Berbicara kesetiaan tidak selalu terkait dengan uang. Kesetiaan adalah masalah mental, perasaaan dan jiwa. Namun kesetiaan juga tidak berada dalam ruang kosong. Ada saja godaan dan tantangannya untuk membuktikan sebuah kesetiaan. Ada banyak variabel dari sebuah kesetiaan, di antaranya ketulusan, kepercayaan, pengorbanan dan keberanian. Itu semua memerlukan waktu yang panjang untuk memupuk dan membuktikannya.
Ikatan pernikahan adalah janji kesetiaan antara suami dan istri yang diwakili oleh walinya. Akad nikah bukan akad biasa, bukan transaksi yang bersifat materi. Tapi ikatan dalam dimensi lahir dan batin serta dalam kurun waktu dunia akherat. Pertanggungjawabannya bukan hanya kepada mertua atau negara, tapi Kepada Allah SWT kelak di Hari Akhir.
Allah SWT menyebut ikatan pernikahan adalah mistagan ghalidha (ikatan yang kuat). Sebagaimana dalam firman Allah SWT yang artinya:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. dan mereka (istri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (OS. An-Nisa:21)
Ada 3 kali Allah SWT menggunakan mistaqan ghalidha dalam Al-Quran. Di antaranya perjanjian Allah SWT dengan orang Yahudi (9S. An-Nisa: 154) dan perjanjian Allah SWT dengan para nabi QS. Al-Ahzab: 7. Artinya kekuatan ikatan akad nikah itu sejajar dengan perjanjian Allah SWT dengan orang Yahudi dan para nabi. Serius dan tidak mainmain.
Sehingga kesetiaan suami istri tidak bisa diukur dengan ikatan materi. Suami yang mapan atau sukses cenderung tidak setia.
Itu mungkin hasil temuan pada umumnya, pelaku perselingkuhan adalah pria yang mapan. Berselingkuh adalah menjalin hubungan tanpa sepengetahuan pasangan. Tipe suami seperti ini memperlakukan istri sebagai obyek, bukan sebagai partner atau mitra.
Sebenarnya, asumsi di atas tidak sepenuhnya benar. Ada suami yang tidak mapan, tapi juga tidak setia. Gampang digoda, karena mungkin merasa capek miskin. Apalagi ketika ada janda kaya raya yang merayu, seketika ingin mencumbu.
Ikatan akad nikah melahirkan cinta antara suami dan istri. Cinta yang tulus akan terbingkai dalam kesetiaan. Tidak ada cinta tanpa kesetiaan dan kesetiaan hanya semu tanpa dilandasi cinta. Cinta dan kesetiaan bukan dilandasi oleh materi kekayaan, atau ketenaran.
Kesetiaan Di Era 4.0
Kesetiaan adalah bagian yang paling tinggi dari sebuah cinta, sebab cinta menumbuhkan jiwa rela berkorban yang menjadi bukti dari sebuah kesetiaan. Orang yang setia biasanya memiliki komitmen siap membela dan bersama dalam kondisi apapun jua. Sehingga kesetiaan adalah bagian yang sangat mahal dalam sebuah pernikahan.
Beberapa tahun terakhir ini, angka perceraian meningkat tajam di masyarakat. Tragisnya yang menjadi sebab, kebanyakan adalah perselingkuhan atau adanya pihak ketiga, entah PIL (Pria idaman Lain) ataupun WIL (Wanita Idaman Lain). Penyebab perselingkuhan tersebut mayoritas lewat media sosial.
Pada era industri 4.0 sekarang, semua orang mudah berkomunikasi dan bebas berinteraksi pria dan wanita. Jejaring sosial pertemanan seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter dan banyak lagi medsos yang membuka jalan untuk menjalin hubungan dengan lawan Jenis.
