FAJAR senja di langit Daik, Lingga, menyambut kami; rombongan tim sinergi BMH dan DPW, diantaranya Abdul Aziz (GM BMH Kepri), Ust Darmansyah (ketua DPW Hidayatullah Kepri), penulis serta tim dari BMH belum lama ini.
Tujuan utama menuju kampung muallaf selat Kongki. Sepanjang perjalanan, beberapa pemandangan menakjubkan terpampang di depan mata, diantaranya bebatuan yang seolah terbentuk dari pahatan alam dengan struktur lanset berdiri kokoh menghadap selat Berhala.
Ustadz Awwalin, Ustadz Hamka dan beberapa pengurus Hidayatullah Lingga telah menanti di pelabuhan. Kelelahan dan ketegangan menerjang ombak selaba sepanjang jalan mulai reda, berganti kebahagiaan bertemu saudara seperjuangan. Seperti teks yang bergerak dinamis lalu menemukan jeda untuk memulai paragraf baru.
Dari Daik ke selat Kongki harus menggunakan speedboat atau kapal carter, sebab, selat Kongki tidak terkoneksi dengan moda transportasi reguler dari pulau ke pulau.
Qadarullah, Hidayatullah Lingga, mengenal seorang ansharullah, bang Andika, demikian kami memanggilnya, seorang nelayan yang memiliki armada kapal berukuran besar. Bersama bang Andika kami berangkat membawa kerinduan pada para muallaf, sebuah safari penuh cinta pada saudara-saudara seiman.
Berdasarkan data geografi dan demografi pemkab Lingga, di kabupaten ini terdapat 531 buah pulau besar dan kecil, serta 447 buah pulau diantaranya belum berpenghuni. Beberapa di antara pulau berpenghuni itu masyarakatnya muslim muallaf, aqidah mereka sangat rentan dipengaruhi, karena pemahaman yang masih minim, sehingga perlu terus di kawal dan dibimbing.
Betapa indah perjalanan hidayah Allah Subhana wa ta’ala menuju perkampungan nelayan Suku Laut yang terpencil itu, sebuah kampung yang nyaris tak mengenal peradaban, seindah pemandangan sepanjang perjalanan, yang kami saksikan dari kapal yang membawa kami dan para da’i menyusuri lipatan-lipatan ombak, mengarungi lautan tarbiyah dan dakwah yang tak bertepi.
Kebahagiaan terukir di lubuk hati, saat kapal tiba, melempar sauh dan berlabuh di bibir kampung muallaf, selat Kongki, sebuah pemandangan eksotis ketika menyaksikan saudara seiman menyeruak dari bilik-bilik rumah kayu menuju mushollah untuk menunaikan sholat fardhu. Perkampungan nelayan yang sangat sederhana itu terlihat seperti serpihan mutiara yang memancarkan kemilau indahnya hidayah Allah Subhana Wa Ta’ala.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
ۗ مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۚ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya”. QS Al Kahfi (18):17.
Derit kayu terdengar riuh, saat para da’i Hidayatullah menapakkan kaki di perkampungan atas air. Kampung yang dihuni sekira 14 KK atau 60 jiwa itu terletak di sudut peradaban yang sunyi, hanya ada debur ombak, kicau burung yang hinggap di dahan-dahan bakau serta desau angin yang berembus dari musim ke musim.
Sejak mengucapkan dua kalimat syahadat pada 1996 silam, tidak ada lagi pembinaan, para muallaf terabaikan. Di kampung itu tak ada mushollah, tak ada ustadz yang membimbing. Islam hanya tengiang di telinga mereka, terpampang di mata sebagai bayangan semu.
Hidayatullah melalui BMH Kepri, DPW Hidayatullah Kepri dan para da’i di Hidayatullah Lingga terpanggil menyambangi, menebar simpati dan empati, alhamdulillah mereka tetap teguh menggenggam erat agama yang telah mereka pilih, meski godaan silih berganti menghampiri.
Hidayatullah bersama para dermawan dan muhsinin, kini telah menghadirkan mushollah yang representatif, fasilitas air bersih dan memenuhi kebutuhan alat sholat seperti baju koko dan mukena. Para muallaf tak lagi berwudhu dengan air asin atau air hujan yang ditampung, air bersih telah mengucur dari keran.
Selain itu, Hidayatullah juga atas kebaikan para dermawan telah membeli dua unit pompong (perahu berukuran sedang) untuk sarana transportasi da’i dan da’iyah untuk pembinaan di pulau-pulau sekitar Lingga khususnya di selat Kongki.
Sejak kehadiran para da’i, suku Laut yang muallaf itu tidak lagi hanya mendengar debur ombak, kicau burung dan desau angin, karena setiap waktu shalat tiba, kumandang azan mengalun menembus dinding-dinding rumah, di sore hari, terdengar suara terbata-bata dari anak-anak dan orang tua yang sedang mengeja alif ba ta. Mereka dibimbing ustadz Sabrian dan ustadzah Juli dari pulau tetangga.
Al Qur’an telah hadir menyapa muallaf Suku Laut, dengan penuh semangat mereka menatap huruf demi huruf lalu berusaha mengeja dengan lidah yang digerakkan oleh kerinduan pada kitab sucinya. Mereka juga belajar berwudhu sebab lima kali sehari mereka akan ruku dan sujud di atas papan yang disusun dari kebaikan-kebaikan para dermawan yang digerakkan hatinya oleh Allah Subhana wa ta’ala.
Saat kami berkunjung, salah seorang warga, Abdullah (46 tahun) mendekati seorang pengurus, menyampaikan dengan raut wajah bahagia, bahwa dirinya sudah sampai Iqra 3, ia bahagia karena telah mengenal huruf demi huruf, bahagia karena mulai dapat membaca al Qur’an, kitab suci yang puluh tahun lenyap dari kehidupannya. Kami bahagia bercampur haru mendengar informasi itu, berharap kemuliaan al Qur’an senantiasa meliputi kehidupan mereka.
Jika dulu, dalam sejarah disebutkan bahwa Suku Laut bertugas menjaga selat-selat, mengusir bajak laut sebagai penjaga perairan kesultanan, hingga memandu para pedagang ke pelabuhan kesultanan di Melayu, maka kini, mereka menjadi penjaga risalah Islam di selat-selat dan pulau.
Menjelang senja, kami pamit, mengulurkan tangan dan menggenggam erat tangan-tangan yang hitam legam dan kasar yang insya Allah kelak di akhirat menjelma tangan yang seputih kapas dan selembut salju.
Semoga para da’i diberi kekuatan untuk terus membersamai para muallaf di selat Kongki dan di tempat lain, menggandeng tangan mereka bersama-sama menuju jannatun na’im, tempat yang penuh kenikmatan yang dijanjikan Allah Subhana wa ta’ala.
Kapal mulai bergerak pelan, warga kampung selat Kongki berbaris di bibir dermaga, mengantar kepulangan kami kembali ke Daik, Lingga, kecepatan kapal semakin tinggi, lamat-lamat perkampungan di atas air itu hilang dari pandangan, jarak kami semakin jauh tetapi hati dan jiwa kami masih tetap menyatu dalam ikatan ukhuwah yang kukuh.
*) Mujahid M. Salbu, penulis adalah wartawan yang juga Ketua Departemen Hubungan Antar Lembaga Dewan (HAL) Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Kepri