BUDAYA organisasi, biasanya melekat pada pendiri organisasi yang paham betul secara filosofis, mengapa organisasi itu dibentuk dan kemana organisasi akan dikembangkan. Kemudian, ditransformasikan kepada seluruh elemen yang ada dalam organisasi, dan selanjutnya menjadi kebiasaan dan tradisi yang menjadi spirit/ruh sebuah organisasi. Tidak jarang kemudian dituangkan dalam sebuah kredo, yang diturunkan dalam aturan main (rule of the game), dan mengikat seluruh elemen organisasi tersebut.
Di era penuh gejolak, dinamis, kompleks, dan ambigu (VUCA) ini, maka budaya organisasi perlu dikaji ulang, agar dapat inline dan menjawab tantanga jaman. Demikian pula, dunia terus bergerak cepat dengan hadirnya Industri 4.0 dan Society 5.0 yang mentransformasi cara hidup dan bekerja. Hal ini juga berdampak terhadap organisasi Islam, Ia harus beradaptasi dan berinovasi agar tetap relevan dan berdaya guna, sehingga tidak punah ditelan jaman.
Meski kita pahami bahwa budaya organisasi, juga terkait dengan bagaimana sebuah organisasi mampu mengimplementasikan visi, visi, dan tujuannya, yang berasal dari elaborasi jatidiri (karakter) dari sebuah organisasi. Sehingga jatidiri, bukan hanya sekedar slogan, kalimat ataupun paragraph paragraf yang tersusun dengan sistematis dan indah. Melainkan ia mesti mendenyuti setiap gerak dari organisasi untuk diejawantahkan dalam program-program strategis sesuai dengan tingkatannya.
Realitas tersebut di atas memicu pemikiran kembali (rethinking) terhadap organisasi, sehingga tidak hanya mengikuti arus perubahan, akan tetapi dapat riding the wave. Disinilah pemahaman yang utuh terhadap realitas internal dan dinamika eksternal menjadi kunci, untuk merekonstruksikan kembali budaya organisasi, tanpa meninggalkan jatidiri organisasi itu sendiri, melainkan menjaadikan jatidiri sebagai basis dari perumusan kembali budaya organisasi.
Dengan demikian, kehadiran budaya organisasi Islam bukanlah sekadar ritual atau formalitas, melainkan fondasi yang memahami esensi keadilan, transparansi, dan kepemimpinan berbasis nilai-nilai Islam. Dalam kompetisi, keberagaman dan kompleksitas kehidupan dunia saat ini , maka budaya organisasi Islam mesti harus mengalami memandang setiap individu sebagai amanah yang harus dikelola dengan adil dan bijaksana.
Tantangan dan Peluang
Dalam era VUCA yang penuh tantangan, dimana Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity merajalela, rethinking budaya organisasi Islam menjadi keniscayaan. Industri 4.0 dan Society 5.0 mendorong kita untuk tidak hanya beradaptasi, tetapi juga menggali akar nilai-nilai Islami yang mampu menjadi pilar keberlanjutan dan ketangguhan organisasi.
Sehingga, dalam merespon VUCA, Industri 4.0, dan Society 5.0, diperlukan rethinking budaya organisasi Islam sebagai langkah yang strategis, agar tidak kehilangan relevansi. Hal ini, bukan hanya sekedar sebagai bentuk adaptasi terhadap realitas yang ada, tetapi lebih jauh dari itu, sebagai upaya mendalam untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan organisasi, menciptakan fondasi yang kuat untuk menghadapi masa depan yang penuh kompleksitas dan perubahan
Jika kita elaborasi lebih jauh, maka tantangan dan peluang yang dapat kita uraikan secara ringkas, sebagaimana beringkut:
Pertama, VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity)
Kehadiran VUCA, telah memberikan peluang dan tantangan bagi setiap organisasi, tak terkecuali organisasi Islam. Berbagai tantangan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) perubahan yang cepat dan tidak terduga: Budaya organisasi yang kaku dan tradisional akan sulit beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan tidak terduga. 2) ketidakpastian dan kompleksitas: Budaya organisasi yang kurang fleksibel dan kolaboratif akan kesulitan menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas yang semakin tinggi. 3) ambiguitas dan interpretasi yang beragam: Budaya organisasi yang kurang transparan dan terbuka terhadap ide-ide baru akan kesulitan dalam memahami dan menafsirkan informasi yang kompleks.