Ada yang lewat pertemanan lama yaitu grup-grup alumni sehingga Cinta Lama Bertemu Kembali (CLBK). Ada karena sembarang curhat di media sosial sehingga mendapatkan respon perhatian dari lawan jenisnya. Ada pula yang sengaja mencari pasangan selingkuh di media sosial.
Setiap zaman ada tantangan dan godaannya sendiri. Bukan berarti dahulu sebelum ada medsos atau internet tidak ada persilingkuhan, ada juga. Sehingga bukan menyalahkan zaman atau tehnologi untuk membenarkan ketidaksetiaan pada pasangan.
Mestinya, media sosial adalah sarana Untuk menguatkan ikatan suci pernikahan pasangan karena bisa berhubungan setiap saat. Inilah pentingnya sebuah komitmen. Kesetiaan adalah keinginan untuk tetap berpegang pada komitmen yang sudah disepakati, bertahan dalam suka maupun duka, untuk mewujudkan harapan dan impian keluarga, dengan segala kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pasangan.
Setia Seperti Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah teladan bagi orang-orang beriman dalam semua dimensi kehidupan dan dalam semua peran kehidupan. Bukan hanya dalam masalah ibadah, tapi juga dalam muamalah. Bukan saja dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun, juga dalam berkeluarga sebuah ungkapan mengatakan kapan mengatakan,”Jika kamu ingin istrimu menjadi seperti Khadijah, maka jadilah kamu seperti Muhammad & untuknya. Sebaliknya kalau ingin suami seperti Rasulullah SAW, jadilah istri seperti istri-istri Rasulullah (Ummul Mukminin)”.
Sebagai seorang suami, Rasulullah SAW tahu bagaimana memperlakukan para istrinya dengan baik Perlakuan baik seorang suami terhadap istrinya menunjukan kemuliaan dan ketinggian akhlaknya. Karena itulah maka Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Sedangkan yang paling baik diantara mereka adalah yang paling baik perangainya terhadap istri-istri mereka.” (HR. Abu Daud)
Padahal istri beliau bukan hanya satu, tapi lebih dari empat. Rasulullah SAW memperlakukan para istrinya dengan penuh kelembutan dan kesetiaan. Tidak pernah mengurangi hak mereka, atau menuntut mereka berlaku lebih dari kemampuannya.
Banyak suami yang istrinya baru satu, sudah merasa kewalahan menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang suami seorang suami. Terbukti banyaknya kasus perceraian disebabkan oleh pengkhianatan dari salah satu pasangannya. Entah suaminya yang lemah atau istrinya yang terlatu kuat
Pasangan Setia
Ada tiga langkah untuk bisa menjadikan pasangan setia. Pertama harus berusaha menjadi suami atau Istri yang layak untuk dikagumi dengan segala kemampuan yang dimilikinya sehingga pasangan mau tidak mau harus mengagumi kelebihan yang dimilikinya.
Seperti berusaha menjadi istri yang pandai memasak, hemat belanja, menjaga penampilan di hadapan suami, menjadi sosok ibu yang sehat dan mandiri. Sebagai seorang suami, jadilah laki-laki yang tegas dan bertanggungjawab, berani dan cekatan, rajin dan tekun ibadah. Bukan menjadi sosok yang suka mengeluh, lebay, suka merengekrengek, cengeng, pemarah, malas atau sifat-sifat yang tidak baik.
Kedua ada menjadi diri yang setia. Tidak menuntut pasangan setia, tapi memulai dengan menunjukkan kesetiaan terlebih dahulu kepada pasangan. Sehingga pasangan akan memberikan kesetiaannya. Karena kesetiaan itu berbanding lurus dan saling tarik menarik satu dengan yang lain.
Ketiga, lingkungan yang setia. Menjadikan pribadi yang setia atau pasangan yang setia, memerlukan orang lain atau lingkungan yang mendukung. Lingkungan yang membatasi pergaulan atau interaksi lawan jenis, wilayah yang jelas atau putra dan putri.
Majalah Suara Hidayatullah (edisi April 2020)