Ia melakukan proses penyaringan logis: “Sesungguhnya aku tidak suka kepada yang tenggelam.” (QS. Al-An’am: 76)

Proses ini menunjukkan bahwa akal sehat dapat mengenali bahwa Tuhan bukan makhluk, bukan yang berubah atau tunduk pada hukum alam. Tetapi setelah sampai pada kesimpulan tersebut, Ibrahim tidak menyatakan Tuhan berdasarkan asumsi, melainkan tunduk kepada wahyu:

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am: 79)

Artinya, setelah akal menyingkirkan yang batil, hanya wahyu yang mampu menuntun manusia kepada hakikat kebenaran yang sejati — yakni Tuhan yang Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak serupa dengan makhluk apa pun, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Ikhlas.

Sinergi antara Akal dan Wahyu dalam Mewujudkan Tauhid

Surah Al-Mu’minun ayat 91 menunjukkan pendekatan rasional bahwa logika tauhid lebih kuat daripada keyakinan terhadap tuhan jamak yang saling bersaing.

Surah Al-Ikhlas melampaui pendekatan logis itu dengan menyajikan definisi Tuhan secara transenden dan absolut, yang tak dapat dijangkau oleh akal manusia sepenuhnya.

Tanpa akal, manusia akan mengikuti agama secara taklid dan rentan tersesat oleh simbol-simbol palsu. Tanpa wahyu, akal bisa terjebak dalam spekulasi dan membuat “tuhan-tuhan” sesuai khayalan manusia, seperti dalam filsafat Yunani, politeisme kuno, atau ideologi modern.

Islam tidak mengajarkan pemutusan antara iman dan akal, melainkan menyatukannya dalam jalan kebenaran. Namun ketika akal mencapai batasnya, wahyu hadir sebagai cahaya penuntun yang menyempurnakan pencarian.

Di sinilah Tauhid bukan hanya keyakinan teologis, tapi juga panduan hidup rasional, spiritual, dan eksistensial serta pengakuan sadar dari akal dan jiwa yang menemukan cahaya Tuhannya.[]

*) Ust. Dr. HM. Tasyrif Amin, M.Pd.I, Ketua Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah. Ditranskrip oleh redaksi dari taushiyah beliau dalam acara Halaqah Wustho Ibnu Mas’ud Depok, Jawa Barat, Rabu malam (21/5/2025)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Kunjungi Hidayatullah, Menteri Pertanian Bangsamoro Pelajari Sistem Jaminan Halal Indonesia

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Kementerian Pertanian, Perikanan dan Reforma Agraria – Daerah Otonomi Bangsamoro di Mindanao Muslim (MAFAR-BARMM) Republik Filipina...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img