AdvertisementAdvertisement

Mengenang Ustadz Soewardhani Soekarno dan Perintisan Hidayatullah Fakfak

Content Partner

Pengurus dan santri awal Hidayatullah Fakfak di depan papan nama tahun 1988 (Dokumentasi Pribadi/ Ichra Diyono)

TANAH bagi kader Hidayatullah seperti kekayaan emas berlian, sehingga ketika ada informasi orang yang ingin mewakafkan tanah untuk pesantren, maka biasanya langsung didatangi. Apalagi di daerah-daerah yang belum tersentuh oleh dakwah Islamiyah.

Demikian itulah yang terjadi, Ustadz Soewardhany Soekarno ketika mendengar ada seseorang yaitu pa Lasia mantan atlit bulutangkis lokal di Fakfak ingin mewakafkan tanahnya untuk pesantren maka beliau langsung mendatanginya. Padahal beliau sedang atau baru saja merintis Pesantren Hidayatullah di Jayapura.

Namun ternyata informasi itu tidak sepenuhnya benar, ketika datang ke Fakfak tidak bertemu dengan orang tersebut dan tidak ada juga tanahnya. Sebagai kader dakwah Hidayatullah tidak ada istilah kecewa, pulang atau mundur dari medan dakwah sebelum berhasil merintis dan mendirikan pesantren.

Ustadz Soewardhany Soekarno bersama istri dan tiga anak kecilnya tetap bertahan di Fakfak dengan kontrak rumah di kota. Saat itu Fakfak kabupaten yang belum terlalu berkembang dan ukuran kotanya masih sangat sederhana fasilitasnya.

Saat di rumah kontrakan tersebut, beliau bergerilya dari rumah-rumah dan kantor-kantor. Disebut gerilya karena menyisir satu persatu rumah tokoh dan kantor satu ke kantor yang lain. Tujuannya silaturahim mengenalkan diri dan mengutarakan niat untuk mendirikan Pesantren Hidayatullah di Fakfak.

Hasil dari gerilya tersebut bertemu dengan Bapak Muhammad Husein Serkanasa. Beliau PNS di Kesbangpol orang asli Irian Jaya namun sempat belajar lama di Jawa dan pemikiran sudah sangat terbuka untuk membangun tanah Irian Jaya.

Perkenalan dengan Bapak Muhammad Husein Serkanasa ini yang memberi dukungan besar dengan menghibahkan tanah seluas satu hektar. Lokasinya di kampung sekru Jl. Yos Sudarso, Distrik Pariwari.

Bertemu juga dengan Bapak Imam Tete Palembang yang meminjamkan rumahnya untuk tempat tinggal Ustadz Soewardhany Soekarno sekeluarga. Lokasinya di pinggir pantai dan dekat masjid kecil yang memudahkan untuk ibadah dan dakwah.

Tahun 1990 atau satu tahun berikutnya datang tiga tenaga muda yang masih bujang. Yaitu Pak Iskandar, Pak Noor Mawardi (Alm.), dan Pak Ichra Diyono Sukeni biasa dipanggil Ustadz Yoyon. Mereka didatangkan untuk memperkuat dakwah di Fakfak. Untuk sementara tinggal sama-sama di rumah pinjaman.

Tampak yang ditandai nomor (1) Noor Mawardi, (2) Ichra Diyono, dan (3) Iskandar, bersama anak santri awal Hidayatullah Fakfak (Dokumentasi Pribadi/ Ichra Diyono)

Ustadz Suwardhani Sukarno membagi tugas ketiga tenaga muda tersebut. Pak Iskandar ditugaskan untuk membina komunitas masyarakat Bugis di kota dengan membina anak-anak mengajar ngaji. Sambil tetap mengenalkan dan dakwah mengenalkan Hidayatullah kepada orang tua santri dan masyarakat sekitarnya.

Pak Noor Mawardi ditugaskan sebagai kepala kampus dan arsitektur bangunan, karena memang beliau memiliki bakat keterampilan pertukangan juga bagian dari pembuat masjid Hidayatullah kampus induk. (Anak buah pa ustad Sugiono Alm dan Ust Jamal DM).

Meskipun tanah yang dihibahkan baru ada pondasi saja dan masih belum ada bangunan apapun. Namun tetap ditugaskan ke lahan kosong tersebut membuat gerakan dengan membersihkan rumput-rumput atau lainnya.

Pak Ichra Diyono diberikan tugas membuat proposal dan mengedarkannya ke tokoh dan pejabat. Ustadz Soewardhany Soekarno dengan tekun mengajari mengetik satu persatu hingga bisa cepat dan rapi, diulang-ulang sampai tidak ada kesalahan. Meletakkan karbon beberapa lapis untuk melipatgandakannya.

Mesin ketik adalah perlengkapan yang wajib dibawa oleh petugas dakwah Hidayatullah. Kemampuan mengetik menjadi wajib dimiliki untuk bisa membuat surat dan proposal kepada pemerintah dan tokoh masyarakat.

Ketika surat dan proposal sudah jadi, tugas berikutnya mengantarkannya ke kota dengan jalan kaki. Naik dan turun gunung dengan jarak yang cukup jauh lokasi kota. Hampir setiap hari jalan kaki dari kampung lokasi pesantren ke kota.

Beberapa bulan berikutnya, ketika sudah mulai banyak simpatisan yang dikenal maka disampaikan kepada mereka bahwa akan membangun pesantren. Maka orang-orang kampung bergotong royong, ada yang membawa makanan, bensin untuk alat senso membelah kayu susu (pohon besar getahnya warna putih, orang sana menyebutnya kayu susu) dibuat papan, balok dst.

Tidak terlalu lama, berdiri satu bangunan rumah dengan tiang-tiang yang cukup kokoh dan papan-papan untuk alas dan sebagian dinding yang rapi. Namun belum ada atapnya, tapi Ustadz Soewardhany Soekarno memerintahkan kepada ketiga kader muda untuk segera pindah dan tinggal di bangunan tersebut.

Ternyata malamnya hujan, mereka basah kuyup karena memang rumah itu belum ada atapnya. Mereka menikmati saja sambil senyum-senyum meski kedinginan di malam hari. Hikmahnya besok paginya datang simpatisan dari kota dan melihat kondisi bangunan dan mereka bertiga basah-basah, akhirnya langsung membelikan atap seng, triplek dan memasangnya hari itu juga.

Alhamdulillah bangunan rumah pertama jadi dan bisa ditempati dengan nyaman. Selanjutnya membuat bangunan rumah kedua untuk tempat tinggal Ustadz Soewardhany Soekarno juga dengan gotong royong masyarakat dan simpatisan.

Pola gerilya silaturahim, kerja keras dan ibadah adalah perpaduan kerja yang senantiasa dilakukan Ustadz Soewardhani Soekarno. Inilah yang mempercepat pembangunan, pendirian koperasi, mengurus perizinan, membuat panti asuhan dan lain sebagainya.

Pola perkaderan Ustadz Soewardhani Soekarno kepada ketiga kader muda tersebut luar biasa. Mendampingi, memotivasi, mengajari dari hal-hal yang kecil dan memberikan teladan yang baik dalam ibadah, bekerja serta berkomunikasi.

Menjaga shalat wajib berjamaah dan shalat lail terkadang berjamaah. Kalau kelihatan lelah, letih dan capek atau ada pekerjaan lembur malam maka ketiga tenaga muda disuruh shalat witir setelah isya’. Ada briefing atau nasehat setiap bakda Shubuh, Ashar atau waktu-waktu tertentu sambil cerita-cerita dan makan-makan di bawah pohon besar di lokasi pesantren.

“Tanamkan cita-cita besar untuk mengukir sejarah, kalian harus menjadi pelaku sejarah. Jangan gentar, jangan takut sebab semua yang kita lakukan disaksikan oleh Allah dan dicatat oleh Malaikat sebagai amal ibadah. Pekerjaan ini adalah tugas ilahiyah untuk mendidik umat dan memperjuangkan Allah” Itu beberapa pesan motivasi Ustadz Soewardhani Soekarno untuk memotivasi tiga kader muda.

Pak Noor Mawardi yang diberikan amanah kepala lampus biasanya tidak bisa tidur kalau belum selesai pekerjaannya. Memikirkan dan merenungkan caranya untuk bisa cepat selesai sebagai bentuk tanggung jawabnya. Pekerjaan senantiasa rapi, hemat dan tuntas.

Pak Ichra Diyono yang biasa dipanggil Pak Yoyon, selain tugas membuat surat proposal, cari donatur, edarkan majalah di kota, terkadang juga belanja ke pasar. Pernah suatu ketika disuruh belanja ke pasar dengan uang 15 ribu tapi catatan belanjanya sangat banyak, kalau dihitung mungkin hampir 100 ribu.

Awalnya bingung bagaimana caranya tapi segan juga untuk bertanya atau minta tambahan uang ke Ustadz Soewardhani Soekarno. “Saya nggak mau tahu Yon, yang penting beli semua barang dalam catatan itu”.

Bismillah tawakal taat, Pak Yoyon berangkat ke pasar. Di perjalanan ada ide, belanja sambil mengenalkan ke penjual-penjual bahwa ini belanja untuk kebutuhan anak-anak yatim piatu di panti asuhan, mereka perlu makanan, lauk dan sayur-sayuran.

Akhirnya, banyak penjual yang tidak mau dibayar bahkan suruh ambil saja yang dibutuhkan Pak Yoyon. Hanya beberapa saja yang harus dibayar, pulang ke pesantren dengan terbawa semua catatan pesanan belanjaan bahkan uang masih sisa 5 ribu.

Ustadz Soewardhani Soekarno heran kok bisa uangnya masih sisa uangnya, padahal seharusnya kurang banyak. Pak Yoyon cerita yang dilakukan di pasar. “Alhamdulillah, berarti kamu Yon sudah bisa menjadi kader” kata beliau.

Berfoto bersama di depan kantor awal Hidayatullah Fakfak (Dokumentasi Pribadi/ Ichra Diyono)

Pak Iskandar yang tugas di kota bukan hanya mengajar anak-anak mengaji, tapi juga harus membantu mendekati orang tuanya. Mereka rata-rata nelayan, maka sering Pak Iskandar membawa ikan dari kota ke pesantren, termasuk mengajak kerja bakti ke pesantren jika hari ahad atau hari libur.

Kalau tanggal muda atau datang majalah suara Hidayatullah maka ketiga kader muda turun semua ke kota untuk mengedarkannya ke kantor-kantor atau rumah besar. Bukan hanya majalah tapi juga membawa surat dan proposal. Ustadz Soewardhani Soekarno menanamkan pesan, “Saat memberikan majalah dan surat, sampaikan kepada orang-orang kaya tersebut bahwa ini surat undangan menuju Surga”

Mungkin terdengar aneh dan bergetar bagi orang-orang yang tersentuh hatinya. Karena memang programnya mengajak berinfak, shadaqah untuk membangun pesantren, menyantuni anak-anak yatim, membeli al-Qur’an, mengajar mengaji. Semuanya itu insya Allah mengantarkan untuk masuk surga jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah.

Ada rahasia lagi yang menjadi kunci untuk bisa mendapatkan dukungan tokoh dan pejabat yaitu membawakan buku 20 Tahun Hidayatullah Balikpapan. Dalam buku tersebut dituliskan perkembangan Hidayatullah yang mendapatkan penghargaan Kalpataru, didatangi menteri, panglima TNI, pejabat-pejabat nasional.

Biasa para pejabat langsung respek dan kagum maka disitulah disampaikan maksud kedatangannya Ustadz Soewardhani, “Kami datang ke sini untuk bisa membuat pendidikan sebagaimana di Pesantren Hidayatullah Balikpapan.”

Sebagian mereka yang tersentuh ada yang langsung merespon, “Ini anugerah Allah, ini berkah yang luar biasa, kalian jauh-jauh datang dan tidak kami kenal tapi kalian punya keinginan, pemikiran dan cita-cita untuk memajukan daerah kami, mengajarkan anak-anak kami” Akhirnya mereka menerima dan mendukung dakwah Hidayatullah.

Sistem gerilya dalam silaturahim di mulai dari pejabat tingkat bawah dan meminta surat dukungan yang bertanda tangan dan stempel. Mulai dari kepala desa, camat baru kepada koramil, kapolres dan bupati. Ternyata pola silaturahim dari bawah itu strategis karena mempermudah komunikasi dan dukungan dari pejabat tingkat atas.

Kemudian tips yang diberikan Ustadz Soewardhani Soekarno untuk menarik anak-anak betah mengaji adalah dengan memberikan permen. Jika ada yang bisa mengajak teman-temannya untuk mengaji akan diberikan tambahan permen. Metode ini cukup praktis dan menjadikan pesantren ramai anak-anak mengaji setiap sore.

Adapun untuk menarik simpati orang tua santri dan orang-orang kampung adalah dengan memberikan sembako, beras, minyak dan sarung. Meskipun berasnya kualitas dolog tapi mereka sangat senang sekali karena jarang makan nasi, lebih sering makan sagu.

Hal yang fenemonal adalah ketika Idul Adha, saat itu belum ada orang yang berkorban kambing, domba apalagi sapi. Ustadz Soewardhani Soekarno menjelang Idul Adha mengutus tiga kader muda untuk silaturahim ke kota dan menyampaikan kepada orang-orang kaya untuk bisa berkorban.

Alhamdulillah akhirnya terkumpul dana dari simpatisan yang mereka patungan. Tidak mudah menjelaskan keutamaan berkorban dan mengajak mereka mau berkorban. Ketika sudah cukup maka membeli sapi korban di kota.

Saat itu belum ada mobil pick up yang mau mengangkut hewan apalagi sapi. Terpaksa dituntun jalan kaki dari dari kota ke pesantren dengan naik turun gunung. Luar biasa perjalanannya, terutama saat naik gunung sambil mendorong sapi.

Pasca shalat Idul Adha, hewan korban disembelih dan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Luar biasa senangnya mereka mendapatkan daging hewan korban yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Semakin banyak masyarakat yang simpati dengan Pesantren Hidayatullah Fakfak.

Pekerjaan lain sederhana tapi menarik adalah mengumpulkan anak-anak kecil pedalaman untuk diajak ke pesantren. Sebagian mereka tidak memiliki orang tua sehingga tidak ada yang merawatnya, jarang atau mungkin tidak pernah mandi dan ganti baju.

Kerja bakti merintis di Pondok Pesantren Hidayatullah Fakfak (Dokumentasi Pribadi/ Ichra Diyono)

Sebelumnya mereka dibawa ke pasar, disampaikan kepada penjual baju bahwa anak-anak ini sebagian tidak punya orang tua. Ini mau diasuh pesantren dan perlu perlengkapan dan pakaian. Para penjual langsung merespon, ada yang memberi sabun, sampho, gunting dan pakaian-pakaian baru.

Mereka satu persatu dimandikan di sungai agar mudah, memakai serabut kelapa untuk menggosok daki yang lengket dikulitnya kemudian digosok sabun. Tidak ketinggalan rambutnya juga dikeramasi dan dicukur sebelumnya kalau terlalu panjang.

Anak-anak menjadi berbinar wajahnya dan senyum merekah senyumnya. Sambil memandangi kulit dan pakaian barunya. Apalagi diberikan makan hingga kenyang dan bingkisan ala kadarnya. Mendapatkan perhatian dari pesantren yang tidak dikenal sebelumnya dan tidak ada hubungan sanak kerabat.

Suatu saat Ustadz Soewardhany Soekarno mendengar bahwa Wakil Gubernur Irian Jaya 1989 —1993 yaitu Mayor Jenderal TNI Soedardjat Nataatmadja akan meresmikan kilang minyak di desa Werba dan di lokasi tersebut melewati kampung Sekru di mana pesantren Hidayatullah berada. Kebetulan Ustadz Soewardhani Soekarno sempat ketemu dan kenal Mayjend Soedardjat Nataatmadja saat tugas di Hidayatullah Jayapura.

Ternyata saat melewati pesantren dan melihat anak-anak berbaris melambaikan tangan, rombongan wakil gubernur berhenti dan turun dari mobil. Termasuk rombongan bupati, Kapolres, Dandim, ketua DPRD dan pejabat lainnya.

Datang menyalami anak-anak dan pengurus pesantren. Disitulah kaget Mayjend Soedardjat Nataatmadja bertemu kembali dengan Ustadz Soewardhani Soekarno.

“Saya sekarang tugas di sini Pak,” kata Ustadz Soewardhani Soekarno

“Oh iya, bagus-bagus,” kata Wakil Gubernur sambil salaman dan menepuk pundak Ustadz Soewardhani. Tidak lama setelah berfoto bersama di plang papan nama pesantren Hidayatullah, beliau langsung meneruskan perjalanannya.

Beberapa hari berikutnya, datang surat panggilan pengurus pesantren ke Kapolres. Pak Iskandar dan Pak Noor Mawardi yang mewakili masuk ke kantor Kapolres tapi dipimpong, tidak jelas alasannya dipanggil. Ternyata ujungnya, mereka merasa tersinggung dan kecolongan ketika wakil gubernur menyapa anak-anak pesantren.

Tidak lama setelah itu, datang polisi ke pesantren dan langsung mencabut papan nama pesantren dan membawanya ke kantor polisi. Sempat ramai masyarakat membicarakannya, tapi pengurus pesantren tidak mau ribut dan tidak menghalanginya.

Pesantren mengambil solusi dengan mengirim surat pengaduan kepada Wakil Gubernur Irian Jaya tentang pencabutan papan nama pesantren. Alhamdulillah, masalah selesai dengan damai dan papan nama dikembalikan ke pesantren.

Sebenarnya tidak ada tantangan yang berat untuk dakwah di tanah Papua dan mungkin di mana saja bumi Allah. Kalau disebut ada tantangan, mungkin hanya di awal saja itupun sebentar dan sebagai bumbu untuk lebih gigih dalam bermunajat dan bersilaturahim.

Jika dikatanya nyamuk malaria itu berbahaya, namun ketika sudah akrab dengan sakit malaria maka biasa saja. Mungkin ada menganggap orang-orang asli menakutkan tapi ketika sudah mengenalnya dengan baik maka bisa akrab dan bisa kerja sama. Atau medan dakwah yang sulit karena alam dan transportasi terbatas, semua bisa dijalani sesuai kondisi.

*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah. Ditulis sebagai tajuk “Laporan Perjalanan” di sela sela kunjungannya ke Papua beberapa waktu lalu. Hasil wawancara dengan Ustadz Ichra Diyono (salah satu kader Ustadz Soewardhani Soekarno)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

SAR Hidayatullah Gelar Rapimnas, Bahas Kesiapsiagaan Hadapi Ancaman Gempa Megathrust

SURABAYA (Hidayatullah.or.id) -- Ancaman gempa megathrust menjadi isu strategis dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) SAR Hidayatullah yang digelar di...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img