Sedangkan yang menjadi peluangnya adalah: 1) meningkatkan kelincahan dan adaptabilitas: Budaya organisasi yang gesit dan adaptif dapat dengan mudah beradaptasi dengan perubahan dan memanfaatkan peluang baru. 2) memperkuat kolaborasi dan komunikasi: Budaya organisasi yang kolaboratif dan terbuka dapat meningkatkan komunikasi dan kerjasama antar anggota, sehingga mampu menyelesaikan masalah kompleks secara bersama-sama. 3). meningkatkan kemampuan belajar dan inovasi: Budaya organisasi yang menghargai pembelajaran dan inovasi dapat menghasilkan ide-ide baru dan solusi kreatif untuk menghadapi berbagai tantangan.
Kedua, Industri 4.0
Revolusi Industri 4.0 atau sering disingkat sebagai industry 4.0, juga menghadirkan tantangan yang cukup menantang diantaranya adalah : 1) disrupsi teknologi: Budaya organisasi yang resisten terhadap teknologi baru akan tertinggal dan tidak mampu bersaing di era digital. 2) perubahan model bisnis: Budaya organisasi yang berfokus pada model bisnis tradisional akan kesulitan beradaptasi dengan model bisnis baru yang muncul di era Industri 4.0. 3) kehilangan pekerjaan: Budaya organisasi yang tidak mempersiapkan anggotanya untuk menghadapi perubahan pekerjaan akan mengakibatkan terjadinya pengangguran atau tidak tterserapnya sumberdaya karena diganti perannya oleh teknologi.
Adapun peluangan yang didapatkan dari industry 4.0 bagi organisasi Islam adalah : 1) meningkatkan efisiensi dan produktivitas: Budaya organisasi yang mengadopsi teknologi baru dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. 2) menciptakan peluang bisnis baru: Budaya organisasi yang inovatif dan kreatif dapat menciptakan peluang bisnis baru di era Industri 4.0. 3) mengembangkan keterampilan digital: Budaya organisasi yang mendorong pembelajaran dan pengembangan keterampilan digital dapat membantu anggotanya untuk tetap relevan di era Industri 4.0.
Ketiga, Society 5.0
Keberadaan society 5,0 juga melahirkan berbagai tantangan baru yang perlu diantisipasi, diantaranya adalah : 1) perubahan demografi: Budaya organisasi yang tidak inklusif dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan demografi akan kehilangan anggota dan pendukungnya. 2) ketidaksetaraan sosial: Budaya organisasi yang tidak peka terhadap isu-isu ketidaksetaraan sosial akan memperburuk masalah dan memicu konflik. 3) degradasi nilai-nilai moral: Budaya organisasi yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika akan kehilangan kepercayaan masyarakat.
Adapun peluang yang dihasilkan dari society 5.0 adalah : 1) meningkatkan inklusivitas dan keberagaman: Budaya organisasi yang inklusif dan terbuka terhadap keberagaman dapat menarik anggota baru dan memperkuat persatuan. 2) membangun komunitas yang berkelanjutan: Budaya organisasi yang peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan dapat membangun komunitas yang berkelanjutan dan tangguh. 3) meningkatkan moralitas dan etika: Budaya organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika dapat membangun kepercayaan dan meningkatkan citra organisasi.
Dengan demikian maka, dalam menghadapi tantangan dan peluang dari ketiga dinamika tersebut, organisasi Islam perlu melakukan rethinking terhadap budaya organisasinya. Ini mencakup pengembangan budaya yang inklusif, kolaboratif, dan terbuka terhadap perubahan, serta membangun lingkungan kerja yang mendukung inovasi, kreativitas, dan pembelajaran berkelanjutan.
Dengan cara tersebut, organisasi Islam dapat “riding the wave” dari VUCA, Industri 4.0, dan Society 5.0, dan menjadikan perubahan sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas pelayanan, relevansi, dan dampak positif bagi umat dan masyarakat secara keseluruhan.
Rethinking Budaya organisasi
Dengan melihagt realitas di atas, maka mau tidak mau organisasi Islam perlu melakukan rethinking (memikirkan kembali/tajdid) terhadap budaya organisasinya dalam rangka menghadapi dinamika global tersebut, yang dengan cepat sudah menjadi dinamika lokal yang cukup memperngaruhi eksistensi organisasi. Dalam proses rethinking ini yang perlu diperhatikan adalah:
Pertama : memperkuat nilai-nilai inti: Dimana mempertahankan nilai-nilai Islam sebagai jatidiri organisasi yang tertuang dalam aspek: akidah, syariah, akhlak, dan muamalah sebagai fondasi organisasi. Sehingga budaya organisasi Islam yang terbentuk harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan citra organisasi.
Kedua, menumbuhkan budaya belajar dan inovasi : Agar tetap relevan dalam mengadapi dinamika yang ada, maka organisasi mendorong budaya belajar yang berkelanjutan dan memfasilitasi anggota untuk mng-upgrade wawasan dalam mengikuti perkembangan zaman. Dan pada saat bersamaan juga melakukan inovasi untuk menghasilkan ide-ide baru dan solusi kreatif.
Ketiga, memanfaatkan teknologi : kehadiran teknologi yang tumbuh dengan cepat mesti dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh organisasi Islam dengan cara mengadopsi teknologi digital untuk dakwah, edukasi, dan pemberdayaan umat, yang sesuai dengan kebutuhan dan sekaligus tuntutan zaman.
Keempat, mempromosikan kolaborasi dan komunikasi: dewasa ini bukan eranya segala sesuatu dikerjakan sendiri, akan tetapi dituntut untuk melakukan kolaborasi. Oleh karenanya bekerja sama dengan organisasi lain tertutama yang memiliki visi yang sama untuk mencapai tujuan bersama menjadi solusi saat ini. Dan pada saat bersamaan budaya organisasi Islam harus mendorong kerjasama dan komunikasi yang terbuka antar anggota.
Kelima, mengembangkan kepemimpinan yang adaptif dan visioner: Kepemimpinan merupakan kunci eksistensi organisasi, oleh karenanya membangun pemimpin yang visioner, inspiratif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan, menjadi salah satu kunci keberlangsungan organisasi mesti terjadi perubahan.
Kenam, membangun komunitas yang berkelanjutan: Budaya organisasi Islam harus peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan untuk membangun komunitas yang berkelanjutan dan tangguh. Sehingga budaya yang terbangun dapat diimplementasikan dalam berbagai jenis dan varian komunitas masyarakat yang ada
Ketujuh, meningkatkan kelincahan dan adaptabilitas: Budaya organisasi Islam harus mampu beradaptasi dengan perubahan dengan cepat dan mudah. Membangun struktur organisasi yang agile, akan melahirkan model organisasi yang mempu merepon dengan cepat dan tepat terhadap dinamika yang ada, baik berasa, dari internal maupun eksternal organisasi.
Dengan demikian maka, rethinking terhadap budaya organisasi, berarti bahwa organisasi Islam dapat menjadi “riding the wave” terhadap dinamika yang terjadi, artinya tidak diombang-ambingkan perubaha, akan tetapi berselancar serta mengendalikannya. Dampaknya, dengan mengubah tantangan menjadi peluang dan mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketahanan organisasi, meningkatkan daya saing, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat dan umat Islam secara luas
Penutup
Perubahan budaya organisasi membutuhkan waktu dan usaha yang berkelanjutan. Dengan kepemimpinan yang kuat, adaptif dan visioner, komitmen yang tinggi, dan kolaborasi yang harmonis, organisasi Islam dapat berhasil melakukan“riding the wave” terhadap perubahan dan menjadi organisasi yang relevan dan berkelanjutan di masa depan.
Akhirnya, rethinking budaya organisasi Islam adalah sebuah keniscayaan untuk menghadapi era VUCA, Industri 4.0, dan Society 5.0. Dengan memperkuat nilai-nilai inti, menumbuhkan budaya belajar, memanfaatkan teknologi, mempromosikan kolaborasi, dan mengembangkan kepemimpinan yang adaptif, organisasi Islam dapat mengendalikan perubahan di era baru ini. Hanya dengan rethinking budaya organisasi Islam, kita dapat memastikan bahwa Islam selalu menjadi kekuatan yang relevan dan positif di dunia yang terus berubah. Wallahu a’lam.[]
*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI)